Kejelasan tentang nama calon Gubernur BI semakin melengkapi sinisme publik terhadap pergantian Gubernur BI, yang sejak zaman Soedradjad Djiwandono digantikan oleh Syahril Sabirin lalu Syahril ke Burhanuddin Abdullah, selalu didahului dengan “sengketa” politik para penguasa. Kini pergantian Burhanuddin pun diawali dengan “sengketa” semacam itu melalui pernyataan Anwar Nasution tentang aliran dana BI ke sejumlah anggota DPR. Lalu bagaimana nasib kasus BLBI itu sendiri?
oleh Rusdi Mathari
CUACA mendung yang terus menggantung di langit Jakarta tampaknya hanya menyiratkan satu hal bagi Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah: jabatannya akan diakhiri dengan status dirinya sebagai tersangka. Sebuah predikat yang dulu juga disandang oleh Syahril Sabirin dan Soedradjad Djiwandono, pendahulu Burhanuddin. Dengan predikat tersangka pada Burhanuddin itu, Bank Indonesia kini menjadi bank sentral di dunia yang paling banyak –untuk tidak menyebut sebagai satu-satunya— yang “menghasilkan” mantan gubernur dengan status tersangka.
Semula banyak analis pasar keuangan yang meramalkan bahwa penetapan status tersangka pada Burhanuddin bisa berakibat pada nilai tukar rupiah. Sebuah ramalan yang mestinya memang niscaya terutama karena posisi gubernur bank sentral memang sentral untuk menekan atau membuat laju pergerakan nilai tukar. Di Amerika Serikat, bahkan sempat ada ungkapan jika gubernur bank sentral negara itu batuk maka moneter Amerika bisa terguncang dan getarannya juga bisa terasa pada stabilitas moneter di negara-negara lain. Tapi ini Indonesia dan bukan Amerika.
Setidaknya hingga minggu ini, setelah dua pekan lebih Burhanuddin ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi alias KPK, nilai tukar rupiah terutama terhadap mata uang dolar Amerika tetap tak menunjukkan gejala, misalnya akan turun nilainya. Rupiah tetap berada pada harga “normal” sekitar Rp 9.000-an terhadap dolar. Padahal bukan Burhanuddin saja yang menjadi tersangka, tapi juga Kepala Kantor BI Surabaya Rusli Simanjuntak (dulu Kepala Biro Gubernur BI) dan Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong (lihat “Tersangka BI akan Bertambah” Harian Bangsa 30 Januari 2008).
Kecuali penetapan Soedradjad sebagai tersangka, penetapan Burhanuddin dan juga Syahril sebagai tersangka berkaitan dengan nama Anwar Nasution (mantan Deputi Senior Gubernur BI, sekarang Ketua BPK). Syahril adalah tersangka dan kemudian menjadi terpidana dalam kasus cessie Bank Bali (sekarang Bank Permata). Kasus itu sempat menyeret Syahril ke balik jeruji sel penjara pada 21 Juni 2000. Syahril dipersalahkan karena dianggap tidak menerapkan prinsip kehati-hatian yang merupakan prinsip perbankan dan dihukum penjara selama 3 tahun oleh PN Jakarta Pusat pada 13 Maret 2002 meskipun lalu dibebaskan dari semua dakwaan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta lima bulan kemudian (lihat “Terkejut, Katakan Bukan Kesalahan Pribadi” http://www.riaupos.com 30 Januari 2008).
Banyak yang mengatakan, kasus Syahril sarat dengan muatan politis dan kepentingan terutama dari penguasa saat itu (Presiden Abdurrahman Wahid) yang berniat mengganti Syahril dengan Anwar (lihat “Golkar, Seng Ada Lawan…..” Gatra 7 Desember 2000). Sebagai gantinya, Syahril ditawarkan menjadi duta besar atau menjabat sebagai Ketua DPA oleh Gus Dur tapi Syahril menolak.
