Donald Trump berniat membangun tembok perbatasan dengan Meksiko, mengusir imigran, dan memerangani negara Muslim. Beberapa media Amerika menjulukinya sebagai sosok berbahaya, jika dia jadi presiden Amerika.
Rusdi Mathari
Jauh sebelum foto selfie Ketua DPR-RI, Setya Novanto dan salah satu wakilnya, Fadli Zon bersama Donald Trump menghebohkan publik di Tanah Air; empat tahun lalu, publik Amerika Serikat sudah heboh dengan lelucon Presiden Barack Obama tentang Trump. Berpidato di acara makan malam tahunan bersama para reporter Gedung Putih, Obama menyindir Trump dengan
menunjukan sebuah gambar Gedung Putih yang dipermak: di atas tulisan “White House” terpampang tulisan “Trump” dan di bawahnya ada tulisan “Presidential Suite.” Hurufnya berkilauan mirip lampu neon di gedung-gedung kasino di Las Vegas lengkap dengan hiasan wanita berbikini sembari minum cocktail di bak mandi.
Para tamu tergelak mendengar sindiran Obama dan melihat gambar itu. Trump yang juga hadir di acara itu terlihat tanpa ekspresi. “Seandainya Donald Trump jadi presiden, dia akan menyulap Gedung Putih menjadi sebuah kasino,” kata Obama.
Dia terlihat semakin tidak nyaman sewaktu komedian Steve Meyers menimpali guyonan Obama. “Donald Trump sering berbicara soal pencalonannya sebagai presiden dari Partai Republik yang begitu mengagetkan sejumlah pihak. Tapi, saya menganggap pencalonan dirinya hanya sebagai guyonan.”
Malam itu, 1 Mei 2011, Obama memang seperti membalas kelakuan Trump terhadapnya setelah selama sepekan, Trump terus mencari celah untuk menyerangnya. Dalam sebuah kesempatan, Trump mempersoalkan akte kelahiran Obama lewat teori konspirasi: Obama bukan lahir di negara Amerika dan karena itu tak pantas jadi presiden Amerika. Trump tak bisa disangkal, saat itu harus melakukan “usaha” untuk merontokkan popularitas Obama. Pilpres hanya tinggal setahun, dan dirinya digadang-gadang sebagai calon presiden dari Partai Republik, meskipun kemudian gagal karena Republik menyodorkan Willard Mitt Romney untuk melawan Obama di Pilpres 2012.
Lalu di acara makan malam itu, Obama menyindir Trump sebagai calon presiden yang punya ketajaman visi: menyingkirkan Gary Busey, aktor ternama yang masuk nominasi Oscar 1978, punya acara “Celebrity Apprentice”, hingga menghabiskan waktu untuk mengorek tempat lahir Obama. Maka kata Obama, setelah dia mengeluarkan akte kelahirannya untuk menjawab kontroversi tentang tempat kelahirannya, Trump mungkin bisa memusatkan perhatian pada hal-hal yang lebih serius. Misalnya “Apakah pendaratan di bulan itu palsu? Apa yang sebenarnya terjadi di Roswell? Dan di mana Biggie dan Tupac?”
Rosweel yang disebut Obama adalah nama tempat di negara bagian New Mexico, tempat jatuhnya balon udara pengintai Angkatan Udara Amerika pada 1947. Adapun Biggie dan Tupac adalah dua nama penyanyi rap. Biggie adalah julukan untuk Christopher Wallace, dan Tupac untuk Tupac Shakur. Keduanya mati ditembak pada 1997, dan kisah mereka pernah dijadikan film dokumenter [2002].
Tentu olok-olok Obama menjadi perhatian media. Beberapa jam usai acara makan malam itu, hampir semua media Amerika menjadikan lelucon dan sindiran Obama terhadap Trump sebagai ulasan utama. Sebagian disertai dengan pernyataan dari Trump, yang secara umum mengaku tidak mempermasalahkan sindiran Obama, dan mengaku justru merasa terhormat. Hanya kepada Mark Halperin wartawan Blomberg, Trump menjawab diplomatis. Katanya, “Saya suka dikerjain malam itu, tapi hari berikutnya ketika saya terbangun, semua surat kabar mengatakan saya membencinya.”
Empat tahun sesudah malam penuh tawa di Gedung Putih, Trump kembali mencoba peruntungan untuk maju sebagai calon presiden di Pilpres 2016. Namanya masuk nominasi kandidat dari Partai Republik, dan hal itu mestinya adalah peruntungannya yang keempat. Lima belas tahun yang silam, nama Trump sempat masuk nominasi calon presiden dari Partai Reformasi. Satu dekade yang lalu dia berujar “Kemungkin banyak yang mengira saya Demokrat.” Dan sejak 2011, dia adalah seorang Republikan, dan berlanjut hingga sekarang. Namanya kemudian memimpin jajak pendapat nominasi di internal partai dan barangkali karena itu, dia lantas mengumumkan diri sebagai kandidat presiden dari Republik.
