Juddith Miller
Juddith Miller

Raymond Bonner, eks reporter the New York Times menulis penyesalan dan rasa bersalah karena pernah ikut memberitakan tentang penangkapan orang-orang yang dituduh sebagai teroris. Bagaimana di Indonesia?

oleh Rusdi Mathari
Penyesalan biasanya datang terlambat, tapi lebih baik terlambat daripada terus-menerus menutupi kebohongan. Tulisan Raymond Bonner yang dimuat di Politico.com kemarin, adalah salah satu penyesalan seorang wartawan. Eks reporter investigasi the New York Times yang pernah menulis kisah penangkapan Lotfi Raissi pasca peristiwa 9/11 ini, mengaku bersalah telah ikut melaporkan apa yang pernah banyak menghiasi kepala berita media: “perang melawan teror.”

Raissi adalah pilot kelahiran Aljazair. Dia ditangkap oleh sepasukan FBI di dekat bandara Heathrow, London, tak lama setelah peristiwa 9/11. Tuduhannya: Raissi melatih beberapa pilot yang konon menerbangkan pesawat dan menabrakkannya ke Gedung WTC di New York, 11 September 2001, semasa dia jadi instruktur penerbang di Arizona [1997-2000]. Bukti yang memberatkan Raissi antara lain fakta dari beberapa halaman log penerbangannya yang hilang selama periode waktu dia dituding telah melatih salah satu pembajak.

Bonner menulis laporan kisah penangkapan Raissi itu dengan bahan-bahan yang dikumpulkanya. Dia mengintai rumah Raissi, mewawancarai tetangganya, juga upaya pemerintahan George Bush untuk mengekstradisi Raissi ke Amerika Serikat.

Ketika menulis itu semua, Bonner berbangga telah ikut menyampaikan “fakta” demi dan atas nama menjaga keamanan nasional, melindungi publik dari aksi para teroris. Sekarang, lewat tulisannya di Politico dia mengaku meringis membaca laporannya yang dimuat di the New York Times itu, karena sebuah pengadilan di Inggris justru menyatakan: Raissi adalah korban fitnah dan pengadilan memerintahkan agar dia mendapat kompensasi.

Kisah Raissi adalah gambaran tentang kerja wartawan dan media, sejauh ini. Para redaktur telah berperilaku mirip politisi. Mereka menjadikan seluruh keterangan aparat sebagai satu-satunya rujukan untuk menjelaskan “perang melawan teror” demi dan atas nama keamanan negara dan atas nama kebebasan sipil. Menjadikannya sebagai kepala berita di halaman depan media mereka tapi melupakan cerita-cerita mengerikan dari orang-orang yang dituduh teroris. Kisah mereka tak layak ditulis. Tak perlu diungkap. Cukup dilipat di kertas-kertas catatan mereka dan dibiarkan menumpuk di meja redaksi.

Sewaktu reruntuhan gedung WTC masih membara, Jaksa Agung John Ashcroft mengatakan kepada sebuah komite kongres bahwa sebuah masjid di Brooklyn telah menyalurkan uang ke al Qaeda. Keterangannya menjadi berita utama di the New York Times tapi informasinya ternyata salah. Eric Lichtblau, reporter yang menulis berita itu, berterusterang, medianya larut dalam suasana nasional yang dirundung ketakutan dan juga kemarahan.

Baru-baru ini the New York Times mengumumkan akan menuliskan kata “penyiksaan” untuk menyebut kelakuan anggota CIA yang menyiksa orang-orang yang dituduh sebagai teroris sampai di luar batas yang bisa dibayangkan: dibentur-benturkan ke tembok, ditelanjangi lalu digantung, dijadikan mangsa anjing, kepala ditutup plastik lalu dialiri air, dan lain-lain. Itu perubahan yang drastis menyusul laporan Komite Intelijen Senat [Desember silam] yang menyebut kebrutalan para anggota CIA menginterogasi orang-orang yang dituding sebagai teroris.

Sebelumnya, para redaktur the New York Times beralasan, mereka tidak menggunakan kata “penyiksaan” karena kuatir terlibat terlibat dalam debat politik. Sebagian berdalih kata “penyiksaan” tidak ditemukan dalam determinan hukum. Dan koran itu tidak sendiri. Media seperti Los Angeles Times, USA Today dan the Wall Street Journal juga tidak pernah menyebut kata “penyiksaan” untuk perbuatan yang dilakukan para tentara, agen CIA dan FBI saat menyiksa orang-orang yang mereka tangkap karena dituduh terlibat terorisme.

Dosa jurnalistik lain yang diungkap oleh Bonner adalah pemberitaan tentang Abu Zubaydah. Para petugas bersenjata menangkap pria itu dalam sebuah serangan di Pakistan. Mereka kemudian menyiksanya secara brutal di sebuah penjara rahasia di Thailand karena Zubaydah dituduh sebagai salah satu perwira senior Osama bin Laden. Faktanya: dia bahkan bukan anggota al Qaedah.