Kasus Burhanuddin lebih jelas menyeret nama Anwar. Dialah orang yang pertama kali mengungkapkan ke publik soal aliran dana BI kepada sejumlah anggota DPR-RI senilai Rp 31,5 miliar. Bertindak sebagai kasir adalah Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia yang berada di bawah naungan BI. Laporan BPK menurut Anwar menjelaskan, dana Rp 31,5 miliar itu dicairkan oleh Rusli yang selanjutnya diserahkan kepada anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, Anthony Zeidra Abidin. Tujuannya untuk memuluskan pembahasan amendemen UU BI dan penyelesaian kasus BLBI (Lihat “Aliran Dana BI ke DPR-BK DPR Akan Panggil ICW” Suara Pembaruan 30 Oktober 2007).
Keputusan pencairan dana BI itu diambil pada rapat pada 3 Juni 2003. Menurut Burhanuddin setiap kebijakan strategis dan prinsip diputuskan di dalam Rapat Dewan Gubernur yang sifatnya kolegial dan bukan keputusan pribadi. Sementara kebijakan untuk melakukan diseminasi bantuan hukum adalah kebijakan yang sangat diperlukan pada saat itu. Kira-kira begitulah alasan Burhanuddin. Duduk dalam Dewan Gubernur itu adalah Anwar (saat itu menjabat Deputi Gubernur Senior), Aulia Pohan, Aslim Tadjudin, Maman Soemantri, Bun Bunan Hutapea, dan Maulana Ibrahim. Namun menurut Anwar, dirinya tidak mengikuti rapat karena sedang berada di luar negeri. (lihat “Anwar Nasution Bantah Terlibat Kasus Aliran Dana BI ke DPR”, Koran Tempo 23 November 2007).
Pendek kata, “gara-gara” pernyataan Anwar yang meributkan soal aliran dana BI itulah, Burhanuddin dan dua pejabat BI lainnya menjadi tersangka. Mungkinkah Anwar punya kepentingan politik tertentu dengan melempar kasus aliran dana BI itu ke publik? Berkali-kali Anwar membatah soal itu meskipun tentu saja tak bisa disalahkan jika ada yang menganggap Anwar punya kepentingan, misalnya berambisi menjadi orang nomor satu di BI.
Semua tahu, Anwar tak pernah menjadi orang nomor satu dalam setiap jabatannya, kecuali sekarang di BPK. Ketika masih mengajar di Universitas Indonesia, Anwar hanya menjadi Dekan FEUI, dan bukan menjadi rektor perguruan tinggi itu. Ketika Anwar diangkat jadi Deputi Gubernur BI pada tahun 1999, muncul pro dan kontra. Anwar terkenal kritis terhadap kebijakan sektor ekonomi, moneter, dan politik. Pernyataannya soal BI yang paling terkenal adalah BI sarang penyamun. Anwar penah pula menyebut BI sebagai rumah gadai, karena BI dianggap sering mengucurkan dana likuiditas tanpa memerhatikan karakter dan tingkah laku si penerima dana.
Dengan menjabat Deputi Gubernur BI, banyak yang meragukan bahwa Anwar tidak lagi kritis. Anwar sempat sesumbar, bila ada pejabat BI terlibat penyelewengan BLBI, dia akan mengantarnya sendiri ke Kejaksaan Agung (lihat “Anwar Nasution” Apa & Siapa, PDA Tempo). Faktanya, tak satu pun pejabat BI yang “berhasil” diantar oleh Anwar ke Gedung Bundar, di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Sebaliknya jabatan Anwar semakin mengkilap di BI karena tak lama setelah menjabat Deputi Gubernur BI, dia diangkat menjadi Deputi Senior Gubernur BI— jabatan ini kemudian harus berakhir pada 2004 dan Anwar digantikan oleh Miranda S. Goeltom. Namun Anwar, konon sempat melontarkan pernyataan bahwa pihak asing tak memandangnya karena jabatannya hanya Deputi Senior Gubernur BI (lihat “Dr. Anwar Nasution Setelah Masuk ‘Sarang Penyamun’,” http://www.rapolo.wordpress.com).