Tak bisa dibantah, nama Trump memang popular, tanpa harus dia mencalonkan diri sebagai presiden. Tapi beberapa media menyebut pencalonannya sebagai presiden, sebagai sesuatu yang mengerikan terutama karena pernyataan-pernyataan dan kontroversinya. Trump dianggap penuh dengan ketidakkonsistenan.
Tentang aborsi, dia mengatakan “Saya sangat pro-choice” dan “Saya pro-kehidupan.” Untuk kepemilikan senjata [api], dia mengatakan “Saya lebih suka bila tak seorang pun memiliki senjata ” dan “[Saya] mendukung Perubahan Kedua sepenuhnya” [yang menjamin hak kepemilikan senjata]. Dia sering mengatakan ingin pelayanan kesehatan satu atap. Akhir-akhir ini, Trump hanya menjanjikan untuk meneruskan program Obama, Obamacare dengan “sesuatu yang hebat.”
Dalam sebuah wawancara awal September lalu, sewaktu wartawan The Economist bertanya alasan para pemilih Partai Republik meloloskannya sebagai kandidat, Trump menjawab seolah dia sungguh-sungguh penganut agama yang saleh: memahami Al Kitab, berbakti pada Tuhan dan ajaran agama. Sekian detik kemudian, dia mulai bosan dengan topik agama dan segera berbicara tentang bagaimana dia [bisa] memiliki “kekayaan bersih lebih dari US$ 10 miliar” dan “beberapa aset terbesarnya di dunia” termasuk Trump Tower, resor golf Trump Turnberry, dan sebagainya.
Untuk masalah dalam negeri, dia berniat mengambil keputusan yang sepintas terlihat seperti adil, meskipun sebetulnya sangat mengerikan: membangun tembok di sepanjang perbatasan dengan Meksiko, mirip tembok yang pernah memisahkan Berlin. Dia juga akan mendeportasi semua imigran [11 juta orang saat ini] yang diduga berada di Amerika secara ilegal. Terlepas dari penderitaan yang mungkin akan ditimbulkan, rencana pembangunan tembok perbatasan itu sedikitnya akan menelan biaya US$ 285 miliar, dan ongkos itu akan dipungut oleh Trump dari pajak baru sebesar US$ 900 untuk setiap pria, wanita dan anak-anak di Amerika.
Trump beralasan, tembok perbatasan diperlukan karena imigran gelap dari Meksiko “Membawa obat. Mereka membawa kejahatan. Mereka pemerkosa.” Dia juga merencanakan untuk mengumpulkan anak-anak para imigran yang lahir di Amerika lalu mengusir mereka ,sekalipun mereka adalah warga negara Amerika. Dan Trump tidak terusik sedikit pun, bahwa semua itu [bila benar dilakukan] bertentangan dengan hukum dan undang-undang.
Untuk urusan luar negeri, pendekatan Trump adalah pendekatan yang sangat ultra nasionalis untuk tidak menyebut rasis dan diskriminatif. Dia berniat akan menghancurkan negara Islam dan mengirim pasukan Amerika untuk “mengambil minyak.” Dia akan “membuat Amerika besar lagi” baik secara militer maupun ekonomi dengan menjadi negosiator yang lebih baik dari apa yang disebutnya sebagai “dummies” yang mewakili Amerika belakangan ini. Trump tampaknya berpikir bahwa mengurus geopolitik tidak lebih sulit dibandingkan menjual properti, dan tentu saja cara berpikir semacam itu menggelikan.
“[Setiap] negara yang melakukan bisnis dengan kita ‘ telah merusak Amerika.’ Cina telah mengambil uang dari Amerika Serikat dan itu pencurian terbesar dalam sejarah negara kita.” Dia mengacu pada fakta bahwa Amerika kadang-kadang membeli produk-produk Cina lalu menyalahkan Beijing memanipulasi mata uang, dan karena itu akan mengenakan tarif besar pada setiap barang impor [dari Cina]. Dalam beberapa cara yang belum disebutkan, Trump juga memikirkan untuk melindungi sekutu Amerika seperti Korea Selatan dan Jepang karena “Jika kita melangkah mundur, mereka akan melindungi diri dengan sangat baik. Ingat ketika Jepang digunakan untuk mengalahkan Cina secara rutin dalam perang? ”
Dari pandangan-pandangannya itu, Trump tidak lain adalah pengidap paranoid. Allan Nairn, wartawan yang tulisan-tulisannya pernah mempengaruhi kemenangan Joko Widodo pada Pilpres 2014, menyebut ideologi Trump mirip dengan ideologi sayap kanan di Eropa: Hungaria dan Swedia. Trump, bukan saja akan melawan perjanjian perdagangan bebas internasional [WTO], tapi juga akan menolak pemotongan jaminan sosial dan kesehatan. Dan kata Nairn, cara itu pada dasarnya hendak mengatakan: “Ya, kita harus melindungi pekerja, harus memiliki program kesejahteraan sosial, tapi kita harus memanfaatnya untuk orang kulit putih, menggunakannya untuk kelompok mayoritas yang dominan di Amerika Serikat . Dan jika program ini dipotong, Anda bisa menyalahkannya pada orang asing, menyalahkannya pada minoritas tertindas.”
