apMasa tua seperti apa yang Anda harapkan kelak: Hidup bersama anak cucu dan tinggal bersama kehangatan keluarga, atau menjalaninya di sebuah panti jompo?

oleh Rusdi Mathari

Siang itu, dua hari sebelum Natal 2014, beberapa menit sebelum azan zuhur, Umar duduk di atas kursi roda dan menghadap ke arah menara air. Dadanya hampir menyentuh sisi meja. Di atasnya ada talam plastik persegi merah berisi nasi, dendeng, sayuran sawi, dan sepotong semangka. Tangan kirinya meringkuk di depan dada dengan punggung telapak agak bengkok seakan menahan sesuatu. Tangan kanannya susah payah menyendok nasi dan sayuran, lalu menyorongkan sendok itu ke mulutnya yang terlihat miring.

Agak repot dia mengunyah. Dua-tiga butir nasi terlihat menempel di dagu dan di atas bibirnya. Setelah beberapa kali suapan, Umar menanyakan air minum. Seorang perempuan muda berkacamata yang duduk di dekatnya berdiri lalu berjalan ke belakang kursi roda.

Dia memungut sesuatu dari celah antara Umar dan sandaran plastik kursi roda. Itulah rupanya air minum yang dicari Umar: Air dalam kemasan gelas plastik yang tertindih punggung Umar. Isinya tinggal sepertiga gelas. Umar terkekeh sewaktu perempuan itu meletakkannya di atas meja di dekat nampannya. Gumpalan nasi terlihat menempel di barisan gigi depannya. “Saya terserang stroke,” kata Umar.

Umar adalah salah seorang penghuni Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti, Cibubur, Jakarta; itulah yang oleh banyak orang disebut panti jompo, tempat penitipan orang-orang lanjut usia. Nama lengkapnya Umar Khatab. Sudah enam tahun dia tinggal di sana. Kali pertama masuk, usianya 68 tahun dan Umar masih sehat. Stroke menyerangnya sekitar setahun lalu dan membuatnya tak berdaya: Harus duduk di kursi roda dan mengenakan popok sekali buang karena Umar bisa ngompol tanpa kontrol.

Perempuan muda yang membantunya mengambil air minum adalah Lilis Clara, mahasiswa kedokteran tingkat akhir dari Universitas Tarumanegara, Jakarta. Usianya 22 tahun. Dia sedang praktik di poliklinik panti. Lilis menemani dan menunggui Umar selesai makan, karena siang itu adalah jadwal Umar untuk diperiksa tekanan darahnya.

“Pak Umar saya tinggal dulu, ya?”

Baru beberapa langkah, Umar menggodanya, “Dokter Lilis cantik.”

Lilis tersenyum. Umar terkekeh.

Setengah jam sebelumnya, Umar terlihat asik ikut bertepuktangan mengikuti lagu “Prahu Layar” ciptaan Ki Narto Sabdho yang dipopulerkan Didi Kempot. Lagu itu dinyanyikan Suharti dengan alunan organ tunggal di ruang tengah panti. Siang itu, Tresna Werdha memang mendapat kunjungan beberapa karyawan dari sebuah perusahaan, dan di ruang tengah, para penghuninya unjuk kebolehan termasuk bernyanyi.

Suharti, perempuan lanjut usia, warga di sekitar panti, datang ke sana meramaikan acara. Lagu “Prahu Layar” yang dinyanyikannya adalah lagu terakhir pada acara itu dan Umar ikut sumringah. Kepalanya goyang-goyang. Kopiahnya miring. Popoknya terlihat menonjol di balik celana kolor panjang berwarna telur asin. Kata Ipung, petugas panti, Umar menyukai keramaian.

Sebelum tua dan tak berdaya, dia memang hidup di dunia gemerlap. Dunia film. Umar bekerja sebagai penata lampu. Dia menyebut antara lain dua judul film yang dirinya pernah terlibat: Perawan di Sektor Selatan dan Mereka Kembali; dua film yang berkisah perang kemerdekaan, masing-masing diproduksi pada 1971 dan 1972. Dia juga mendaku mengenal baik beberapa aktor lama seperti Dicky Zulkarnaen dan Mieke Wijaya.

Pekerjaan itu ditinggalkannya ketika dia beranjak tua. Hidupnya terlunta-lunta. Bukan saja karena Umar tak punya penghasilan, melainkan tak ada yang merawatnya. Salah satu adik perempuan Umar lantas berinisiatif menitipkan Umar ke panti karena Umar tak punya istri dan anak. Dia membujang dan satu-satunya lelaki di antara enam bersaudara.

