RSRedaksi Rolling Stone mengundang satu tim penulis untuk “membedah” laporannya yang salah. Inilah salah satu cara yang baik dan bisa dicontoh, untuk mengembalikan kehormatan wartawan dan dunia jurnalistik.

oleh Rusdi Mathari
Laporan majalah Rolling Stone edisi 8 April 2015 menarik. Majalah itu menurunkan tulisan panjang, yang isinya, mengoreksi kesalahan fatal dari laporan berjudul “Pemerkosaan di Kampus” yang justru pernah dipublikasikan oleh majalah itu. Penulisnya adalah Sheila Coronel, Steve Coll, dan Derek Kravitz. Itu tim penulis di bawah Coll, seorang yang dikenal sebagai pengajar di sekolah jurnalitik Columbia dan wartawan yang pernah mendapatkan Pulitzer.

Menulis pengantar untuk tulisan panjang itu, Will Dana, Redaktur Pelaksana Rolling Stone mengaku, redaksilah yang telah meminta Coll untuk membedah laporan berjudul “Pemerkosaan di Kampus.” Untuk memeriksa fakta-fakta yang melatarbelakangi penulisan laporan tersebut, memeriksa kemungkinan terjadi kesalahan manajemen keredaksian, dan mereka tidak mendapat bayaran. Coll dan timnya juga diberikan seluas mungkin waktu, dipersilahkan menulis apa saja yang mereka ingin tulis, yang apa pun hasilnya akan dipublikasikan oleh Rolling Stone, sama seperti saat redaksi mempublikasikan laporan “Pemerkosaan di Kampus.”

Maka jadilah tulisan panjang Coll dan kawan-kawan dipublikasikan secara online, 5 April 2015, disusul versi cetaknya di majalah Rolling Stone edisi 8 April 2015. Dana menulis, membaca laporan Coll tentang kesalahan fatal dalam prosedur penulisan artikel “Pemerkosaan di Kampus” adalah menyakitkan bagi dia, bagi semua orang yang bekerja di Rolling Stone. Laporan itu dengan caranya sendiri adalah bagian dari dokumen jurnalistik, yang seperti dijelaskan oleh Coll sebagai jurnalistik yang keliru.

“Kami meminta maaf pada pembaca dan semua orang yang dirugikan termasuk karena dampak dari laporan kami, pada perkumpulan Phi Kappa Psi, Universitas Virginia, para mahasiswa. Kekerasan seksual adalah masalah serius di kampus-kampus dan penting bagi korban untuk merasan aman melanjutkan hidup mereka. Menyedihkan bagi kami bahwa kenyamanan mereka menjadi terganggu akibat laporan kami. Kami resmi mencabut laporan ‘Pemerkosaan di Kampus’.”

Artikel Rolling Stone yang dibedah oleh Coll dan kawan-kawan adalah tulisan Sabrina Rubin Erdély. Tulisan berjudul lengkap “Pemerkosaan di Kampus: Serangan Brutal dan Menuntut Keadilan Universitas Virgina” itu dipublikasikan 19 November 2014.

Erdély adalah wartawan lepas, menetap di Philadephia dan menulis untuk Rolling Stone sejak 2008. Dia sejauh ini dikenal sebagai wartawan yang banyak menulis kisah-kisah kriminal.

Tulisannya berjudul “Putri Gangster Beverly Hills,” yang mengisahkan gaya hidup model gadungan dari Korea Selatan yang dituduh mengangkut 3.100 kilo ganja, telah menimbulkan sensasi tersendiri di kalangan pembaca. Erdély juga pernah menulis kasus pedofil dan kekerasan seksual di lingkungan militer. Dana memujinya sebagai “Seorang reporter yang teliti dan mampu menulis cerita yang rumit dari banyak sudut pandang yang berbeda.”

Laporan Erdély yang menjadi masalah, mengisahkan tentang Jackie, mahasiswa baru di Universitas Virginia. Namanya hanya ditulis seperti itu, tanpa nama belakang atau nama keluarga. Sebuah nama yang nanti dikenal oleh jutaan orang.