Pandangan-pandangan Trump semacam itu, ironisnya mendapat dukungan dan popular terutama dari dan di orang-orang kulit putih di Amerika. Dan hal itu pada dasarnya mencerminkan pendekatan dari kelompok-kelompok sayap kanan di Eropa yang fasis. Sebagian alasan percaya, sosok seperti Trump akan mampu membangkitkan kejayaan Amerika, menyediakan lapangan pekerjaan, menciptakan kesejahteraan sosial sehingga memungkinkan orang Amerika hidup pada tingkat yang layak. Dengan kata lain, orang seperti Trump telah disambut dengan antusias, meskipun Trump memanfaatkan semua itu sebagai alat rasisme.
Dengan sosok kontroversi semacam itulah, Novanto dan Fadli, dua orang Indonesia yang menjabat sebagai wakil rakyat, tampil selfie beberapa waktu lalu. Orang-orang meributkannya bukan karena soal selfie mereka, melainkan karena mereka hadir dalam kampanye Trump. Dengan menghadiri kampanye Trump, Novanto dan Fadli dianggap menyalahgunakan perjalanan dinas, tidak menjaga martabat, kehormatan dan kredibilitas DPR.
Beberapa kelompok membuat petisi menuntut Novanto dan fadli untuk meminta maaf, mengundurkan diri, bicara terus terang soal motivasi mereka, atau dicopot jabatannya. Sebagian termasuk anggota DPR berpendapat dan mengusulkan agarkeduanya disidang di Dewan Kehormatan DPR karena dinilai telah melanggar kode etik. Keduanya diduga telah melanggar Pasal 292 Peraturan DPR tentang Tata Tertib mengenai Kode Etik.
Ke Amerika, Novanto dan Fadli sesungguhnya datang untuk mewakili parlemen Indonesia [DPR] di Konferensi Inter-Parliamentary Union [IPU] di kantor PBB di New York. Di situs IPU tertulis, agenda pertemuan berlangsung pada 31 Agustus hingga 2 September untuk membicarakan isu perdamaian, demokrasi dan pembangunan dari kacamata parlemen. Panitia konferensi mengatur, komposisi dari setiap parlemen yang mengikuti acara tersebut tidak boleh melebihi sepuluh orang dan di setiap delegasi hanya boleh memiliki maksimal dua peninjau.
Dengan kata lain, kepergian Novanto dan Fadli sebetulnya tidak bermasalah. Hal itu pun sesuai dengan hak mereka sebagai anggota DPR karena anggota DPR memang diberi hak melakukan kunjungan kerja keluar negeri seperti diatur oleh Badan Kerja Sama Antarparlemen DPR. Syaratnya: kunjungan tersebut adalah bersifat multilateral.Problemnya: Novanto dan Fadli kemudian terlihat hadir di konferensi pers Trump, entah untuk tujuan dan maksud apa.
Mungkin karena kerepotan menjawab, dari kubu Novanto dan Fadli kemudian muncul pembelaan bahwa kedatangan keduanya di acara Trump adalah untuk membicarakan investasi Trump di Indonesia. Sebuah alasan yang konyol, dan justru dari alasan seperti itu, kontroversi kehadiran mereka semakin dipersoalkan karena investasi ekonomi seharusnya adalah urusan pemerintah dan bukan tugas anggota DPR.
Spekulasi pun berkembang: Novanto dan Fadli hadir di acara Trump sebab dibiayai oleh Hary Tanoesoedibjo. Nama yang disebut terakhir adalah salah satu konglomerat yang menonjol setelah Reformasi 1998, pemilik kerajaan media MNC Grup, dan sejumlah bisnis. Sama seperti Trump, sebagai taipan, Hary mencoba peruntungan di dunia politik. Beberapa orang menganggapnya sebagai orang yang berambisi, sama dengan Prabowo Subianto, kandidat presiden di Pilpres 2014.
Dua tahun lalu, Hary Tanoe sempat bergabung dengan Partai Nasdem, tapi kemudian pecah kongsi dengan Surya Paloh. Di musim Pemilu 2014, dia mencoba peruntungan dengan menggandeng Jenderal Wiranto dari Partai Hanura untuk maju sebagai kandidat presiden tapi kandas sebelum Pilpres. Saat Pilpres, Hary Tanoe lantas terlihat mendukung pasangan Prabowo-Hatta Rajasa. Dan tahun lalu, dia mendirikan partai baru: Perindo. Partai yang belakangan gencar beriklan di media yang dimiliki oleh Hary.