“Saya pernah jatuh cinta pada gadis Bandung tapi dia meninggalkan saya. Menikah dengan lelaki lain pilihan orang tuanya,” ujar Umar.

Sebelum tinggal di panti, Umar tinggal di sebuah rumah di Tebet, Jakarta Selatan. Sebelumnya dia menempati rumah warisan orangtua di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat. Rumah itu dijual lalu dia pindah ke Tebet. Kata Umar, orangtuanya cukup kaya. Keduanya asli Minang. Ibunya dari Batusangkar, bapaknya asli Sijunjung. Tapi Umar lahir di Banyumas, Jawa Tengah, dan dia mengaku tak pernah sampai ke tanah Minang. “Saya betah (tinggal) di sini. Banyak teman,” katanya.

Di Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti, ada 69 orang lanjut usia seperti dirinya. Sebagian besar perempuan. Usia mereka melampaui 60 tahun dengan penghuni tertua berusia 82 tahun. Mereka menjalani kegiatan rutin yang sudah dijadwal oleh pengurus panti.

Pagi hari berolahraga, sesudahnya mengerjakan keterampilan seperti melukis, membuat keset, berkebun dan sebagainya. Siangnya, mereka menghabiskan waktu bermain scrable atau halma. Atau kalau kebetulan ada kunjungan sosial seperti siang itu, para penghuni diajak serta untuk meramaikan. Pada hari-hari tertentu, para penghuni mendapat kunjungan pembina keagamaan sesuai keyakinan masing-masing. Mereka juga mendapat jatah makan tiga kali sehari, diselingi kudapan setiap menjelang siang dan sore. Mereka sudah harus tidur atau masuk kamar pada jam 9 malam. Dan setiap dua atau tiga bulan sekali, mereka diajak piknik.

Tentu tak semua orang lanjut usia seperti Umar bisa menjadi penghuni panti ini. Ada persyaratan yang diminta oleh pengurus panti. Antara lain harus berusia minimal 60 tahun, sehat jasmani dan rohani, ada keluarga yang menanggung, dan yang terutama atas kemauan atau keinginan sendiri. Syarat lain, harus bersedia membayar uang perawatan yang besarnya tergantung kamar yang dikehendaki atau dipilih. Untuk menghuni kamar VIP harus membayar Rp 6 juta sebulan. Untuk menempati kamar biasa, tarifnya Rp 3 juta sebulan. Ongkosnya harus dibayar dimuka.

Bila semua itu dipenuhi, barulah orang lanjut usia bisa tinggal di kamar-kamar panti. Mereka lalu akan dipanggil “oma” dan “opa,” meski cucu-cucu mereka mungkin memanggilnya mbah, eyang, engkong, atau nenek dan kakek.

Ketika masuk ke Wisma Aster, wisma VIP satu-satunya di panti ini, saya melihat hanya ada seorang opa yang menghuni satu kamar di deretan kamar sebelah utara. Okta, petugas panti yang menemani saya berkeliling, menerangkan si opa baru masuk sekitar sebulan lalu.

Namanya VIP, kamarnya jelas berbeda dari kamar biasa yang dihuni oleh Umar. Satu kamar VIP berukuran kurang-lebih 4×5 meter dan dilengkapi pendingin ruangan. Tempat tidurnya ada yang dua, ada yang satu. Kamar mandinya menggunakan pancuran.

Di Wisma Cempaka, yang terdiri dari kamar-kamar biasa, saya melihat dua oma bermain scrable di ruang makan di sebelah ruangan televisi. Ada Oma Tatin yang tengah santai membaca koran yang kertasnya terlihat kumal. Kedua kakinya dijulurkan ke kursi kecil. Dia hanya mengenakan daster batik.

“Opa Donir, ini ada calon penghuni baru?” kata Okta.

“Laki apa perempuan?” sahut Donir yang baru saja keluar dari kamar mandi.

“Laki,” jawab Okta.

“Hahaha, Pak Donir akan punya teman baru,” sahut seorang oma.

Donir adalah mantan dokter di salah satu kesatuan militer. Dia memilih tinggal di panti karena tak mau merepotkan anak-anaknya. Semua biaya hidup di panti ditanggungnya sendiri dari uang pensiunan. Saya mencoba mengajaknya bicara. Tapi dia menolak. “Tidak. Tidak. Tak perlu,” kata Donir sambil mengangkat tangan kanan dan berlalu ke kamar.