Dengan melempar bola panas tentang aliran dana BI kepada anggota DPR, Anwar dituduh sedang mengincar posisi Gubernur BI, pasca Burhanuddin, sebuah tuduhan yang sekali lagi telah berkali-kali dibantah oleh Anwar. Persoalannya ketika Anwar kemudian sudah menjadi orang nomor satu di sebuah lembaga (BPK), masih banyak yang bersuara sumbang, bahwa BPK di zaman reformasi sudah tak punya “gigi” dibandingkan zaman Orde Baru sehingga Anwar pun disebut-sebut hendak memutar kembali ke haluan menuju “sarang penyamun”.
Masa jabatan Burhanuddin sebagai Gubernur BI akan berakhir pada 17 Mei mendatang. Presiden SBY sudah mengajukan Agus Martowardojo (Direktur Utama Bank Mandiri) dan Raden Pardede (Komisaris Independen BCA) sebagai calon Gubernur BI dan bukan nama Anwar (lihat “Agus Martowardojo dan Raden Pardede Calon Gubernur BI”, http://www.kompas.co.id, 15 Februari 2008). Dengan mentalnya nama Anwar sebagai calon, maka peluang Anwar untuk kembali berkantor di Gedung BI mungkin saja akan semakin tertutup.
Kejelasan tentang soal calon Gubernur BI itu, lalu semakin melengkapi sinisme publik terhadap pergantian Gubernur BI, yang sejak zaman Soedradjad digantikan oleh Syahril, lalu Syahril ke Burhanuddin, selalu didahului dengan “sengketa” politik para penguasa. Kini pergantian Burhanuddin pun diawali dengan “sengketa” semacam itu melalui pernyataan Anwar tentang aliran dana BI ke sejumlah anggota DPR. Karena itu jangan terlalu berharap bahwa kasus BLBI yang melibatkan banyak pejabat BI (lihat “Menyusul, Tersangka Baru Kasus Dana BI,” www.padangekspres.co.id, 30 Januari 2008) dan telah menguras ratusan triliun keuangan negara itu, akan benar-benar terungkap apalagi selesai (lihat “Memo-Memo Rahasia soal BLBI”)
Februari 19, 2008 at 9:39 am
Calon Gubernur BI Agus Marto dan Kasus Merincorp
Kasus penghapusan buku dan aset PT. Bank Merincorp oleh Direksi Bank Mandiri sudah berada di tangan Jaksa Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Hendarman Supandji. “Ya, berkasnya sudah ada di meja saya,”katanya. Cuma karena banyaknya kasus, juga beberapa kasus Bank Mandiri yang sudah mulai masuk ke pengadilan, soal itu belum sempat disentuhnya.
Dalam laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas pengelolaan kredit Bank Mandiri, Direksi dan Komisaris Bank itu diduga setuju penghapusanbukuan fasilitas kredit PT. Bank Merincorp senilai US $ 30 juta yang mengakibatkan kerugian negara. Padahal penghapusan bukuan tersebut tidak sesuai dengan Anggaran Dasar.
C
orporate Secretary Bank Mandiri Ekoputro Adijayanto membantah tudingan pengambilalihan Bank Merincorp tidak sesuai prosedur dan terindikasi merugikan negara. Rekapitalisasi Merincorp oleh Bank Mandiri telah sesuai dengan prosedur dan berdasarkan keinginan dari pemerintah.
Menurut Eko, pada saat krisis moneter hampir seluruh bank mengalami penurunan modal termasuk Bank Merincorp yang sebagian besar sahamnya dimiliki Bank Exim yang merger menjadi Bank Mandiri. Tetapi, karena Merincorp dikategorikan sebagai bank campuran karena sisa sahamnya dimiliki oleh Sumitomo Bank Limited sebesar 26 persen, sehingga tidak masuk dalam program rekapitalisasi dari negara. Makanya, program rekapitalisasi harus dilakukan Bank Exim dan Sumitomo.
