Selama tahun 2007 anggaran daerah hanya habis untuk membayar gaji pegawai, membiayai partai politik, dan melunasi tunjangan anggota DPRD. Pendidikan dan kesehatan publik menjadi terbengkalai.

Oleh Rusdi Mathari

SEORANG diri laki-laki itu berjalan kaki mengelilingi pelataran air mancur bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Memakai topi haji di dadanya tergantung karton berwarna kuning. Tulisannya: “Koruptor Insaf”. Hurufnya tak terlalu besar dan nyaris tak bisa dibaca jika dilihat dari jauh. Di bawah tulisan “Koruptor Insaf” ada beberapa kata penjelasan: “Saya Pelaku Korupsi APBD Bontang Rp 44,6 Miliar. Kenapa KPK Tak Tangkap Saya? Kenapa KPK Mandul? Tangkap Saya…!!!Hamzah MD Anggota DPRD Bontang”

Ketika ditanya oleh para wartawan, Hamzah tak menjelaskan angka Rp 44,6 miliar yang dikorupsinya. Ia hanya mengaku telah menerima “uang kaget” sekitar Rp 125 juta yang di dalamnya ada uang polis asuransi sebesar Rp 75 juta. Bersama 24 anggota DPRD Bontang yang lain, uang asuransi tersebut dinikmati Hamzah selama tiga tahun berturut-turut sejak 2002 hingga 2004. Totalnya mencapai Rp 625 juta dan Pemerintah Kota Bontang dalam hal ini bertindak sebagai kasirnya. Darimana dananya? Kecuali dari APBD, sulit untuk mengatakan berasal dari kantong pribadi Pak Bupati Bontang atau urunan para pejabat pemda setempat.

Dengan aksinya, Hamzah mungkin saja punya agenda lain di luar “kejujurannya” tapi apapun motivasinya, pengakuan dosa Hamzah sebenarnya adalah persoalan serius. Pengakuan itu setidaknya semakin membuka kotak pandora bahwa dana anggaran daerah telah menjadi lahan empuk bagi pelaksana pemerintah di daerah termasuk pengurus partai politik. Mereka, para gubernur; bupati; walikota; dan anggota DPRD dengan alasan otonomi seolah berhak “mengolah” keuangan di daerahnya.

Simulasinya kira-kira seperti ini: Para gubernur, bupati atau walikota berkepentingan agar semua keputusannya untuk penggunaan dana APBD mendapat stempel dari para wakil rakyat sementara para anggota DPRD yang seharusnya mengawasi penggunaan dana APBD juga merasa perlu mendapat bagian.

Argumen dan modusnya banyak. Mulai dari uang rapat, uang kunjungan, tunjangan-tunjangan jabatan hingga polis asuransi, yang nilainya seringkali melebihi nilai anggaran untuk publik.

Di Padang Sumatera Barat, pernah kejadian polis asuransi yang diterima para anggota DPRD Sumatera Barat periode 1999-2004— nilainya bertaut 200 kalilipat dibanding penghasilan buruh di propinsi tersebut. Saat itu setiap anggota dewan bisa mendapat Rp 100 juta hingga Rp 150 juta, untuk membayar polis asuransi yang seluruhnya diambil dari APBD Sumatera Barat. Sementara upah minimum para buruh di Sumatera Barat hanya sekitar Rp 500 ribu sebulan. Jika dihitung dengan perbandingan waktu maka untuk setiap satu poin asuransi dalam satu masa pertanggungan katakanlah lima tahun, yang dinikmati oleh para anggota dewan di Tanah Minang itu— sama dengan usaha rakyat menabung 22 tahun.

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran atau Fitra menemukan 10 modus penyalahgunaan dana APBD. Menurut The Habibie Center ada 20 modus korupsi yang berpeluang digunakan oleh anggota legislatif dan eksekutif di daerah. Tapi secara umum, hasil penelitian dua lembaga itu punya kesamaan: anggaran daerah sudah berpeluang dikorup sejak mulai dari perencanaan (usulan). Berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang memberi kekuasaan besar untuk mengatur daerah, termasuk hak untuk mengatur anggaran rupanya telah dipahami secara salah kaprah oleh pelaksana eksekutif dan yudikatif di daerah. Sementara di sisi lain, undang-undang tersebut tidak mengatur mekanisme pertanggungjawaban yang transparan kepada publik.

Jika kemudian wewenang yang besar itu justru melahirkan banyak penyimpangan, seperti mengalirkan dana negara ke kantong pribadi— tentu bukanlah hal yang mengherankan. Kasus pembelian mesin pembangkit listrik tenaga solar senilai Rp 30 miliar, yang melibatkan bekas Gubernur Aceh Darussalam Abdullah Puteh dan korupsi dana APBD Rp 6,4 miliar yang melibatkan bekas Gubernur Sumatera Barat Zainal Bakar adalah sedikit contoh dari banyaknya jalan untuk mengutil dana APBD yang dilakukan eksekutif di daerah. Publik lalu juga tercengang ketika para kepala daerah dan ratusan anggota DPRD di hampir seluruh Indonesia berurusan dengan hukum akibat memindahkan dana APBD ke kantong pribadi mereka.