Para oma dan opa yang menetap di panti memang berasal dari pelbagai latarbelakang. Kisah mereka tiba di panti juga beragam. Kisah Umar yang dibawa adik perempuannya, berbeda dengan kisah Donir dan kisah Tatong Sutedjo.

Dulu Tatong adalah pejabat di Kimia Farma. Dia memilih tinggal di panti karena ingin diperhatikan dan bersosialiasi dengan banyak orang. Di rumahnya, bersama istri, seorang pembantu dan suster yang merawatnya, dia berkata selalu didikte. Kebebasannya dibatasi.

Semula selama dua tahun, dia tinggal di Duren Sawit, Jakarta Timur, di sebuah perumahan yang dihuni para pensiunan Kimia Farma. Menurut Tonka Sesarino, anak Tatong, bapaknya memilih tinggal di Duren Sawit karena ingin berkumpul dengan teman-temannya, tapi keinginan ini tak kesampaian. Selain teman-temannya sudah tua, kesehatan Tatong juga memburuk. Sama dengan Umar, dia terserang stroke. Daya ingatnya berkurang.

Suatu hari, seorang temannya mengunjungi Tatong dan membawa brosur tentang SasanaTresna Werdha Karya Bakti. Setelah membaca, Tatong tertarik dan meminta Tonka mengirimkan dirinya ke sana. Tapi bayangan hidup di panti ternyata tak seindah yang dibacanya dari brosur. Waktu itu awal 2010, usia Tatong 64 tahun.

Di bulan pertama, dia bahkan sempat keluar dari panti karena menilai kamar panti yang ditempatinya tak sebagus kamar di rumah pribadinya. Hanya berkat ketelatenan petugas panti, Tatong akhirnya bersedia menetap. Kisah Tatong ini ditulis sebagai bahan penelitian oleh Faatimah Ummu Abdilah, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Okta menjelaskan, mengurus oma dan opa memang memerlukan pendekatan dan keterampilan khusus. Usia lanjut membuat mereka semakin sensitif. Kadang mereka bisa ribut untuk masalah sepele. Misalnya karena ada dua oma sedang merumpi, lalu oma lain yang tak diajak, merasa kedua oma itu membicarakan dirinya. Hasilnya cekcok. Mereka bisa tak berteguran selama beberapa hari. Setelah itu mereka kembali menyapa, seolah tak pernah terjadi perselisihan. “Mirip anak kecil,” kata Okta.

Sasana  Tresna Werdha Karya Bhakti dikelola Yayasan Karya Bhakti Ria Pembangunan, yayasan para istri menteri Orde Baru yang diketuai Tien Soeharto. Dibangun dan diresmikan Presiden Soeharto, 14 Maret 1984, lokasinya berdekatan Bumi Perkemahan Cibubur. Sebagian orang mengenalnya sebagai Griya Aster. Luasnya mencapai satu hektar.

Panti ini memiliki 77 kamar termasuk 18 kamar VIP. Kamar-kamar itu dikelompokkan ke dalam 4 wisma. Masing-masing wisma berpenghuni 18-20 orang. Di setiap wisma, kamar-kamar penghuni saling berhadapan, dengan bagian tengah menjadi pemisah antara kamar-kamar itu dibiarkan terbuka. Setiap kamar dihuni satu oma atau opa. Setiap pintunya dipajang nama penghuninya, lengkap dengan embel-embel “oma” atau “opa” itu. Kecuali kamar VIP, di setiap kamar disediakan satu tempat tidur berukuran 2×1 meter, lemari, sebuah meja dan kursi, dan kamar mandi.

Meski makan dan minum disediakan oleh panti, para penghuni dibolehkan untuk memasak makanan yang mereka sukai di dapur bersama di setiap wisma. Ada ruang menonton televisi bersama yang model televisinya sudah ketinggalan zaman dengan semua kursi disusun menghadap ke layar televisi. Mirip gedung bioskop.

Dan Sasana  Tresna Werdha Karya Bhakti adalah salah satu dari ratusan panti di Indonesia meskipun belum ada data terbaru tentang jumlah persis panti di seluruh Indonesia. Satu-satunya data, dikeluarkan Kementerian Sosial 12 tahun lalu, menyebutkan ada 175 panti jompo, tersebar dari Aceh hingga Papua. Jumlah itu mestinya bertambah mengingat jumlah orang lanjut usia di Indonesia juga terus bertambah.