Erdély mengenal Jackie lewat Emily Renda, relawan yang bekerja untuk isu-isu kekerasan seksual di universitas yang sama di musim panas, 8 Juli. Saat itu Erdély menelepon Renda untuk mendapatkan informasi tentang kasus-kasus kekerasan seksual yang mungkin dialami [perempuan-perempuan] mahasiswa baru di kampus. Dia bermaksud menggambarkan, rasanya menjadi mahasiswa baru di kampus sementara kultur pemerkosaan atau kekerasan seksual masih terus terjadi di banyak kampus. Alasan yang masuk akal dan tepat waktu.

Kasus pemerkosaan di kampus-kampus Amerika adalah isu lama dan hampir setiap tahun muncul ke permukaan. Menjadi berita.

Tahun 1977, lima mahasiswa menggugat Universitas Yale setelah mereka dilecehkan secara seksual tapi kelanjutan kasus itu menguap. Di pertengahan 1980-an, ratusan perguruan tinggi kemudian mengadopsi prosedur yang dianggap dapat menekan kekerasan seksual di kampus-kampus termasuk pemerkosaan.

Sebuah artikel dari Center for Public Integrity yang diterbitkan di penghujung 2009, menunjukkan kesulitan mengungkap kasus-kasus kekerasan seksual di kampus. Disebutkan di artikel itu, yang menjadi masalah justru adalah respons dari kampus. Investigasi dirusak oleh anggota staf terlatih, proses ajudikasi diselimuti kerahasiaan. Sanksi yang kurang dari kampus, juga menyebabkan pemerkosa mengulangi perbuatannya berulangkali di kampus, sementara korban mereka sudah keluar, mengundurkan diri sebagai mahasiswa.

Lalu, pemerintahan Barack Obama mengambil keputusan yang menekan perguruan tinggi untuk mengadopsi sistem yang lebih ketat: menghukum mahasiswa yang bersalah sebelum mereka diadili di pengadilan.

Pilihan Erdély menghubungi Universitas Virgina sebagai studi kasus, karena itu memang punya momentum. Dia mengunjungi kampus itu bertepatan waktu dengan kasus hilangnya seorang mahasiswa. Seorang gadis berusia 18 tahun, yang belakangan diketahui telah diculik dan dibunuh.

Dan kepada Erdély, Renda memberikan informasi, masih banyak kekerasan yang terus terjadi terutama di pesta-pesta kampus, acara yang dirancang untuk mendapatkan korban dalam keadaan mabuk. Renda menyebutkan satu kasus pemerkosaan yang terjadi di musim rontok 2012, yang menimpa seorang mahasiswa baru yang dilakukan oleh anggota kelompok kegiatan mahasiswa, yang dikenal sebagai perkumpulan Phi Kappa Psi. Renda memberikan satu nama: Jackie.

Sekitar sepekan kemudian, Erdély menghubungi Jackie lewat sambungan telepon. Itu tanggal 14 Juli, dan hari itu Jackie menceritakan dengan jelas kepada Erdély tentang kejahatan mengerikan yang dialaminya.

Menurut catatan Erdély, Jackie menceritakan, kemalangan itu terjadi di awal tahun pertamanya kuliah, September 2012. Seorang mahasiswa tahun ketiga yang dikenalnya sebagai penjaga kolam renang di kampus telah mengundangnya untuk “pesta persauadaraan.” Lewat tengah malam, dia lalu diajak ke sebuah kamar yang gelap yang terletak di lantai atas, dan di sanalah dia mengalami kekerasan seksual.

Masih menurut catatan Erdély, Jackie terus bercerita, saat itu dirinya berusaha menyesuaikan dengan kegelapan dan mendengar suara-suara yang memintanya untuk tidak berteriak. Ada yang memukulnya. Dia terjatuh. Seseorang lalu menindih tubuhnya dan meraih bahunya.

“Salah seorang dari mereka meletakkan tangannya di mulutku dan aku menggigitnya. Dia meninju wajahku. Seseorang kemudian berkata, ‘Kangkangkan kakinya.’ Mendengar itu, aku tahu, mereka akan memperkosaku.”

