Bukti-bukti keterlibatan tentara dan polisi di Blok Cepu, Poso, dan Boven Digoel. Mereka datang membawa M16 lalu pulang membawa (Rp) 16 M.



Judul Buku:Ketika Moncong Senjata Ikut Berniaga

Penulis: Tim Penelitian Kontras

Penerbit: Kontras, Jakarta Maret 2005

Halaman:106 Halaman

Oleh Rusdi Mathari

BUKU yang diterbitkan Kontras ini hanyalah sebuah penegasan kesekiankalinya dari buku-buku sejenis yang sudah terbit lebih dulu tentang bahayanya jika militer ikut berbisnis. Kalau ada perbedaan dengan buku-buku sebelumnya buku Kontras ini lebih khusus dan detil dengan obyek penelitian yang difokuskan pada keterlibatan militer dan polisi di tiga wilayah yaitu Jawa Timur (Kabupaten Bojonegoro dan Tuban), Sulawesi Tengah (Kabupaten Poso), dan Papua (Kabupaten Boven Digoel).

Meskipun tak ada penjelasan mengapa hanya tiga wilayah tersebut yang diteliti, dan kenapa misalnya Aceh Darussalam juga tak dimasukkan di dalamnya, buku ini mengungkap banyak bukti baru. Di Bojonegoro, tempat ladang minyak Blok Cepu berada misalnya sudah sejak awal militer melibatkan dalam bisnis dengan menjadi kakitangan pengusaha. Ketika PT Humpuss akan melakukan pembebasan tanah warga untuk lokasi pengeboran pada 1998, Koramil Katilidu memaksa warga Desa Mojodelik dan Gayam Tuban, untuk menyerahkan tanah mereka dengan harga yang sudah ditentukan. Warga yang tak bersedia lalu diancam dan dicap sebagai PKI.

Di Poso, militer dan polisi terlibat dalam bisnis ilegal kayu hitam. Pengusaha kayu hitam yang ingin aman selain harus memiliki izin dari Perhutani juga harus menyetor sejumlah setoran kepada tentara dan polisi. Kendaraan dinas militer berikut pengawalannya juga bisa disewa untuk kepentingan pengangkutan kayu hitam. Sementara di Boven Digoel, keterlibatan militer dalam bisnis beruwujud pada bisnis perdagangan sumber daya alam dan pengamanan. Banyak tentara yang ditempatkan di sana menjadi penadah barang-barang ilegal yang dimasukkan dari Papua New Guinea ke Indonesia. Di wilayah Asiki,komandan dari seluruh petugas keamanan menerima setoran Rp 250 ribu per bulan sementara para anggota menerima Rp 100 ribu dari sebuah perusahaan.

Sejarah keterlibatan militer dan polisi dalam bisnis formal dan informal bisa dikatakan sama panjangnya dengan usia kemerdekaan Indonesia. Menurut Harold Crouch dalam buku Bisnis dan Militer jejak militer Indonesia dalam bisnis formal bisa dilihat ketika pada 1960-an Pertamina diambil alih pengelolaannya oleh militer atas perintah KASAD Jenderal A.H. Nasution kepada Deputi II Kolonel Ibnu Sutowo. Lalu ketika Orde Baru berkuasa, militer meningkatkan ekspansi dengan mengelola Badan Urusan Logistik di bawah pimpinan Letjen Ahmad Tirtosudiro yang didukung dana kredit Bank Indonesia.

Tentu saja keterlibatan militer dan polisi dalam bisnis formal dan informal, tak diajarkan dalam pendidikan dan pelatihan mereka. Selain bertentangan dengan profesionalisme dan mengurangi peranan militer dan polisi sebagai alat pertahanan dan keamanan, secara ekonomi, mereka bukanlah pemodal yang berkecukupan dana untuk berinvestasi. Dihubungkan dengan keterampilan dalam mengelola bisnis, militer dan juga polisi, tidak dididik dan dilatih untuk berdagang.

Kalau ada anggapan bahwa wilayah bisnis sama dengan medan perang, untuk kasus militer karena itu bisa disebut keliru. Itu terbukti dari terus berkurangnya jumlah bisnis yang secara formal dikelola oleh militer. Pada awal 1980, militer Indonesia memiliki atau mengelola sekitar 500 bidang usaha tapi 17 tahun sesudahnya jumlah itu sudah menyusut menjadi 227 bidang usaha. Persoalannya jelas, bisnis milik militer kalah bersaing dengan bisnis yang dikelola pengusaha karena tentara yang mengurus bisnis hanya tahu ilmu berperang.