Hasil sensus penduduk 2010 menyebutkan, penduduk lanjut usia berjumlah 18,1 juta jiwa, dan Indonesia dicatat sebagai negara kelima dengan jumlah penduduk lanjut usia terbesar. Jumlah ini diperkirakan dua kali lipat dalam 10 tahun mendatang karena menurut catatan Kementerian Kesehatan, tingkat umur harapan hidup penduduk Indonesia sampai tahun lalu meningkat menjadi 72 tahun.

Di DKI Jakarta, saya mencatat setidaknya ada 12 panti. Tapi Dinas Sosial setempat hanya mencatat dan mendata 5 panti jompo di bawah pengelolan dan pengawasannya. Salah satunya Graha Wredha AUSSI di Cinere, perbatasan Jakarta-Depok.

Panti ini berdiri sejak 16 November 1996, dikelola Alumnarum Ursulae Sanctae Societas Internasionalis (AUSSI), sebuah yayasan Katolik. Gedungnya bertingkat, menempati lahan seluas 6 ribu m² dan menyediakan 60 kamar. Mirip gedung hotel berbintang, dilengkapi taman, ruang serba guna, dan salon.

Hampir sama dengan Sasana Tresna Werdha, setiap oma dan opa yang dititipkan di panti ini harus membayar ongkos, berkisar Rp 3-8 juta setiap bulan, tergantung kamar yang dipilih: Kamar standar atau VIP. Setiap kamar dilengkapi pendingin ruangan. Di pintu masuk panti, terpampang nama-nama penyumbang pembangunan gedung antara lain Lippo Group.

Ketika saya berkunjung, suasana panti sedang menyiapkan perayaan Natal. “Anda harus mengirimkan permohonan untuk bisa meliput di sini,” kata Ika, pengurus panti.

Panti jompo terbaru yang saya catat adalah panti yang dibangun perusahan properti PT Jababeka Tbk. dan Long Life Holding Co.Ltd., perusahaan penyedia layanan bagi orang lanjut usia di Jepang. Panti ini berlokasi di Cikarang, Bekasi, dan mungkin satu-satunya panji jompo termahal di Indonesia. Tarifnya mencapai Rp 2 miliar. Biaya itu dibayar dimuka, sekali bayar untuk seumur hidup, dan para penghuninya mendapat perawatan dan fasilitas premium. Akhir November tahun lalu, 7 orang lanjut usia dikabarkan sudah memutuskan tinggal di sana.

Di luar Jakarta dan sekitarnya, panti-panti jompo tersebar di tempat-tempat terpencil. Antara lain Wisma Usia Lanjut Husnul Khatimah, di Gunungpati, Semarang. Saya mendatangi panti itu pada suatu sore yang dingin, dua hari setelah Natal tahun lalu.

Panti ini berdiri sejak 2010, didirikan dan dikelola oleh organisasi keagamaan Muhammadiyah di atas lahan seluas hampir 4 ribu m². Separuh lahannya masih berupa tanah kosong dan ditanami banyak pohon. Alamatnya di Mangunsari, Gunungpati, tak jauh dari Universitas Negeri Semarang.

Menuju ke sana dengan kendaraan roda empat, saya melewati jalan yang menurun dan menanjak yang diapit pohon-pohon pinus. Lokasinya cukup sepi. Hujan deras yang mengguyur daerah itu akhir Desember lalu membuat lokasi panti tak mudah dikenali dari Jalan Raya Gunungpati. Papan namanya bersanding dan kalah besar dengan papan “PKU Muhammadiyah.” Dari jalan, bangunan panti tampak seperti Puskesmas.

Hampir limabelas menit saya mengetuk pintu panti, sebelum akhirnya Laila, pengurus panti, muncul menyambut saya di pintu bagian tengah. Selain Laila, hanya ada Sulis, perawat honorer yang giliran tugas jaga sore itu, sedang menyiapkan makanan untuk para penghuni panti.

Kata Laila, sebagian tanah panti adalah wakaf dari Keluarga Haji Sutarman, dan sebagian lain tanah wakaf dari pimpinan daerah Muhammadiyah Semarang. Pembangunannya akhir 2008 dan diresmikan Juni 2010 oleh ketua umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin. “Panti ini khusus untuk nenek-nenek,” kata Laila.

Di panti ini kamar-kamar penghuni dibagi menjadi tiga bagian. Masing-masing bagian terpisah, mirip penginapan, dan setiap bagian terdiri 2 atau 3 kamar. Letaknya agak ke belakang, terpisah dari kantor panti di bagian depan. Totalnya ada 8 kamar. Satu kamarnya ditempati perawat yang bertugas jaga seperti Sulis.