Sumitomo menarik diri pada tahun 1998, Bank Exim menambah modal Merincorp sebesar Rp648,53 miliar sehingga CAR Merincorp menjadi 4 persen. Pertimbanganya, hubungan bisnis dengan Jepang dan terkait juga dengan rencana trade financing yang dilakukan Merincorp kepada Bank Mandiri. “Sumitomo saat itu memberikan trade financing sebesar 160 juta dolar AS atau Rp1,4 triliun. Ini merupakan soft loan, dan ketika itu malah trade financing yang diberikan Jepang sekitar 500 juta dolar AS lebih,”kata Eko.
Pengambilalihan saham sebesar 26 persen milik Sumitomo itu adalah bagian dari restrukturisasi dan penyehatan Bank Mandiri. Soal pengambilalihan pinjaman Sumitomo kepada Merincorp sebesar 30 juta dolar AS itu, menurut Eko dialihkan menjadi pinjaman Sumitomo ke Bank Mandiri dengan syarat lunak dan masa tenggang hingga 2009. Bahkan komitmen penghapus buku pinjaman (bukan menghapus tagih) sebesar 30 juta dolar AS itu juga telah ditetapkan dalam perjanjian IMPA (Invesment Management and Performance Agreement). “Semua ini atas restu dan perintah dari pemerintah ketika itu,”ujar Eko.
Penghapus buku pinjaman sebesar 30 juta dolar AS itu kemudian dilaporkan dan disahkan pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank Mandiri pada tahun 2002. “Ada payung hukumnya melalui RUPS. RUPS adalah lembaga tertinggi dalam pengambilan keputusan. Jadi ini tidak menjadi masalah sebenarnya, dengan IMPA saja sebenarnya sudah cukup kuat,”kata Eko.
Februari 20, 2008 at 10:10 am
kalo soal anwar nasution mah mending gak usah komen deh… males
Februari 20, 2008 at 3:09 pm
Dulu, waktu Agus Martowardojo (yang sempat terseret kasus Merincorp) mau jadi Dirut Bank Mandiri, beliau harus menggusur ECW Neloe — Dirut Bank Mandiri sebelumnya ke Kejakgung, lalu Cipinang. Kini, sewaktu Agus Martowardojo mau jadi Gubernur Bank Indonesia, beliau juga harus menggusur Burhanudin Abdullah ke KPK. Apa Agus Martowardojo nggak takut hukum karma ya ? Meskipun didukung Ibu Negara dan Ibu Suri, mestinya sih beliau takut….
Februari 22, 2008 at 1:00 pm
Persoalannya ketika Anwar kemudian sudah menjadi orang nomor satu di sebuah lembaga (BPK), masih banyak yang bersuara sumbang, bahwa BPK di zaman reformasi sudah tak punya “gigi” dibandingkan zaman Orde Baru sehingga Anwar pun disebut-sebut hendak memutar kembali ke haluan menuju “sarang penyamun”.
mungkin pernyataan ini tidak tepat, karena banyak studi memperlihatkan bahwa BPK dijaman Orba adalah bagian dari korporatisme negara, sama statusnya seperti DPR, dll, dikuasai oleh ABRI dan Golkar.\
Baru pasca reformasi BPK dibawah Billy Joedono bisa independen dan mulai ditakuti. ANwar membuat BPK lebih ditakuti koruptor.
meski cara komunikasi Anwar dalam banyak hal jelek sekali, seperti komentarnya terhadap kasus BI: “saya sudah beri kesempatan ke BI karena mereka teman saya..”, juga terhadap Iriansyah, rasanya analisis di atas sangatlah tidak tepat.
mungkin benar Anwar ingin jadi Gubernur BI, tapi BPK sebagai lembaga sekarang sangat berwibawa.
Adian Husaini
Bukan orang BPK
Februari 22, 2008 at 2:03 pm
Pak Ahdian
“Punya gigi” pada kalimat itu dalam konteks pejabat atau ketua BPK di zaman Orba masih disegani atau tepatnya dihormati dan mendapat banyak fasilitas seperti layaknya menteri, karena memang setingkat menteri dan gubernur BI. Di jaman reformasi, pejabat atau ketua BPK, nyaris bukan apa-apa. Itu saja.