Sewaktu menceritakan itu semua, Jackie menurut Erdély sangat percaya diri, dan konsisten, tapi Jackie menurut Coll menolak untuk menanggapi pertanyaan untuk laporan ini. Pengacaranya mengatakan “Saat ini, penting bagi Jackie untuk tetap diam.” Kutipan dari Jackie itu berasal dari catatan Erdély, yang diakui diketik saat wawancara berlangsung atau berasal dari rekaman wawancara.

Cerita Jackie membuat Erdély terguncang. Penjaga kolam renang ada tujuh orang, dan mereka memperkosa Jackie bergiliran. Erdély menutup wawancaranya dengan Jackie. Dia merasa tidak cukup kuat mendengar cerita Jackie, termasuk cerita tentang pecahan kaca di kamar dan sebagainya, tapi di hari-hari selanjutnya, Erdély tetap menghubungi Jackie.

Selama empat bulan, antara Juli hingga Oktober tahun lalu, Erdély mendaku telah mewawancari Jackie hingga tujuh kali. Bagi Erdély, Jackie adalah sumber yang menantang. Kadang-kadang, dia tak merespons panggilan telepon Erdély, juga tidak membalas email. Dan Jackie menolak menyebutkan nama-nama pelaku yang telah menyerangnya karena mengaku masih ketakutan. Masih dirundung trauma.

Karena keengganan Jackie itu, sempat ada ketegangan antara Erdély dan Jackie, dan pada saat-saat seperti itu, Erdély kuatir Jackie tak mau lagi diwawancara. Redaktur Rolling Stone yang kemudian memutuskan untuk meneruskan laporan Erdély diterbitkan, tanpa perlu mencantumkan nama para pemerkosa, atau mengecek keberadaan mereka. Jackie setuju dengan tawaran itu, dan dia kembali bersedia dihubungi, hingga laporan tentang kisahnya yang diperkosa para seniornya dipublikasikan oleh Rolling Stone, 19 November 2014.

Erdély percaya Jackie bisa dipercaya. Begitu pula redakturnya, yang menghabiskan lebih dari empat jam untuk berbicara dengan Jackie di telepon, hanya untuk mengecek setiap detail dari yang dialami Jackie. Redakturnya mengatakan, Jackie tidak hanya menjawab, “Ya, ya, ya,” saat ditanya, tapi juga ikut mengoreksi. Jackie bahkan menggambarkan adegan pemerkosaan yang dialaminya dengan sangat jelas.

“Saya tidak memiliki keraguan,” kata redaktur itu, tapi Rolling Stone meminta agar redaktur yang berbicara dengan Jackie tidak disebutkan namanya sebab tak memiliki kewenangan pengambilan keputusan.

Laporan Rolling Stone tentang pemerkosaan di kampus Virginia itu, tentu menimbulkan sensasi besar. Kisah Jackie  adalah cerita yang mengerikan, dan Erdély juga Sean Woods, redaktur yang bertanggungjawab langsung untuk tulisan Erdély, bermaksud memberitahu banyak orang tentang kekerasan seksual di banyak kampus dan berharap setelah itu ada perbaikan.

Dunia kampus heboh. Publik Amerika bertanya-tanya. Untuk versi online, laporan tentang pemerkosaan itu bahkan diklik oleh 2,7 juta orang, mengalahkan jumlah pengunjung berita tentang artis atau pesohor lainnya. Erdély mendapat banyak panggilan telepon.

Seminggu setelah terbit, tepat sehari sebelum Thanksgiving, Erdély kembali menghubungi Jackie lewat telepon. Jackie menyampaikan terima kasih. Berkali-kali. Menyampaikan kabar dirinya dalam keadaan baik, tapi tetap menolak menyebutkan nama-nama pelaku.

Erdély mulai merasa terganggu. Dia merasa para pemerkosa yang masih berkeliaran adalah sangat berbahaya. “Ini tidak akan dipublikasikan. Bisakah kau katakan padaku?”

Jackie lalu memberi Erdély sebuah nama, tapi ketika Erdély akan menulisnya, Jackie malah berhenti karena mengaku tidak yakin bagaimana mengeja nama pemerkosanya. Dia bahkan berspekulasi tentang beberapa nama. Pada saat itulah Erdély menyadari, ada yang salah dengan Jackie.