Ketika kali pertama dibuka, seluruh 16 kamar terisi penuh. Belakangan jumlahnya terus menyusut dan kini hanya menyisakan 7 penghuni. Salah satu penghuni terlama dan tertua adalah Sarinah, usia 89 tahun.

Dia menetap sejak panti itu berdiri atas tanggungan takmir mushallah di Semarang, yang jatuh iba melihat nenek itu sebatang kara dan selalu tidur di sebuah pos ronda. Biaya perawatannya ditanggung bersama oleh pengurus mushallah, pengurus RT, dan ibu-ibu dari perkumpulan Aisyah Semarang. Besarnya Rp 700 ribu sebulan.

Saya tidak menemui Sarinah. Menurut Laila, kondisinya sudah payah. Pendengaran dan penglihatannya tak berfungsi. Saya melihat, dia bergerak di dalam kamarnya dengan mengesot. Sulis atau teman-temannya yang mengurus Sarinah termasuk memandikan, membersihkan kotoran dan mencuci pakaian.

Sebagai gantinya, saya diantar Laila ke kamar Wawiek, penghuni yang dianggap Laila paling bisa diajak bicara. Dan sewaktu Laila membuka pintu kamar, nenek itu sedang melipat mukena, usai menjalani salat ashar. Dia terlihat antusias ketika saya menjelaskan maksud kedatangan saya ke panti dan mengajaknya berbicara. Matanya berbinar-binar. “Eyang Wawiek memang suka bercerita,” kata Laila.

Nama lengkapnya Siti Rochyati, kelahiran Magelang, 20 Desember 1930. Hidungnya bangir, pipinya tirus, alisnya tebal, dan bibirnya berisi. Dia masih punya daya ingat yang kuat. Dari ceritanya, saya menjadi tahu, Wawiek keturunan priyayi Jawa. Di Semarang, bapaknya pegawai jawatan kereta api dan ibunya guru di Kartini School. Kakeknya dari pihak bapak adalah seorang asisten wedana.

Sulis masuk mengantarkan makan malam untuk Wawiek ketika kami berbincang sekitar 10 menit. Makanan itu ditempatkan di kotak tahan karat mirip tempat makan pasien rumahsakit. Wawiek berdiri dan membuka tutup, “Makanannya ndak enak. Ndak kerasa garamnya. Lihat cuma begini…”

Wawiek mencibirkan bibir. Dia lalu memberi isyarat kepada saya untuk melihat makan malam itu. Saya berdiri dan ikut melihat. Adasemangkuk nasi, sekerat tahu goreng, dan sayuran hijau dengan kuah santan yang encer.

Wawiek bercerita, dulu, dia dimanja oleh suami dan bisa makan apa saja. “Saya terpaksa tinggal di sini. Tidak betah.” Matanya berair.

Semua bermula ketika R. Soemarto, suami Wawiek, meninggal. Suaminya bekas tentara yang kemudian bekerja di Bank BTPN hingga pensiun. Ketika menikah dengan Soemarto, usia Wawiek sudah melewati 40 tahun. Pasangan ini tak punya anak kecuali dua anak dari mendiang suaminya, hasil pernikahan dengan istri sebelumnya. Saat meninggal, suami Wawiek mewariskan satu rumah di Semarang. Rumah itu kemudian dijual seharga Rp 400 juta lantas dipakai untuk membeli rumah di Magelang, kota tempat keluarga besar Wawiek tinggal.

Tapi rumah di Magelang itu belakangan dijual atas desakan dua anak suaminya. Sejak itu dia tak punya rumah. Hidupnya terlunta-lunta. Berpindah-pindah di rumah ponakan.

Dia sempat ikut kemenakannya, seorang dokter dan direktur di salah satu rumah sakit ternama di Semarang. Dua tahun lalu, seorang ponakannya menitipkan Wawiek ke Husnul Khatimah. “Saya dibilang akan tinggal di hotel. Tapi tak tahunya tinggal di panti seperti ini.”

Dari semua penghuni panti, Wawiek sebetulnya adalah penghuni favorit karena membayar paling mahal ongkos perawatan di panti. Besarnya Rp 2 juta sebulan. Sementara penghuni lain tinggal sekamar berdua, Wawiek tinggal sendiri di kamar berukuran 3×3 m², dilengkapi televisi 14 inci, dua kursi plastik, dua lemari, dan satu kamar mandi.