Februari 23, 2008 at 12:12 pm
Pak Rusdi,
mungkin tidak terlalu tepat juga penjelasan anda di atas.
dulu menurut UUD 45 pra amandemen BPK sejajar dengan Presiden, termasuk diantara 5 lembaga negara yang disebut di konstitusi: presiden, MA, DPR< BPK, DPA.
pasca amademen, dimana struktur ketatanegaraan kita kian tidak jelas, BPK bisa dianggap sebagap state auxiliary bodies. lembaga-lembaga negara tetapi disebutkan di konstitusi.
posisi cukup terhormat, gaji dan fasilitas juga setara dengan Pimpinan DPR: VOlvo, dll
juga BPK sekarang jauh lebih dihormati dibandingkan dulu. dalam sejarahnya, BPK hanya dihormati ketika jaman M Jusuf. citranya terpuruk ketika JB Sumarlin kena kasus Golden Key. CItra naik lagi ketika Billy Joedono. kalau era Anwar, mungkin tidak tepat kalau disegani, tapi ditakuti karena Anwar kalau ngomong kayak sopir mabok.
jadi tidak relevan analisa tentang “tidak diseganinya” BPK sekarang.
Adian Husaini
saya bukan orang BPK, justru temannya eks Deputi Gubernur BI Maman Soemantri dalam urusan musik ha..ha..ha..mau bikin website aktuil kok nggak jadi-jadi
Maret 2, 2008 at 1:51 pm
Siapakah Biang Kerok Kegaduhan BLBI?
Akhirnya Kejaksaan Agung (Kejakgung) tidak menemukan perbuatan melawan hukum yang mengarah pada tindak pidana korupsi dalam dua kasus Bank Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pada kesempatan itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman juga mengumumkan pembubaran tim 35 jaksa yang bertugas menyelidiki dua kasus BLBI tersebut sekaligus menghentikan penyelidikan kasus tersebut.
Keputusan Kejagung tersebut relevan dengan logika keadilan hukum bisnis. Bagaimana mungkin, obligor yang dinilai pemerintah sebagai obligor yang kooperatif, dianiaya melalui berbagai unjuk rasa oleh para aktivis mahasiswa, dan juga dibombardir berita negatif yang berasal dari anggota DPR-RI. Sebaliknya, obligor yang jahat dan tidak kooperatif (seperti yang disampaikan Menkeu Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR-RI), justru tidak tersentuh hukum. Bahkan sebagian, sukses ngumpet di luar negeri.
Oleh sebab itu, sebaiknya aparat hukum, baik Polri maupun Kejakgung mengusut siapa konglomerat hitam yang menjadi biang kerok dan sponsor dibalik kegaduhan BLBI selama ini. Selain merepotkan pemerintah karena membuang-buang energi dengan membuka kasus lama yang sudah closed, tekanan publik melalui unjuk rasa dan pernyataan negatif, sudah menorehkan citra negatif terhadap iklim investasi di Indonesia.
Berbagai kalangan kritis memprediksi, ada disain besar yang disponsori oleh konglomerat hitam untuk meluluh-lantakan tatanan hukum bisnis investasi setelah dia mereguk keuntungan ekonomis dan politis sekaligus. Dalam hal kepentingan ekonomis, konglomerat hitam itu hanya ingin mengeruk keuntungan tanpa mau mempertanggungjawabkan kewajiban utang-utang.
Konglomerat hitam sudah mengambilalih asset obligor BLBI melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan harga yang murah, namun tidak mau membayar kewajiban kepada pihak ketiga. Pengusutan terhadap konglomerat hitam seperti ini pastilah akan memberikan citra positif terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. (SBY). Adakah political will pemerintah untuk memberangus konglomerat hitam seperti ini? sebaiknya pemerintah yang menjawab pertanyaan ini.
Maret 19, 2008 at 6:17 pm
hiiiii
Maret 22, 2008 at 10:11 am
Oh! Great job!
Very good and useful post.
Thx, your blog in my RSS reader now
We’ll expect many new interesting posts from you 😉
April 11, 2008 at 2:17 pm
nulis terus ya, Bos..
keren!