Hentikan semua yang sudah kita lakukan selama 14 tahun ini. Sudah tidak berhasil. Tak satu pun lagi menunjukkan strategi itu bisa berhasil. Itu permainan whack a mole, bukan perencanaan. Biarkan Timur Tengah mengurus dirinya sendiri. Hentikan membentuk negara gagal. Hentikan buang-buang percuma kebebasan di dalam negeri atas nama kebohongan. Hentikan memuntungi hak-hak kewargaan Muslim yang hidup bersama kita. Pahami perang, seperti apa adanya, yaitu melawan seperangkat ide—keagamaan, anti-barat, anti imperialis—dan kau tak bisa membom ide. Menempatkan tentara-tentara barat di lapangan Timur Tengah dan pesawat-pesawat barat di angkasa hanya mengipasi nyala api. Balas dendam tidak bisa dan tak akan bisa memadamkan sebuah ide.
oleh Peter Van Buren*
Anda tak mau baca ini, dan aku sama sekali tak senang menulisnya, dan tak seorangpun benar-benar mau dengar juga saat ini. Tapi aku yakin memang mesti dikatakan.
Aku ikut bergabung dalam duka dunia atas kematian di Paris. Aku sudah berduka pada semua yang mati sejak 9/11 dan seterusnya—orang-orang Australia yang mati dalam serangan Bom Bali di tahun 2002, orang-orang London yang mati karena serangan teror di tahun 2005, warga Prancis yang mati dalam serangan Charlie Hebdo di bulan Januari tahun ini, orang-orang Rusia yang pesawatnya jatuh di Sinai sekitar beberapa minggu lalu. Banyak lagi kematian non-western yang nyaris tak diketahui di media AS. Aku juga berduka pada mereka yang terbunuh dalam serangan-serangan lebih kecil yang sudah menyungsep masuk ke dalam kerumitan memory kita.
Dan kita juga ramai di Twitter dengan tagar dan frase-frase dan memosting GIFs ke facebook. Kita tahu apa yang kita lakukan; karena kita juga sudah lakukan ini sebelumnya.
Tapi mesti dikatakan, khususnya menyaksikan pengulangan yang bikin muak dari cerita yang sama, bahwa setelah 14 tahun lebih perang teror, teror tampaknya malah bertahan tinggal bersama kita, bahkan berkembang lebih besar. Saatnya untuk memikirkan ulang apa yang sudah kita lakukan dan sedang lakukan.
Sejak hari di tahun 2001 itu, peristiwa yang membuat langit New York bercahaya api, kita sudah memata-matai dunia, warga Amerika di dalam negeri dan orang-orang asing di luar negeri, masih saja tak seorangpun sanggup mendeteksi apapun yang dapat menghentikan serangan Paris. Kita mengorbankan banyak untuk mata-mematai itu dan tak dapat imbal hasil apa-apa.
Sejak 2001, Amerik Serikat sudah memimpin bangsa-bangsa macam Inggris, Prancis, Australia, dan lainnya dalam perang di Irak, Afganistan, Libya dan Suriah, dengan serangan drone pada rakyat dari Filipina sampai Pakistan hingga penjuru Afrika. Nyaris tak ada yang patut kita pertontonkan.
Sejak 2001 Amerika Serikat sudah menghabiskan berbagai cara untuk membunuh sejumlah orang—bin Laden, al-Zarqawi, al-Awlaki, dan minggu ini, Jihadi John, dan lainnya tanpa nama, dibunuh diluar perhatian media, atau disiksa sampai mati, atau dibiarkan membusuk di daratan koloni pidana Guantanamo, atau di neraka jahanam di Salt Pit Afganistan.
Dan tak ada hasil, dan Paris minggu ini, dan yang berikutnya lagi entah di mana dan kapan, adalah bukti saja.
Kita serahkan banyak sekali kebebasan kita di Amerika untuk mengalahkan para teroris. Tidak berhasil. Kita sembahkan hidup lebih dari 4.000 laki-laki dan perempuan di Irak, dan ribuan lainnya di Afganishtan, untuk mengalahkan teroris, dan menolak bertanya untuk apa mereka mati. Kita membunuh puluhan ribu bahkan lebih orang di negeri-negeri itu. Tidak juga berhasil. Kita berangkat perang lagi dengan Irak, dan sekarang Suriah, sebelumnya Libya, dan hanya menciptakan lebih banyak negara gagal dan ruang-ruang tak berpemerintahan yang memberi ruang surga bagi para teroris dan menumpahkan teror seperti cat tumpah di sepanjang perbatasan. Kita lecehkan dan diskriminasikan penduduk Muslim kita sendiri dan berdiri terbengong-bengong ketika mereka menjadi lebih teradikalisir, lalu yang kita lakukan menyalahkan ISIS karena berkicau di Twitter.
Katakanlah itu merupakan strategi teror Islamis untuk memicu crackdown di Prancis sehingga meradikalisir para Muslim Prancis. Ratusan penduduk Prancis sudah berangkat ke Suriah untuk bertarung bersama kelompok-kelompok seperti ISIS.