Ketika masuk ke kamar Wawiek, aroma pesing menyergap penciuman saya. Bau kencing itu mungkin berasal dari kamar mandi Wawiek, mungkin juga dari kamar mandi di kamar sebelah kamar Wawiek yang terbuka. Tapi Wawiek seolah tak peduli. Dia malah membuka satu lemari yang menempel ke dinding kamar mandi, dengan kunci kecil yang diikat saputangan lalu mengambil satu tas cokelat dan mengeluarkan beberapa kartu di dalamnya. Salah satu kartu yang ditunjukkan kepada saya adalah Kartu Identitas Pensiun atas nama suaminya. Dengan kartu itulah, Wawiek mendapatkan uang setiap bulan, yang menurut pengakuannya dia bayarkan kepada panti.

Selama dia tinggal di panti, tak satu pun anggota keluarganya datang menjenguk. Dua anak tirinya yang menurutnya juga menjadi kakek-nenek, mungkin sudah melupakannya. Ponakan-ponakannya, termasuk yang menjadi dokter dan direktur rumahsakit, bahkan tak sekalipun menelepon ke panti untuk menanyakan kabar Wawiek. “Saya kesepian,” kata Wawiek.

Suaranya bergetar. Matanya kembali berair. Wajahnya menunduk. Dia seolah tak mau saya melihat kesedihannya. Menurutnya, manusia takkan bisa menolak ketentuan nasib. Tapi dia tidak menyangka akan tinggal dan menetap di panti, tempat orang-orang tua tak berdaya; jauh dari kehangatan keluarga.

Di bagian lain panti, saya melihat Umbuk, nenek berusia 75 tahun, duduk di tepi dipan sedang menyantap makan malam. Ada bekas luka panjang di bagian depan tulang betis kedua kakinya. Warnanya putih, seperti bekas luka bakar. Sore itu, dia mengenakan daster kusut. Rambutnya putihnya acak-acakan. Dia tampaknya baru bangun tidur sore.

Kata Laila, Umbuk adalah salah satu korban gempa bumi Bantul 2006. Dia dikirimkan ke panti oleh anaknya yang tentara dengan alasan perilakunya tak mudah ditebak. Sering Umbuk meminta anaknya hanya mengurus dirinya. Atau, tiba-tiba dia minta diantar ke suatu tempat sementara anaknya masih bertugas. “Putranya rajin menjenguk dan membayar semua uang perawatan setiap bulan untuk Eyang Umbuk,” kata Laila.

Dari Husnul Khatimah, saya mengunjungi Langen Wredhasih. Lokasinya 1 km dari alun-alun Ungaran ke arah selatan atau 30 km dari Kota Semarang. Sama dengan Husnul Khatimah, panti Wredhasih didirikan di tempat yang sepi, di Desa Lerep, lereng pegunungan Ungaran. Sebagian rumah penduduknya tak berlistrik. Tiada angkutan umum. Jalan satu-satunya menuju ke sana banyak berlubang, dan hanya bisa dilalui satu kendaraan roda empat. Bila malam, panti ini dijaga Maryono, lelaki setengah baya yang bekerja sejak panti berdiri 1 Juni 2005.

Itulah panti tempat NH. Dini pernah tinggal selama sekitar 7 tahun. Sastrawan bernama lahir Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin, peraih sejumlah penghargaan sastra di luar dan dalam negeri, dan sedikitnya menulis 30 buku selama 50 tahun itu, selama 10 tahun terakhir memang hidup dari panti ke panti dan duduk di kursi roda. Usianya kini 79 tahun. Salah satu novelnya yang terkenal berjudul Pada Sebuah Kapal.

Sebelum tinggal di Wredhasih, Dini menetap di panti Graha Wredha Mulya, Sendowo, Yogyakarta. Dia tinggal di Wredhasih, kira-kira setahun setelah panti itu diresmikan oleh H. Mardiyanto, mantan gubernur Jawa Tengah dan menteri dalam negeri; tak berapa lama setelah terserang hepatitis B. Dini tinggal di sana atas permintaan Effi, istri Mardiyanto. Namun, sejak setahun lalu, Dini sudah tidak tinggal di Wredhasih.

Menurut Maryono, penjaga panti, Dini pindah ke panti jompo yang juga berada di Ungaran, dihuni para orang tua stres. Tapi Maryono tidak tahu tempat dan nama pantinya, “Kasihan Bu Dini, dia pasti terganggu berkumpul dengan orang-orang itu.”

Maryono menunjukkan kepada saya kamar yang pernah dihuni Dini. Letaknya agak ke belakang. Dia tinggal sendiri di kamar itu, dan hanya dibantu seorang petugas panti yang membersihkan rumah dan mencuci pakaian. Maryono tak tahu mengapa Dini kemudian memutuskan pindah dari Wredhasih, tapi Wredhasih memang panti yang sepi. Sangat sepi. Udara di sana dingin menusuk kulit.

