hoaxHOAX sebetulnya lebih dari sekadar berita atau kabar bohong. Ia adalah informasi yang sengaja dibuat dengan maksud menipu atau mengelebaui orang [banyak]. Tipuannya kadang disertai dengan referensi data dan fakta.  Tujuannya bisa untuk mendapatkan keuntungan secara politis dan ekonomi, tapi bisa juga untuk sekadar humor dan olok-olok. Kebohongan memang ada standarnya.

oleh Rusdi Mathari
Hak jawab itu ditulis oleh Kepala BIN, Budi Gunawan, dan dimuat di majalah Tempo edisi 2-8 Januari 2017 halaman 6 di bagian surat pembaca. Berjudul “Hak Jawab Budi Gunawan”, Budi menyampaikan lima poin keberatan yang secara keseluruhan membantah pemberitaan majalah Tempo edisi sebelumnya berjudul “Jenderal Polisi di Pusaran Perkara”. Di poin kedua, Budi bahkan menyebut pemberitaan Tempo yang menuding dirinya menerima Rp 14 miliar dari Suryo Tan pada kurun waktu 6-17 Juni 2014 untuk memperlancar urusan pembelian kuasa penambangan di Kalimantan Timur, adalah tidak benar, tidak berdasar, fitnah dan pencemaran nama baik. Sebelum dimuat majalah Tempo, Budi mengirimkan isi hak jawabnya ke berbagai media dan dimuat oleh beberapa media daring.

Sepekan sesudah surat keberatan Budi dimuat Tempo, majalah yang sama memuat surat keberatan Low Kok Khye alias Nick Low dan Anas Yusuf, yang nama keduanya juga disebut dalam berita “Jenderal Polisi di Pusaran Perkara”. Tak berbeda dengan hak jawab Budi, hak jawab Nick dan Anas dimuat di majalah Tempo edisi terbaru 9-15 Januari 2017 di halaman pembaca. Isinya sama dengan surat pembaca Budi: membantah pemberitaan Tempo.

Belakangan, hak jawab Budi terhadap berita isi majalah Tempo  tersebar di media sosial. Sebagian dari para penyebar, lalu menuding Tempo telah menyebarkan berita HOAX. Sebagian yang lain mempertanyakan: apakah [dengan hak jawab Budi] majalah Tempo berarti ikut menyebarkan HOAX, berita bohong itu? Semacam itu, dan tentu, pengaitan dan pertanyaan seperti itu, tak bisa disalahkan, karena HOAX akhir-akhir ini menjadi isu nasional menyusul kampanye masif anti-HOAX dari pemerintah seolah urusan paling penting negara ini adalah HOAX.

Problemnya, banyak yang tak mengerti apa HOAX meskipun HOAX sebetulnya sudah dikenal sejak berabad-abad lampau. Bahkan di zaman Nabi Muhammad saw., apa yang disebut sebagai HOAX hari ini, sudah seringkali terjadi. Salah satunya adalah kisah tentang Abdullah bin Saba al-Sahul.

Dia menyebarkan berita tentang Aisyah, istri Nabi, telah berzina. Informasi itu kemudian memicu kekacauan hampir selama sebulan, membuat Nabi murung. Belakangan terbukti, Abdullah hanya mengarang cerita dan melancarkan insinuasi terhadap Nabi dan istrinya. Al Quran surat ke-11 ayat ke-8 lantas melarang manusia menyebarkan berita bohong. Nabi menyebut, salah satu ciri manusia munafik adalah berdusta bila berbicara.

Kisah lainnya tentang Al Walid bin Uqbah. Dia diperintahkan oleh Nabi memungut zakat dari suatu kabilah yang baru masuk Islam sebagai kewajiban rukun Islam. Di tengah jalan menuju kabilah itu, Walid berbalik pulang sebab dia takut berjalan sendiri. Dia lalu melaporkan kepada Nabi bahwa kabilah itu tidak mau membayar zakat, dan sebaliknya menantang perang. Mendengar penjelasan Walid, Nabi menyiapkan pasukan, tapi sebelum pasukan bergerak, Al Haris menyampaikan kepada Nabi apa yang sebetulnya terjadi, dan menjelaskan bahwa kabilah itu justru menantikan kedatangan Nabi.

Di abad pertengahan, muncul almanak astrologi palsu. Kalender itu diterbitkan oleh Jonathan Swift alias Ishak Bickerstaff di 1708. Lewat almanak itu, Swift meramalkan kematian John Partridge, salah seorang astrolog terkemuka di Inggris pada waktu itu, dan lantas mengeluarkan elegi pada hari Partridge seharusnya telah meninggal. Tapi hal itu tidak terjadi. Sebagai gantinya: reputasi Partridge justru rusak, dan almanak astrologinya tidak dipublikasikan untuk enam tahun berikutnya.

HOAX yang paling terkenal adalah ketika film “The hoax” beredar pada 2005. Itu sebuah film drama yang berkisah tentang kisah hidup Clifford Michael Irving, reporter investigasi yang cukup terkenal di Amerika Serikat. Dia juga menulis beberapa buku. Antara lain biografi Howard Hughes, salah satu orang kaya di Amerika.

Buku itulah yang kemudian diangkat ke layar lebar meski belakangan diketahui, banyak yang ditulis oleh Irving di bukunya dihilangkan atau diubah dan tidak muncul di “The Hoax”. Irving kesal dan menganggap film itu penuh kebohongan. Dia kemudian meminta agar namanya tidak dimunculkan di kredit film. “The Hoax” sejak itu menjadi terkenal. Bukan karena menarik untuk ditonton melainkan karena menjadi istilah baru untuk menyebut suatu kebohongan.