Catatan dari Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukkan, sampai 2004 sudah ada seratusan perkara korupsi yang melibatkan para anggota DPRD di seluruh Indonesia. Sebanyak 1.500-an orang telah diproses secara hukum: Sebagian dalam tahap penyelidikan, sebagian sudah disidik dan sisanya menjalani hukuman. Mereka umumnya didakwa telah melanggar PP No. 110 tahun 2000. Itulah peraturan yang dibuat agar dalam menyusun APBD, para anggota DPRD dan pejabat pemerintah daerah memperhatikan asas kepatutan antara anggaran publik dan anggaran kesejahteraan anggota. Asas kepatutan itu antara lain termasuk kejelasan penggunaan dari setiap rupiah dana APBD.

Dengan kalimat lain, PP No. 110 dimaksudkan sebagai pagar dari pelaksanaan otonomi daerah. Namun rupanya para kepala daerah dan para anggota DPRD juga selalu menemukan celah dan alasan untuk menyalahgunakan dana APBD atas nama otonomi daerah. Belakangan PP itu dipersoalkan oleh banyak anggota DPRD. Mereka menganggap peraturan itu melanggar undang-undang otonomi daerah yang status hukumnya lebih tinggi.

Sejumlah wakil rakyat dari Sumatera Barat lalu mengajukan hak uji materil atas PP tersebut. Mahkamah Agung mengabulkan uji materiil tersebut dan pemerintah lantas menerbitkan PP No. 37 tentang kedudukan keuangan DPRD sebagai pengganti PP No. 110, yang celakanya justru semakin memberi peluang terjadinya penggembosan anggaran derah.

Peraturan yang dikeluarkan Presiden SBY itu sepintas seperti tak hendak memberi celah bagi pejabat di daerah untuk menyalahgunakan dana APBD karena seluruh kenaikan penghasilan dan tunjangan anggota DPRD tak lagi berasal dari APBD. Namun merujuk pada pasal-pasal PP itu, semua kenaikan penghasilan dan tunjangan para anggota dewan itu justru diperbolehkan diambil dari dana untuk belanja publik. Sektor yang disebut terakhir inilah –yang seharusnya untuk kepentingan orang banyak— yang dipastikan akan tersedot hanya untuk menambah kesejahteraan para anggota DPRD.

Fitra pernah menghitung, anggaran belanja untuk publik yang akan termakan untuk membiayai gaji dan tunjangan para anggora DPRD itu akan mencapai 20 persen. Dana belanja publik 20 persen yang berkurang itu termasuk alokasi untuk dana pendidikan dan kesehatan, yang selama ini sebenarnya sudah sangat sedikit.

Di luar menggerogoti belanja publik, keluarnya PP tersebut juga bisa dikatakan sebagai bagian dari legalisasi bentuk-bentuk korupsi yang terjadi pada era PP No. 110 Tahun 2000. Dulu beberapa item pendapatan DPRD seperti dana operasional anggota dewan, dan purnabakti, dan tunjangan komunikasi— dianggap ilegal karena tidak diatur dalam PP No. 110. Sekarang hal itu diakomodasi oleh PP No. 37 atau dengan kata lain dianggap legal.

Karena peraturan itu berlaku surut per Januari 2006, maka sejak awal 2007 setiap anggota DPRD telah mendapatkan rapel tunjangan komunikasi untuk pembayaran tahun sebelumnya sebesar Rp 75,6 juta. Untuk ketua dan wakil ketua DPRD, paling sedikit akan mendapatkan tambahan tunjangan operasional, yang totalnya Rp 226 juta untuk ketua dan Rp 156,24 juta untuk wakil ketua. Pada tingkat propinsi, setiap anggota DPRD akan kecipratan Rp 108 juta sementara ketua dan wakilnya masing-masing akan memperoleh rapelan Rp 324 juta untuk ketua dan Rp 223,2 juta untuk wakil ketua.

Dengan jumlah kota dan kabupaten di Indonesia sebanyak 434 dan di setiap kota atau kabupaten itu terdapat 35 anggota DPRD, menurut catatan Fitra ada sekitar Rp 1,4 triliun yang tersedot untuk mengongkosi para anggota dewan di daerag. Jumlah itu belum termasuk alokasi biaya untuk sekretariat DPRD dan DPRD provinsi seluruh Indonesia.

Di luar hitung-hitungan angka nominal itu, persoalan yang lebih serius menurut ICW adalah PP No. 37 Tahun 2006 telah membuka potensi korupsi massal karena kemungkinan besar terjadi anggaran ganda. Item yang paling mungkin menimbulkan biaya ganda ada pada tunjangan komunikasi insentif dan dana operasional bagi pemimpin DPRD dengan belanja kegiatan penunjang yang dialokasikan di sekretariat dewan.

Kedua jenis belanja itu tidak mempunyai batasan yang tegas untuk menjelaskan jenis-jenis kegiatan yang bisa dibiayai oleh masing-masing item anggaran. Karena itu, kegiatan dewan yang terdiri atas rapat; kunjungan kerja; penyiapan rancangan peraturan daerah; pengkajian dan penelaahan peraturan daerah; peningkatan sumber daya manusia; dan sebagainya dapat dibiayai oleh berbagai macam item anggaran yang tersedia.

Pemerintah memang telah meralat PP tersebut namun dana untuk membayar berbagai tunjangan para anggota DPRD itu telah terlanjur dicairkan dan hingga sekarang belum ada mekanisme soal pengaturan pengembaliannya.

Dengan peluang semacam itu, besar kemungkinan pelaku korupsi APBD seperti Hamzah kelak akan semakin bertambah. Dan pasti mereka tak akan melakukan aksi pengakuan dosa, seperti yang pernah dilakukan Hamzah, di pelataran air mancur Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta awal tahun ini.