Dia bertanya-tanya: bagaimana bisa Jackie tidak tahu nama yang tepat dari seseorang yang telah melakukan kejahatan yang mengerikan terhadap dirinya, yang dikenalnya sebagai senior di kampusnya? Dan mengapa Jackie harus takut?

Selama beberapa hari ke depan, didorong oleh kekuatiran integritas laporannya, Erdély mulai menyelidiki nama Jackie. Hasilnya: dia tidak dapat mengkonfirmasi bahwa Jackie adalah benar anggota Phi Kappa Psi. Dia juga tak bisa mengidentifikasi atau medeskripsikan penyerang Jackie.

Erdély membahas semua kekuatirannya itu dengan redakturnya. Karyanya menghadapi tekanan baru. Dia menghadapi masalah besar.

Beberapa hari setelah laporannya diterbitkan Rolling Stone, Richard Bradley telah menulis artikel, yang meragukan kisah Jackie, yang disebutnya sebagai kisah yang spekulatif. Para penulis di Slate bahkan menantang Erdély dalam sebuah wawancara. Erdély juga tahu, T. Rees Shapiro, wartawan The Washington Post sedang memyiapkan tulisan berdasarkan wawancara dari beberapa orang di Universitas Virginia, yang akan meragukan laporan yang ditulisnya di Rolling Stone.

Tanggal 4 Desember, Jackie mengirim SMS pada Erdély, meminta dia untuk meneleponnya. Tengah malam. “Kami melanjutkan percakapan, yang menyebabkan saya memiliki keraguan yang serius [tentang kisahnya],” kata Erdély.

Dia menelepon Woods, redakturnya, dan mengatakan telah kehilangan kepercayaan pada keakuratan deskripsinya tentang kisah Jackie. Woods, yang menjadi redaktur di Rolling Stone sejak 2004, hanya tertegun. Dia memutuskan untuk segera “berlari ke kantor,” untuk membantu memutuskan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Hari itu, redaksi Rolling Stone memutuskan untuk menarik majalah dari peredaran. “Itu adalah hari terburuk dalam kehidupan profesional saya,” kata Woods.

Dalam tulisannya, Coll menyebut kasus “Pemerkosaan di Kampus ” Rolling Stone adalah cerita tentang kegagalan jurnalistik yang sebetulnya bisa dihindari. Kegagalan itu mencakup pemeriksaan laporan, proses penyutingan, dan fakta-fakta. Majalah itu tampaknya telah menyisihkan verifikasi dan konfirmasi, praktek penting dalam jurnalistik, dan karena itu harus membayar sangat mahal dan kemungkinan besar akan menghadapi tuntutan hukum yang serius.

Tapi kasus yang terjadi di Rolling Stone, bukan kasus yang pertama. Sekitar 34 tahun yang lalu, kasus yang mirip tapi tak sama terjadi di The Washington Post.

Reporter koran itu, Janet Leslie Cooke telah menulis “Dunia Jimmy.” Sebuah feature yang mengisahkan seorang anak kulit hitam berusia 8 tahun yang kecanduan heroin. Cooke menggambarkan Jimmy sebagai anak yang tumbuh di lingkungan kumuh di sudut Washington DC. Dia menjadi pecandu heroin sejak barang laknat itu dikenalkan oleh pacar ibunya.

Publik Amerika trenyuh. Jimmy mengundang banyak simpati. Cooke memenangkan Pulitzer 1981.

Terungkap belakangan, “Dunia Jimmy” adalah cerita fiktif. Hanya karangan Cooke. Dan hanya dalam waktu dua hari setelah Cooke menerima Pulitzer, 13 April, redaksi The Washington Post mengembalikan penghargaan itu.

Sehari sebelumnya, redaksi mengadakan jumpa pers dan menulis permintaan maaf di tajuk rencana. Cooke mengundurkan diri sebagai wartawan The Washington Post dan sesudahnya menghindari publikasi. Dia baru muncul 15 tahun kemudian di majalah GQ dan menceritakan kisahnya yang memalukan dunia wartawan itu.