Apakah dengan demikian HOAX adalah semata berita bohong dan dusta yang tidak berbasis data dan fakta?

HOAX sebetulnya lebih dari sekadar berita atau kabar bohong. Ia adalah informasi yang sengaja dibuat dengan maksud menipu atau mengelebaui orang [banyak]. Tipuannya kadang disertai dengan referensi data dan fakta. Tujuannya bisa untuk mendapatkan keuntungan secara politis dan ekonomi, tapi bisa juga untuk sekadar humor dan olok-olok. Kebohongan memang ada standar dan pembagiannya.

Contoh soal ini muncul beberapa hari lalu, tentang berita layanan Qlue yang diberitakan dimatikan oleh Plt. Gubernur DKI, Sumarsono. Mereka yang mendukung dan fanatik kepada Ahok, lantas “menggoreng” berita itu. Para buzzer di Twitter, termasuk di dalamnya para wartawan, meneruskan berita itu dengan “pura-pura” bertanya soal berita itu dengan nada yang seakan hendak mengatakan: inilah akibatnya kalau gubernur DKI Jakarta bukan Ahok. Persis kelakuan para monyet, clicking monkey itu. Tapi benarkah berita tentang Sumarsono yang mematikan Qlue itu?

Elisa Sutanudjaja, kontributor dari RUJAK [Centre for Urban Studies] yang sering mengkritisi kebijakan Ahok,kemudian menelusuri kebenaran dan ketidakbenaran berita tersebut. Hasilnya: yang sebetulnya terjadi adalah pembatalan SK 903/2016 yang digantikan dengan SK 2432/2016,yang isinya kurang-lebih membatalkan SK 903/2016 dan sekaligus menghilangkan kewajiban ketua RT dan RW di DKI Jakarta untuk melapor via Qlue. Dan menurut Elisa, yang meneken SK 2432/2016, tak lain tak bukan adalah Ahok, dan itu terjadi pada 25 Oktober 2016. Bukan Sumarsono.

Sekarang, bila mengacu kepada batasan yang dibuat oleh Rocky Gerung bahwa HOAX adalah informasi yang nilainya nol atau lebih kecil dari nol alias tidak ada informasinya, maka berita “Jenderal Polisi di Pusaran Perkara” yang ditulis oleh majalah Tempo, tentulah bukan HOAX. Setidaknya, informasi di berita itu lebih dari nol. Tapi masalahnya adalah hak jawab Budi Gunawan, Nick Low dan Anas Yusuf, yang membantah isi berita majalah Tempo dan menganggapnya sebagai fitnah.

Dewan Pers menjelaskan, hak jawab adalah hak seseorang, sekelompok orang, organisasi atau badan hukum untuk menanggapi dan menyanggah pemberitaan atau karya jurnalistik yang melanggar Kode Etik Jurnalistik, terutama kekeliruan dan ketidakakuratan fakta, yang merugikan nama baiknya kepada pers yang memublikasikan. Dengan batasan ini, jelas sudah, bahwa pers bisa salah, bisa tidak akurat, bisa bohong, bisa menfitnah. Tapi pers dilindungi oleh undang-undang, dan karena dilindungi oleh undang-undang, pers wajib memuat hak jawab dari mereka yang merasa dirugikan oleh pemberitaan. Apabila hak jawab sudah dimuat, maka gugurlah kewajiban pers terhadap kesalahan berita yang dianggap merugikan meskipun hak jawab seringkali hanya dimuat di rubrik surat pembaca.

Tentu ada pengecualian. Misalnya dengan membawa berita yang bermasalah itu ke Dewan Pers, dan di sanalah kemudian dilakukan telaah atas berita yang dianggap bermasalah, atau perundingan antara pers dengan orang-orang yang merasa dirugikan. Jalan keluarnya bisa bermacam-macam, tapi sudah lama tak terdengar ada informasi tentang wartawan yang dinyatakan bersalah secara kode etik kemudian diberi sanksi. Misalnya dengan tidak boleh menulis atau dicabut status kewartawannnya selama periode tertentu.

Karena undang-undang itu pula, berita atau karya jurnalistik yang dianggap menfitnah, berbohong, dan tidak akurat, tidak bisa disebut sebagai HOAX, kecuali hanya dianggap melanggar kode etik. Dan hal itu, tentu saja berbeda dengan mereka yang menggunakan media sosial. Mereka yang menulis status di Facebook, menulis kicauan di Twitter, bisa dengan gampang disebut sebagai penyebar HOAX bila yang ditulis adalah informasi yang tidak akurat dan bohong. Dan di zaman sekarang, malah bisa diseret ke depan penyidik. Bahkan jika yang mereka sebarkan di media sosial sekadar meneruskan tautan berita yang ditulis oleh wartawan, pers yang dilindungi undang-undang itu. Apakah penyebaran informasi hanya monopoli para wartawan/media?

Maka ketimbang menuding orang lain menyebarkan HOAX, atau Anda dituding menyebarkan HOAX, ada baiknya, mulai sekarang, Anda cukup menulis di Facebook atau Twitter, tentang kegiatan sehari-hari Anda. Itu bisa berupa kegiatan Anda sedang bercukur rambut kemudian berfoto bersama dengan tukang cukurnya atau duduk di taman mengenakan sarung dengan wajah menatap ke depan: wajah keprihatinan. Kalau perlu mintalah teman Anda mengambil foto-foto semacam itu berulang-ulang, hingga teman-teman Anda di media sosial akan yakin betul bahwa gaya Anda di foto-foto itu bukan sebuah imajinasi, bukan sebuah laku HOAX.