Punya kesamaan dalam soal ambisi politik dan bisnis, Trump dan Hary Tanoe faktanya merintis kerjasama bisnis. Dikutip oleh kantor berita Reuters [20 Agustus 2015], salah satu unit bisnis Trump yaitu Trump Hotel Collection, telah menyepakati kerjasama dengan MNC Grup untuk membangun kawasan resor dan permukiman mewah di Bali. Setelah di Bali, kerjasama mereka akan berlanjut ke kawasan Lido, Sukabumi, Jawa Barat. “Itu juga dengan Donald Trump. Bentuknya sama juga dengan yang di Bali,” kata Hary Tanoe
Apakah dengan demikian, Novanto dan Fadli yang bertemu dengan Trump, benar dibiayai oleh Hary Tanoe, tentu tetap jadi spekulasi. Keduanya pun sudah menolak menghubungan kehadiran mereka di acara Trump dengan kepentingan Hary Tanoe. Satu hal yang mungkin agak jelas adalah kehadiran Novanto dan Fadli merisaukan banyak orang termasuk Imam Besar Masjid Indonesia di New York, Imam Shamsi.
Tak berbeda dengan Nairn, Shamsi menunjukkan bahwa Trump secara substantif terkenal untuk satu hal di Amerika: rasis, anti-imigran, dan anti-Muslim. Dia karena itu menyayangkan Fadli Zon, orang dekat atau wakil dari Prabowo, sebagai wakil dari komunitas Muslim Indonesia berpose dengan bangga dengan Donald Trump. Sosok yang oleh beberapa media di Amerika dianggap sebagai berbahaya jika jadi presiden, dan di acara makan malam bersama wartawan, telah diledek oleh Obama akan menyulap Gedung Putih menjadi sebuah kasino.
Tulisan ini dimuat di majalah Rolling Stone [Indonesia], edisi Oktober 2015.
Oktober 2, 2015 at 9:52 am
Republik & Denokrat AS adalah tangan kanan & kiri Wall Street!
Yb & Yth Bapak (Bpk) Rusdi Mathari di Jkt: Terima-kasih atas kirimannya email ttg Mr Trump. Saya berpendpt sejak 1970am awal, bhw para Pemimpin AS adalah para “Penari” di depan masarakat (agar dipilih mayoritas). Pendpt itu: respon saya thd cemooh-sinis seorang pemikir AS dlm bukunya yg saya baca di Perpustakaan Ganesa Purwosari Solo: “USSR gagal melahirkan para Pemimpin baru yg berbobot, maka terjadi degradasi kepemimpinan di USSR, dr generasi ke generasi. Sebab-pokoknya, krn para Pemimpin baru itu terseleksi lewat mekanisme ‘menari di depan Pimpinan Partai’; yaitu para glositis (penjilat). Efek: orang-orang bodoh pun dpt jadi Pemimpin, jika mereka pandai menari (menjilat) para Pemimpin Partai!” Respon saya: mekanisme seleksi & terpilihnya para Pemimpin di AS pun, lewat “menari” (menjilat) (tak di depan Parpol, tapi di depan masyarakat). Efeknya sama dg di USSR: terjadi degradasi kepemimpinan di AS, dr generasi ke generasi”. ++ Lewat metode demokrasi “liberal”: masarakat “bodoh” & “jahat”, akan memilih para Pemimpin-politik yg “bodoh” & “jahat”. Dosen saya Psikiatri di fk uii, Dr Lucas Meliala (sekarang Prof Dr Neurologi-klinik di fk ugm) pd th 1970: menandaskan bhw: “Masarakat yg didominasi para Psikopat, yakin kejahatan de facto adalah nonsens jika tak dibuktikan secara de jure” (ia mengutip Kreplin) (saya tulis kembali berdasar arti). Masarakat indonesia kita: bodoh (IQ rata-rata: 85-89); maka demokrasi “liberal” akan melahirkan para Pemimpin yg bodoh. Hanya utk ilustrasi: ” Bbrp th y.l. benarkah Bupati Klaten yg terpilih adalah lulusan SD yg setengah Buta Huruf?” ++ I was chosen by God (the nature); so, i know what i must do. So, i am better, if i am continuing to walk alone, in this strange world”. Nuwun
Note: Republik adalah tangan kanan & Demokrt adalah tamgan kiri Wall Street. Para Pemimpin-politik AS adalah “Tukang Angkat Meja-kursi!” So, they are not the true leaders!
for the sake of my responsibility i have written the truth, so obey me
ruwihadi perumnas majasanga, indonesia
revolution v