Pemerintahan Jokowi memastikan harga bahan bakar minyak akan naik pada bulan ini, dan pemerintah telah menyiapkan BLT tandingan: Program Simpanan Keluarga Sejahtera. Menarik ditunggu, respons PDIP dan tentu saja Megawati, yang selama 10 tahun terakhir tak lelah menolak penaikan harga BBM dan pemberian BLT.
oleh Rusdi Mathari
Bantuan langsung tunai [cash transfers] bisa berwujud dan bernama apa saja. Pemerintah Brazil, yang kali pertama mengenalkan program ini, menamai Bolsa Familia. Program ini digagas oleh eks presiden Brazil, Luiz Inácio Lula da Silva pada 2003 untuk mengatasi kemiskinan di negaranya yang jumlahnya saat itu ditaksir mencapai hampir separuh dari 182 juta total jumlah penduduk .
Sesuai tujuannya, Bolsa Familia hanya diberikan kepada penduduk miskin dan penggunaannya dikendalikan dengan syarat ketat. Untuk mendapatkan Bolsa Familia, sebuah keluarga terlebih dulu wajib melakukan cek kesehatan, dan setelah itu harus menulis perjanjian akan menggunakan uang bantuan hanya untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Bila syarat itu dipenuhi, mereka akan mendapatkan transfer uang senilai R$ 70 atau setara US$ 35.
Awalnya banyak kontroversi yang menolak dan mendukung ide Silva, dan mungkin berlanjut sampai sekarang. Tapi program yang menjangkau 11 juta KK dan 46 juta orang ini, dinilai cukup berhasil mengatasi problem kemiskinan di Brasil. Bank Dunia yang menyokong program ini menyebutnya sebagai program yang memberikan dampak besar pada jutaan orang miskin di Brazil. Washington memuji tiada selesai. Media barat menempatkan Silva sebagai Sintreklass.
Dan inilah efek Bolsa Familia yang diberitakan dengan gegap gempita oleh media-media Barat: negara-negara tetangga Brazil beramai-ramai mengadopsinya dalam tahun-tahun yang berentetan. Chilie menyebutnya sebagai program Chilie Solidario. Kolumbia memberi nama Familias en Acción. Meksiko mengenalnya sebagai Opportunidades. Panama menyebut Red de Oportunidades.
Di luar Amerika Latin, Bolsa Familia merambat ke Afrika dan Eropa. Dipraktikkan oleh Amerika Serikat. Dicontek oleh Filipina. Ditiru oleh Bangladesh, Mesir dan India. Dijiplak oleh Turki dan Myanmar. Pemerintahan SBY memungutnya pada 2005 dengan menyebut sebagai BLT, bantuan langsung tunai.
Orang-orang boleh berdebat tentang berhasil-tidaknya Bolsa Familia. Tapi Silva mengenalkan Bolsa Familia sebagai bagian dari Program Zero Hunger, bersama tiga program lainnya: pengadaan pangan sektor publik, makan siang gratis untuk siswa di sekolah, dan dukungan keuangan untuk petani miskin agar bisa berproduksi.Hasilnya, dalam waktu kurang setahun, pendapatan per kapita Brazil mencapai US$ 8,584, dan menempatkan negara itu pada nilai HDI sebesar 0,792. Itu posisi yang cukup terhormat jika dibandingkan Indonesia yang pada tahun yang sama, menempati urutan yang memalukan, 112.
Kunci utama Bolsa Familia, adalah kontrol yang ketat dan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan terus-menerus, meskipun tentu saja tidak akan bisa menuntaskan kemiskinan seluruhnya, di seluruh Brazil. Tapi di beberapa negara, program dari Brazil ini [sengaja] diterjemahkan dan diterapkan dengan keliru. Sebagian negara hanya menjadikannya sebagai obat penenang sesaat, untuk terutama meredam gejolak politik dan sosial.
Ini misalnya terjadi di Indonesia, ketika BLT dibagikan kepada orang-orang miskin hanya untuk menyertai kehendak pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak pada 2005 dan 2009. Setelah dibagikan, tidak ada kelanjutan ceritanya. Misalnya, apakah BLT sebesar Rp 100 ribu yang dibagikan dalam dua atau tiga tahap, betul-betul digunakan untuk membantu orang-orang miskin mengatasi problem hidup mereka, atau malah hanya digunakan untuk membeli barang-barang konsumtif. Sebagian orang lantas bertanya: kuatkah orang-orang miskin mengejar kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang menyertai penaikan harga BBM hanya dengan BLT Rp 100 ribu?
Lalu Anwar Nasution, ketua BPK ketika itu menyebutkan, dana BLT berasal dari utang. Sebuah pernyataan yang niscaya dibantah oleh pemerintah dengan jawaban yang lucunya, berlainan. Menteri yang satu mengakui, BLT memang berasal dari utang. Tapi tidak semua BLT berasal dari utang. Menteri lainnya, menyangkal habis BLT berasal dari utang.
Di panggung politik, BLT telah menjadi peluru paling tajam bagi Megawati [PDIP] untuk menghajar seteru politik utamanya, SBY dan Demokrat. Di Senayan, isu BLT ditolak sampai titik air mata terakhir oleh politisi PDIP.
Kecaman paling keras pernah disampaikan oleh Mega ketika dia berkampanye di Jember, pada musim Piplres 2009. Dia menyebut BLT telah menjatuhkan harga diri rakyat dan menyebabkan rakyat tidak punya kepribadian. Mega tentu saja tidak menyebut rakyat telah menjelma seolah pengemis karena antre mengambil BLT. Tapi pembayaran BLT lewat loket-loket di Kantor Pos,harus diakui menjadi pemandangan yang memilukan dan mungkin memalukan.
Singkat kata, PDIP dan Mega telah menempatkan BLT hanya sebagai sogokan atau obat penghilang rasa sakit, yang hanya diberikan menjelang rencana penaikan harga bahan bakar minyak; yang secara konsisten juga ditolak oleh mereka. Konsistensi mereka antara lain ditunjukkan dengan sikap walk out, menjelang pengambilan keputusan penaikan harga BBM dalam Sidang Paripurna [31 Maret 2012]. Mereka meninggalkan sidang sambil meneriakkan yel-yel revolusi sampai mati dan isak tangis.
PDIP kini berkuasa. Jokowi menjadi presiden. Lewat Sofjan Djalil, Menko Perekonomian, pemerintahan Jokowi memastikan akan menaikkan harga BBM pada bulan ini, dan konon akan mengalihkan alokasi subsidi dari konsumsi ke produksi. Tidak ada BLT kali ini. Sebagai gantinya pemerintah menyiapkan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, yang penyaluran uangnya mirip dengan BLT zaman SBY, melalui Kantor Pos.
Dan, oh ya, belum ada sikap resmi dari PDIP dan juga Megawati yang merespons rencana pemerintah itu. Tapi sebagai partai yang konon membela wong cilik, harus diyakini, PDIP dan Megawati tentu akan menolak penaikan harga BBM berikut BLT tandingannya, seperti yang telah mereka tunjukkan tanpa lelah selama 10 tahun pemerintahan SBY; meskipun kali ini mungkin tanpa teriakan “revolusi sampai mati” dan meneteskan air mata.
November 7, 2014 at 4:04 pm
he he he. apakah bisa diartikan “teriakan mereka waktu itu cuma ‘sekadar asal menentang” ?
Mei 5, 2015 at 7:45 am
Tak tahu lah..