Seperti yang dikatakan komentator terpandai dalam bidang ini, Bill Johnson, terorisme adalah soal membunuh pion untuk menyasar raja. Serangan di Paris bukan soal pembunuhan 150 orang-orang tak bersalah. Ya ampun, sejumlah itulah tiap hari orang-orang mati di Irak dan Suriah. Uji sebenarnya untuk Prancis adalah bagaimana mereka merespon serangan teror ini dalam permainan jangka panjang—itulah yang sebenarnya raja dalam permainan ini. Amerika gagal ujian ini pasca 9/11; tetapi tampaknya Prancis juga tidak lebih paham dari Amerika. “Kami akan memimpin perang yang bengis,” demikian Presiden Hollande bilang di depan gedung konser Bataclan, tempat kejadian yang paling berdarah.
Jika aku punya strategi lebih bagus, aku pasti akan kasi tahu kalian, aku pasti sudah mencoba dan bilang pada orang-orang di Washington dan Paris dan dimanapun juga. Tetapi aku tidak punya skenario pasti apa yang mesti kita lakukan, dan juga aku ragu mereka mau mendengarkan.
Tetapi aku pikir lebih baik begini: hentikan semua yang sudah kita lakukan selama 14 tahun ini. Sudah tidak berhasil. Tak satupun lagi menunjukkan strategi itu bisa berhasil. Itu permainan whack a mole, bukan perencanaan. Biarkan Timur Tengah mengurus dirinya sendiri. Hentikan membentuk negara gagal. Hentikan buang-buang percuma kebebasan di dalam negeri atas nama kebohongan. Hentikan memuntungi hak-hak kewargaan Muslim yang hidup bersama kita. Pahami perang, seperti apa adanya, yaitu melawan seperangkat ide—keagamaan, anti-barat, anti imperialis—dan kau tak bisa membom ide. Menempatkan tentara-tentara barat di lapangan Timur Tengah dan pesawat-pesawat barat di angkasa hanya mengipasi nyala api. Balas dendam tidak bisa dan tak akan bisa memadamkan sebuah ide.
Mulailah dengan hal-hal tadi dan kita lihat jika ada perbaikan, meskipun kau tak memberi 14 tahun yang sama untuk uji keberhasilan. Lagipula, aku tak punya bayangan tindakan apa lagi yang akan lebih buruk, selain angka kematian yang semakin banyak.
*Peter Van Buren menghabiskan setahun di Iraq sebagai State Department Foreign Service Officer bertugas sebagai Team Leader untuk dua Provincial Reconstruction Teams [PRTs]. Sekarang di Washington, dia menulis tentang Iraq dan Timur Tengah di blognya, We Meant Well. Buku barunya We Meant Well: How I Helped Lose the Battle for the Hearts and Minds of the Iraqi People [The American Empire Project]
November 21, 2015 at 6:44 pm
Yb Bpk Rusdi Mathari dkk, di Jakarta, masalah pokok yg kita hadapi adalah “Kita adalah bangsa bodoh (IQ rata-rata: 85-89). ++ Pd suatu malam, dlm Diskusi di Felisia (asrama mhs IPB, Sempurkaler Bogor), 1980an awal, Dr Ir Hidayat Nataatmaja menyatakan bhw Afrika tak berkembang krn dijajah Barat. Saya menjawab dlm hati bhw jika pun Afrika tak dijajah Barat, Afrika juga takkan berkembang, krn bangsa Afrika adalah bodoh! Dr Ir Hidayat Nataatmaja sngt munkin mendengar “kata-hati” saya itu; krn ia “tersinggung”, & sikapnya thd saya “berubah” sejak malam itu. ++ Ternyata benar, di zaman internet ini, kita dpt baca bhw IQ rata-rata Bangsa Afrika: < 80. ++ Dlm kontek kebodohan kita sbg bangsa itu, Pramoedya Ananta Toer (lihat Roman Pulau Buru), menulis bhw Pak Guru bertanya kpd Mingke: "Mingke, apa sumbangan bangsamu kepada peradapan dunia?" Mingke & kita sdh tahu, bangsa kita belum mampu menyumbang apa-apa kpd peradapan dunia. Radio, TV, Internet, dll, sumbangan dari Barat. Kita hanya NEBENG Barat. Bahkan dlm dunia-ide, kita NEBENG. Bahkan NEBENG dlm dunia-ide itu pun kita belum akurat. Dlm kontek dunia-ide itu, Pastur MAW Brouwer OFM (1980an) menyatakan bhw umumnya kaum-terdidik bangsa indonesia belum mampu berpikir abstrak. Bpk Fransiskan itu pernah menyataksn pd 1980an awal bhw ada "Didi Malapetaka". Siapakah Didi itu? Is he the dangerous mind? ++ Finally, i am better if i am continuing to walk alone, in this strange world. And, i know what i must do. I do not need the FLOOR & ROOF; because i am walkimg in the road to the future; in the open sky & the naked land. Nuwun
Catatan: Dlm kontek yg-prinsip: tak ada kompromi. Dlm kontek itu, para mhs IPB (Sonson dkk) 1980an awal, kecewa dg Cak Nur, krn Cak Nur "menari" & menolak Jalan Natsir (tanpa kompromi dlm kontek yg-prinsip). Dr Drs Djohan Effendy mengaku di depan saya, di rmhnya Jln Proklamasi 51, Jakarta, juga menolak Jalan Natsir.
for the sake of my responsibility i have written the truth, so obey me
ruwihadi perumnas majasanga, imdonesia
revolution v