Di malam hari, gemerlap lampu Kota Semarang bisa terlihat dari panti ini, mirip kunang-kunang yang seolah menggoda penghuni panti untuk menjamahnya. Suara jangkrik dan kodok bisa terdengar silih berganti.

Dilihat dari bangunannya, panti ini juga tergolong mewah dan bersih. Luasnya 1 hektar, terdiri 13 kamar dan 5 paviliun, lengkap dengan taman-taman bunga. Di dinding teras depan setiap paviliun dipasang nama-nama gunung berikut nama-nama donatur. Ada Paviliun Merapi yang disumbang pengusaha Sindhu Dharmali, ada Paviliun Sumbing dari BPD Jateng, ada Paviliun Slamet yang disumbang PT Indo Perkasa Usahatama, dan sebagainya.

Tarif perbulan terbilang murah: Rp 1,25 juta untuk kamar biasa, dan Rp 1,75 juta untuk paviliun. Setiap kamar dan paviliun bisa diisi dua orang, dan semuanya dilengkapi kamar mandi dan tempat tidur berstandar hotel melati.

Berbeda dengan panti pada umumnya, di Wredhasih, pengurus panti tak menjadwalkan kegiatan apapun bagi para penghuninya. Mereka dibebaskan melakukan kegiatan yang disukai termasuk memasak di dapur di setiap paviliun. Pengurus panti juga mengizinkan para nenek dan kakek yang hanya ingin menetap selama beberapa hari. Sederhana dan praktis. Tapi sudah sejak setahun terakhir, panti ini sepi penghuni.

Malam itu, ketika saya mendatangi Wredhasih, hanya ada dua penghuni yang menempati dua paviliun. Keduanya perempuan. Mereka menolak diajak bicara dan segera berlalu ke paviliun dan menutup gorden jendela.

Keadaan itu berbeda saat saya mendatangi Panti Wredha Wening Wardoyo, panti jompo milik pemerintah provinsi Jawa Tengah, berdiri sejak 1978. Ketika saya hendak memasuki areal panti, tiga kakek terlihat berjalan tertatih di pinggir Jalan Kutilang, yang melintang di depan panti. Satu kakek mengenakan tongkat berkaki tiga, kakek lain menyeret kakinya hanya dengan satu sandal, dan seorang lagi cengar-cengir. Semula saya menduga mereka adalah pengemis tapi seorang petugas panti kemudian segera mengejar mereka dan membawa kembali masuk ke panti. Suasana panti sempat riuh gara-gara mereka. “Mereka dalam perawatan khusus,” kata Sugeng Widodo, staf panti.

Ada 96 orang lanjut usia di panti ini. Mereka tersebar di 15 wisma. Setiap wisma dihuni sekitar 10-15 orang. Keadaan dan pelayanan untuk mereka, tentu berbeda dari penghuni panti yang berbayar. Di panti ini, penghuninya adalah orang miskin. Sebagian dari mereka dipungut oleh panti dari jalan atau terminal. Sebagian diantar pengurus RT atau kelurahan, seperti Sumardi.

Dari penampilannya, laki-laki berusia 63 tahun itu sebetulnya masih gagah. Tapi dia bilang sudah tak punya rumah dan pekerjaan, sementara empat anaknya juga miskin. Sudah lima bulan lelaki asal Kinibalu Semarang itu menetap di panti di Wisma Noroyono bersama 6 penghuni lain. Setiap hari, dia hanya mengikuti kegiatan yang diadakan panti: senam pagi, membuat kerajinan, mengikuti pengajian, dan makan. Malamnya dia bersantai di ruang tamu wisma, menonton acara televisi. Lalu setiap bulan, dia mendapat jatah uang Rp 5 ribu. “Saya pasrah dan betah tinggal di sini,” katanya.

Besoknya saya berkunjung ke Panti Sosial Tresna Wredha Unit Abiyoso, Pakem Yogyakarta. Hari masih pukul 8 pagi. Saya mendengar suara perempuan mengadu. Itulah suara Sarmi. Dia tak henti berteriak dalam bahasa Jawa, “Adoh… adoh… Perutku sakit.” Berkali-kali dia meminta agar perutnya dijunjung.