Antara lain dia mendaku, terpaksa mengarang “Dunia Jimmy” sebab redakturnya selalu memintanya untuk menghasilkan “sesuatu.” Wawancara GQ dengan Cooke dibeli oleh TriStar Pictures seharga US 1,5 juta untuk dijadikan skenario film, dan Cooke mendapat bagian lebih dari separuhnya [lihat: wartawan dan kebohongan].

Di Indonesia, kasus yang serupa dan persis dengan “Dunia Jimmy” pernah terjadi di Jawa Pos. Koran itu dua kali memuat laporan fiktif perihal keluarga dr Azhari, warga negara Malaysia yang pernah disebut-sebut sebagai gembong teroris.

Pertama, feature berjudul “Kasihan, Warga Tak Berdosa Jadi Korban” [Jawa Pos, 3 Oktober 2005]. Kedua, tulisan berjudul “Istri Doakan Azhari Mati Syahid” [Jawa Pos, 10 November 2005]. Dua berita itu dimuat berdasarkan “wawancara” dengan Noraini, istri Azhari, yang tentu saja tidak pernah terjadi alias ngibul.

Sama dengan Washington Post, redaki koran yang menjadi bagian dari sebuah raksasa media di Tanah Aitr itu juga menulis permintaan maaf kepada para pembacanya, hampir dua bulan setelah dua berita itu diterbitkan. Wartawan yang menulis laporan dipecat, tapi publik tetap tidak tahu dan bertanya-tanya: bagaimana berita itu didapat oleh wartawan Jawa Pos, dan bagaimana cara kerja redaksi koran itu bekerja?

Kisah-kisah lain tentang laporan wartawan yang keliru dan fatal, sebetulnya bisa cukup banyak, tapi yang seringkali terjadi, banyak redaksi kemudian justru menolak mengakui kesalahan yang dibuat oleh wartawannya, lalu sekuat tenaga mendaku laporan wartawannya telah dibuat sesuai standar dan prosedur jurnalistik. Dalam banyak contoh, wartawan juga hanya menulis dan tampaknya percaya pada keterangan dari lembaga resmi, dan ketika keterangan dari lembaga resmi itu keliru atau menimbulkan korban, mereka kembali beramai-ramai memberitakannya.

Tak ada pengakuan bersalah bahwa mereka telah melakukan kesalahan prosedur jurnalistik. Seolah karya jurnalistik adalah sejenis menu di restoran, yang kalau tidak laku bisa diganti dengan menu yang lain yang lebih [akan] laku. Sekadar itu.

Maka yang dilakukan oleh redaksi Rolling Stone yang meminta penulis luar “membedah” laporan jurnalistiknya yang salah, adalah bukan saja menarik secara jurnalistik melainkan juga bermartabat. Cara itu memberi pelajaran pada publik dan terutama pada wartawan bahwa jurnalistik bukan melulu soal memproduksi berita, melainkan juga perkara kerja yang tertib: verifikasi dan konfirmasi.

Seperti ditulis Dana dalam pengantar tulisan panjang Coll dan kawan-kawan, cara itu mungkin akan menyakitkan. Barangkali pula, redaksi Rolling Stone akan seperti dilempar banyak batu yang menyebabkan mereka akan atau telah kehilangan muka. Tapi dengan mengakui kesalahan dan membiarkan penulis luar membedah kesalahannya itu, redaksi Rolling Stone telah menempuh cara yang terhormat untuk menegaskan kepada publik bahwa media mereka bukan media abal-abal.

Sebuah redaksi yang bersedia melakukan introspeksi dan mau dikoreksi. Bukan sekumpulan wartawan yang hanya bersedia menempelkan permintaan maaf atau ralat di halaman Surat Pembaca, atau malah menuding para pengritiknya sebagai orang-orang yang sakit hati, atau tak mengerti jurnaslitik.

Dan cara yang ditempuh oleh redaksi Rolling Stone adalah obat pahit yang akan membuat dunia wartawan bermartabat. Terhormat. Yang akan membuat publik kembali punya alasan untuk percaya pada [kerja] wartawan dan laporan media.