Namun berkurangnya jumlah perusahaan-perusahaan yang dikelola tentara dan polisi bukan saja disebabkan oleh salah urus, melainkan juga karena telah menjadi ladang korupsi para perwiranya. Kasus penarikan dana nonbudgeter milik Yayasan Dharma Putra Kostrad senilai Rp 189,5 miliar dan Rp 135,5 miliar dari brankas PT Mandala Airlines oleh perwira tinggi Kostrad pada 2001 adalah salah satu bentuk penyimpangan yang sempat terungkap ke permukaan.

Pada November 2003 Badan Pemeriksa Keuangan pernah mengungkapkan perihal penyimpangan dana yayasan-yayasan milik militer dan kepolisian. Laporan itu antara lain menyebutkan, yayasan-yayasan milik militer dan kepolisian telah menetapkan anggaran sebesar Rp 758 miliar dengan realisasi Rp 695,4 miliar. Faktanya nilai realisasi yang bisa diperiksa hanya Rp 634,7 atau berkurang 9 persen.Pemeriksaan oleh BPK juga menemukan 19 masalah yang berpotensi rugi hingga Rp 366 miliar.

Di bisnis informal keterlibatan militer dan polisi lebih tak terkontrol lagi. Dalam banyak kasus, keterlibatan mereka justru sering bersentuhan dengan kekerasan, kriminal dan penyalahgunaan wewenang. Contoh-contoh di tiga kabupaten yang diulas oleh buku ini, hanya sedikit dari yang bisa diungkap. Terutama di daerah konflik, keterlibatan militer dan polisi dalam bisnis sudah menjadi cerita yang basi. Militer datang dengan membawa M16, lalu pulang membawa (Rp) 16 M adalah satir yang sudah menjadi rahasia umum banyak warga di daerah konflik, seperti Maluku, Papua, Aceh atau Poso. Berbagai lapangan mereka masuki, mulai dari bisnis pengamanan, senjata, hasil bumi sampai bisnis haram lainnya.

Bisnis pengamanan militer (TNI dan polisi) misalnya bisa dilihat pada obyek vital seperti perusahaan-perusahaan minyak dan bank di Aceh. Untuk pengamanan di Exxonmobil, misalnya, terdapat sekitar 100-150 pos militer di sekitar lokasi, yang masing-masing pos ditunggu oleh 20-25 personil. Dana yang dikeluarkan Exxonmobil menurut taksiran Kontras mencapai Rp 33,8 juta-Rp127,5 juta setiap hari atau sekitar Rp 12 miliar-46 miliar per tahun.

Di Maluku, bisnis keamanan menjadi bisnis yang menghasilkan keuntungan besar bagi militer dan polisi. Sebelum konflik, warga cukup mengeluarkan ongkos Rp 10 ribu untuk menjangkau Bandara Pattimura dari pusat kota Ambon. Namun setelah ada konflik, warga harus merogok kocek antara Rp 400-800 ribu sekali jalan karena harus membayar ongkos pengawalan aparat. Di luar wilayah konflik, di banyak tempat di Indonesia sudah jamak diketahui banyak aparat yang kini menjadi beking atau bandar judi togel.

Dalam buku Bila ABRI Berbisnis (Indria Samego, 1998) disebutkan, bisnis di lingkungan militer awalnya hanya untuk memenuhi kebutuhan logistik dan operasional yang tak terdukung secara layak oleh pemerintah. Dalam perkembangan selanjutnya keterlibatan itu tampak semakin menjadi-jadi dan dicemari oleh kronisme dan semangat antipasar. Pada masa Orde Baru, hubungan ABRI dan bisnis terimplementasi secara lebih luas dan intensif karena tak satupun sektor produksi dan usaha nasional penting yang tidak tersentuh oleh jaringan bisnis ABRI, baik secara individual maupun secara institusional.

Kedekatan hubungan dengan pihak rezim penguasa Orde Baru membuat keterlibatan ABRI dalam aktivitas ekonomi menimbulkan “ekonomi biaya tinggi”, “hilangnya kesempatan kompetitif dalam bisnis”, hingga munculnya “dana siluman” dalam pembangunan. Kasus yang melibatkan isu suap kepada Siti Hardiyanti Rukmana sebesar ₤16,5 juta (sekitar Rp 291 miliar) untuk memuluskan transaksi sebesar ₤160 juta poundsterling (Rp 2005,3 triliun) adalah salah contoh bahwa munculnya dana siluman dalam bisnis militer.

Kontras karena itu menilai penting menjadikan institusi militer dan polisi lebih kuat dan lebih berdaya agar sanggup menjalankan fungsi dan tugas pemeliharaan keamanan dan pertahanan secara ideal dan normatif. Kontras juga merekomendasikan agar pemerintah melakukan evaluasi terhadap struktur Komando Teritorial seperti Kodam, Korem, Kodim dan Koramil karena fungsinya telah banyak terkontaminasi kepentingan bisnis. Itu kalau tak mau, tentara dan polisi disebut sebagai centeng atau preman negara.