Jauh sebelum Bonner menulis pengakuan dosa, Judith Miller, rekannya di the New York Times sudah membongkar semua kebohongan pemerintahan Bush, presiden sialan itu. Miller membeberkan laporan palsu CIA tentang senjata pemusnah masal di Irak yang dijadikan dalih oleh pemerintahan Bush untuk menyerang Irak dan kemudian juga Afghanistan menyusul peristiwa 9/11, yang belakangan dijadikan sebagai propaganda “perang melawan teror” di seluruh dunia.

Kasus itu menyeret Miller dan Matthew Cooper, wartawan majalah Time ke pengadilan. Rezim Bush menganggap berita yang ditulis keduanya sebagai tindakan membocorkan rahasia negara. Mereka diminta memberikan indetitas sumber beritanya yang tentu saja ditolak oleh Miller.

Perempuan itu lebih memilih dipenjara ketimbang harus membeberkan nama sumbernya. Dia ingin menunjukkan komitmen sebagai wartawan bertanggung jawab dan bermartabat: melindungi indentitas dan keselamatan sumber. Baginya, identitas sumber yang berbicara atas dasar off the record harus tetap ditutup rapat. Untuk alasan apa pun, dan alasannya masuk akal sebab membocorkan nama agen CIA menurut UU Amerika Serikat adalah kejahatan serius,  bisa berakibat pada keselamatan pribadi dan keluarga sumber.

Sikap Cooper berkebalikan. Meskipun pada mulanya ingin bersikap seperti Miller tapi dia mengungkap jati diri sumber kepada pejabat pemerintah karena alasan telah ditekan oleh atasannya. Akibat pengakuan Cooper, terungkaplah nama Karl Rove, salah satu penasihat politik utama Bush. Rove kemudian dipecat dan menghadapi tuntutan pengadilan. Kisahnya dinukil di buku “What Happened” yang ditulis Scott McClellan, bekas juru bicara Gedung Putih.

Di buku itu, McClellan antara lain menceritakan tentang isi konferensi pers yang dilakukannya bersama Rove. Dia menyalahkan Bush dan wakilnya, Dick Cheney karena peran Gedung Putih yang menyesatkan informasi kepada publik tentang pembocoran indetitas agen rahasia CIA. “Saya bersalah telah memberi terlalu banyak kepercayaan untuk tuduhan dari para pejabat pemerintah bahwa seseorang adalah teroris,” tulis Bonner.

Pernyataan itu memang terasa menampar, tapi Bonner, Miller dan Lichtblau telah melakukan hal yang benar sebagai wartawan: mengabarkan yang sesungguhnya terjadi, meminta pertanggungjawaban pemerintah, dan menyodorkan skeptisisme. Dan itulah jurnalistik.

Bagaimana di Indonesia?

Sejauh ini belum ada pengakuan dosa dan bersalah dari wartawan dan media, yang sebelumnya telah begitu gencar memberitakan teroris dan terorisme. Stigma teroris terhadap orang-orang tertentu, rupanya telah menyebabkan arus besar wartawan juga larut dengan stigma itu. Mereka hanya menjadikan polisi, Densus 88, BNPT sebagai satu-satunya sumber yang bisa dan harus dipercaya.

Mereka abai bahwa dalam jurnalistik, menjadikan keterangan satu lembaga sebagai satu-satunya rujukan kebenaran adalah sesuatu yang tidak mungkin. Dan itulah paradoks yang menyedikan, karena pada banyak kasus antara lain korupsi, wartawan dan media justru menolak percaya pada polisi dan keterangannya.

Tak ada juga usaha yang serius misalnya untuk menelisik: berapa orang yang ditangkap Densus 88 selama kurang-lebih 14 tahun terakhir, karena dituding teroris? Bagaimana nasib mereka [dan keluarganya] sekarang? Berapa jumlah mereka yang ditembak mati sejak propaganda perang melawan teror dipompakan ke halaman media?

Berapa yang mati sebab disiksa di tahanan atau di penjara? Benarkah mereka benar berada di penjara? Benarkah mereka teroris seperti yang sebelumnya diberitakan? Lalu, wartawan dan media mana pula yang mau mengaku bersalah dan bersedia meminta maaf?

Pola yang sama kini terus terjadi: wartawan dan media ramai memberitakan isu ISIS, juga hanya berdasarkan keterangan polisi, BNPT, dan pengamat. Hanya itu.Tidak ada yang mencoba mengungkap apa dan siapa ISIS dari sumber pertama. Misalnya agar jelas duduk perkaranya meskipun hal itu tetap bisa dimengerti.

Barangkali karena medianya tidak punya biaya untuk mengongkosi liputan investigasi. Mungkin wartawannya takut dan ketakutan. Siapa tahu pula wartawan dan medianya memang tidak peduli atau dihinggapi sentimen tertentu. Malas dan sekadar ingin memberitakan agar dianggap tidak ketinggalan isu.

Atau, di sini, wartawan dan media, memang pantang menyesali dan meminta maaf untuk pemberitaan mereka yang keliru, seperti yang dilakukan oleh Bonner dan the New York Times yang menyesal dan mengaku berdosa?