Cerita tentang polisi yang baik, jujur dan tegas tidak hanya monopoli eks kapolri Hoegeng Imam Santoso. Di Bone, Sulawesi Selatan, pernah ada cerita perwirwa polisi yang kelakuannya mirip atau sama dengan Hoegeng.

oleh Rusdi Mathari
Setelah kematiannya, di dompet letnan kolonel itu hanya didapati uang Rp 35 ribu. Tak ada tabungan, sebaliknya dia meninggalkan utang di bank hampir Rp 3 juta. Kepada anak lelakinya yang waktu itu masih mahasiswa dia menitipkan pesan terakhir: “Tolong lunasi utang Bapak di bank.” Hingga jasadnya dikuburkan di pemakaman umum, para kolega di kepolisian baru tahu: si letnan kolonel sama sekali tak punya rumah, selain rumah dinas yang dia tempati.

Si letnan kolonel memang perwira menengah polisi. Di zaman sekarang, pangkatnya disebut ajun komisaris besar polisi atau AKBP. Dia asli Bone. Jabatan terakhirnya adalah wakil kepala kepolisian wilayah Bone, Sulawesi Selatan tapi dia bukan lulusan AKABRI [Akpol] melainkan merintis karir di kepolisian dari pangkat sersan. Tubuhnya penuh bekas luka tembakan karena di zamannya dia pernah ditugaskan memberantas pemberontakan di Sulawesi Selatan. Di dada dan di perutnya, parut melintang seolah garis rajah.

Dialah Oemar Saleh. Polisi yang menjadi cerita di seantero Bone, mungkin juga di Sulawesi Selatan. Kehidupannya yang sederhana dan caranya memimpin anggota polisi, membuatnya dikenal sebagai sosok polisi yang tegas, jujur dan tidak pandang bulu menindak, termasuk kepada anggota keluarganya.

Semasa SMP, sepeda motor yang dikendarai anak lelaki sang letnan kolonel yang diberi amanat melunasi utangnya di bank itu pernah menabrak anak seorang bangsawan. Korban luka-luka. Polisi yang menangani kasus itu semula ragu memproses kasus kecelakaan itu karena si penabrak anak perwira polisi dan atasan mereka.

Namun Oemar yang waktu itu menjabat kepala bagian serse Polres Bone, malah menelepon provos dan memerintahkan mereka agar anaknya disel di kantor polisi. Polisi yang menerima perintah bingung tapi si anak tetap dibawa ke kantor polisi.

Beruntung, petugas di kantor polisi tidak tega menjebloskan si anak atasannya ke sel mengingat kondisi sel [waktu itu] yang busuk dan penuh pesakitan. Dia hanya diinapkan di kantor serse selama 20 hari. Itu pun hanya pada saat sang bapak sedang tidak berada di kantor. Bila si bapak sedang ngantor, petugas polisi mau tidak mau memasukkan si anak ke sel. Si anak juga tetap disidik tapi kemudian dibebaskan, karena keluarga korban bersedia memaafkan. “Bapak kau ini bagaimana, anak sendiri malah disuruh ditahan di sel,” kata seorang polisi kepada si anak.

Masih ketika bertugas di Polres Bone, Oemar pernah pula menenangkan anggota polisi yang mengepung kediaman kapolwil Bone. Mereka terlibat tembak-menembak dengan kapolwil dan anggota keluarganya. Para polisi itu tidak puas dan menuding kapolwil melindungi anggota panitera pengadilan yang menikam seorang polisi. Oemar membubarkan para polisi yang marah tapi dia malah dituduh menggerakkan anggota polisi itu untuk mengepung rumah kapolwil. Karirnya sempat tersendat, kenaikan pangkatnya ditunda beberapa waktu.

Di kalangan polisi, Oemar memang dikenal sebagai perwira yang memperhatikan anak buah. Sering dia mengunjungi rumah-rumah anggotanya, hanya sekadar ingin tahu kehidupan mereka dan keluarganya. Kepada anggota polisi yang rambutnya terlihat sudah mulai tidak pendek, dia kerap menitipkan uang untuk ongkos pangkas. “Kau potonglah rambutmu, agar istri dan anakmu bangga bahwa kau polisi.”

Uang yang diberikan kepada anggota polisi itu niscaya tidak banyak, sebab si letnan kolonel pun mengambilnya dari gaji bulanannya. Namun perlakuannya kepada anak buah yang seperti itu, telah menimbulkan rasa hormat mendalam pada bawahannya, juga di masyarakat Bone.

Kepada para bangsawan Bone yang senang berjudi misalnya, dia tidak sembarangan main tangkap meski hal itu bisa dia lakukan. Sebaliknya, dia mendekati para bangsawan itu, dan memberitahu mereka agar berhenti berjudi dalam waktu 3 hari atau mereka akan ditangkap. Hasilnya: para bangsawan itu berhenti berjudi.

Tentu saja sebagai perwira polisi, banyak pengusaha yang berusaha mendekati si letnan kolonel untuk berbagai urusan tapi dia bergeming. Menjelang pensiun, dia memanggil anak sulungnya dan memberitahukan, hendak mengambil kredit di bank. Karena perwira aktif dilarang mengajukan kredit ke bank, dia mengajukan kredit sebesar Rp 5 juta atas nama anaknya dengan sejumlah agunan.

Untuk apa? “Aku tak mau, setelah pensiun dibelaskasihani oleh siapa pun termasuk oleh perwira polisi. Aku mau membuka usaha bengkel.”

Bengkel itulah yang di belakang hari menjadi sumber penghasilan si letnan kolonel bersama istrinya. Namun hingga kematiannya tahun 1983, kredit di bank itu masih tersisa Rp 3 juta dan harus dilunasi oleh anaknya. Banyak rekannya di kepolisian tidak percaya eks wakil kepala polisi wilayah Bone itu meninggalkan utang di bank. Mereka lebih tidak percaya lagi, karena si letnan kolonel bahkan tidak punya rumah pribadi, dan hanya menyisakan uang di dompet Rp 35 ribu.