Diana dan Efie, petugas panti bergegas menengok ke kamar Sarmi di deretan paling kanan di Ruang Perawatan Khusus. Nenek berusia 84 tahun itu telentang tak berdaya di ranjang berkasur berlapis karet, mirip perlak. Sarungnya tertarik ke bagian kaki. Karena tak berbaju, di kasur itu, Sarmi terlihat telanjang bulat. Diana menarik sarung Sarmi untuk menutupi tubuh nenek itu, membetulkan posisi tidurnya. Sarmi agak kaget dan kembali berteriak, “Adoh… sakit.”

Darwati, staf panti, datang menyusul ke kamar. “Mbah, teriaknya jangan, ‘Adoh’. Teriaknya, ‘Allah… Allah…’ gitu,” kata Darwati setengah berteriak di wajah Sarmi. Dia menuruti seruan Darwati. “Inggih, Bu. Inggih, Bu. Astaghfirullah… Allah… Allah.. Allahu Akbar…”

Kata Darwati, Sarmi adalah salah satu korban bencana letusan Gunung Merapi 2010. Dia dibawa ke panti karena sudah tak ada lagi yang bisa merawatnya. Anak satu-satunya juga sudah berusia lanjut dan tinggal bersama anak-anaknya. Sarmi sebatang kara tapi anaknya rajin menjenguknya ke panti.

Pagi itu, sebagaimana rutinitas biasanya, memang aktivitas yang sibuk bagi Diana dan Efie. Dua perempuan muda ini bagian dari 14 pramuruppi, petugas panti.

Tujuh orang di antara mereka sudah diangkat PNS, sisanya termasuk Diana dan Efie, hanya tenaga honorer bergaji Rp 1,2 juta sebulan. Keduanya pernah beberapa kali ikut tes penerimaan PNS tapi tidak lulus. Kata Darwati, materi seleksi ujian bagi mereka tidak masuk akal.

Misalnya ditanya bisa komputer, pengetahuan umum dan sebagainya, “Padahal pekerjaan mereka adalah merawat orang tua jompo yang tidak semua orang bersedia melakukannya.”

Pekerjaan Diana dan Efie memang lumayan berat dan seperti kata Darwati, tidak semua orang bersedia melakukannya. Jumlah orang tua yang dirawat ada 14 orang. Semua membutuhkan perawatan khusus karena uzur dan setengah pikun.

Setiap hari, keduanya bukan saja menyiapkan makanan bagi para orang tua itu. Tapi juga memandikan, membersihkan kotoran, dan mencuci pakaian. Efie bercerita, sering para orang tua itu memoles dinding kamar dengan kotoran mereka sendiri, bahkan ada juga yang mengunyah beraknya.

Sebelum menangani Sarmi, Diana dan Efie sudah disibukkan oleh Timah, nenek berusia 82 tahun. Saya mengajak keduanya berbicara ketika Timah terlihat dari luar pintu kamar, bangun dari kasur. Nenek itu menggeser kedua kaki hingga kedua lutut membentuk sudut yang ditopang betis dan paha. Perlahan dia menggeser badannya mendekati lutut. Dasternya sudah terangkat hingga ke bagian perut. Lalu… Timah kencing di tempat tidur. Dia menoleh ke arah kami sembari melempar senyum.

Efie segera mengganti sarung yang menjadi alas tempat tidur Timah. Diana membersihkan nenek itu. “Pemandangan seperti itu sudah biasa. Sudah pekerjaan kami membersihkannya,” kata Efie.

Tapi pekerjaan mereka seperti tak pernah selesai. Di teras ruang perawatan itu, Selamun terlihat ngambek. Lelaki 77 tahun itu sudah tak bisa melihat, dan pagi itu dia enggan ke kamar. Hanya mondar-mandir di lantai teras yang baru saja dipel oleh Diana.

“Pak Selamun mau ke mana? Kalau tak mau diam, ndak aku kasih rokok, loh…” Efie bertanya dalam bahasa Jawa. Tapi yang ditanya tak menyahut.

Saya mengulurkan sebatang kretek kepada Efie. Lalu Efie memberikannya ke Selamun, dan membantunya menyalakan kretek itu. “Wis, sekarang duduk.”

Selamun menuruti kata-kata Efie. Dia duduk di bangku panjang sembari mengisap kretek.

Di kamar yang lain, saya melihat Tukiyo duduk di tepi ranjang. Matanya terpejam dan kepalanya digerak-gerakkan ke kiri hampir setiap tiga detik, seperti hendak dibenturkan ke dinding. Mulutnya menganga. Kata Diana, setiap hari, setiap duduk di tepi ranjang, kepala Tukiyo bergerak seperti itu.

*Reportase ini dimuat di Pindai.org 13 Januari 2015

Iklan