Entah apa yang akan dikatakan Sukarno, andai dia melihat Sarinah dengan McDonald, Hard Rock dan barang-barang mewah itu, justru berasal dari jantung kapitalisme dunia yang pernah hendak dilawannya, Amerika Serikat.
Judul: The Power of Vision: Sebuah Pergulatan Transformasi “Sang Dewi” Sarinah
Penerbit: Gibon Books, Jakarta
Tahun:April 2008
Jumlah Halaman: xxii + 420
Penulis:Tim penulis
oleh Rusdi Mathari
ENTAH dari mana asal muasalnya, istilah “Sarinah pergi ke pasar” sering digunakan oleh seseorang yang mengolok-olok teman atau kenalannya yang sedang menenteng tas (keranjang). Maksudnya bercanda tentu saja. Namun ketika sebagian besar orang tak menyadari betul apa dan siapa Sarinah, kata-kata yang sudah cukup lama kerap digunakan oleh juragan topeng monyet saat memukul gendang mengiringi monyetnya menari itu, mestinya terasa melecehkan ketika Sarinah hanya identik dengan monyet, tepatnya tari monyet.
Sebuah olok-olok yang celakanya kemudian juga muncul dalam syair sebuah lagu anak-anak, …”Dakocan namanya, bukan Sarinah…” Maksudnya tentu adalah Sarinah dan sosok dan nama kere, kelas pembantu, murah dan sebagainya. Tak salah pula bila ada orang yang menerjemahkan kata-kata itu sebagai olok-olok untuk Sukarno, pemilik gagasan pembangunan (gedung) Sarinah.
Benar, Sarinah adalah nama yang diberikan oleh Sukarno, presiden RI pertama, untuk sebuah gedung yang kelak di dalamnya terdapat sebuah pusat belanja moderen pertama di Indonesia. Dalam buku Sarinah, Sukarno mengaku nama itu adalah nama pengasuhnya, pengasuh keluarganya.
Mbok Sarinah, begitu Sukarno biasa memanggil perempuan yang diakui telah ikut mendidiknya, dan membantu ibu bapaknya. Sarinah, kata Sukarno, “…mendidik mengerti bahwa segala sesuatu di negeri tergantung daripada rakyat jelata.”
Dibangun sejak 23 April 1963, Gedung Sarinah dimaksudkan oleh Sukarno untuk jadi pusat perbelanjaan moderen yang bisa memenuhi keinginan rakyat mendapatkan barang-barang murah tapi dengan mutu bagus. Gagasannya berasal dari Sukarno sendiri, menyusul lawatannya ke sejumlah negara yang lebih dahulu memiliki pusat belanja moderen. Dan karena inflasi membubung pada masa itu, pembangunan Sarinah bukan nihil kritikan.
Sukarno antara lain dianggap hanya meneruskan proyek mercusuar dan Sarinah adalah salah satu proyek gagah-gagahan yang lain. Hampir bersamaan waktu, saat itu sedang pula dibangun Gelanggang Olahraga Bung Karno seluas 300 hektar yang dimulai 8 Februari 1960 untuk menyongsong pelaksanaan Asian Games IV.
Sukarno akan tetapi bergeming hingga Sarinah diresmikan pada 15 Agustus 1966, lebih cepat dua hari dari rencana. Sukarno ingin melawan kapitalisme, dan Sarinah adalah salah satu alatnya. “Janganlah ada satu manusia yang mengira bahwa departement store (Sarinah-Pen) adalah proyek lux. Tidak!” Begitulah Sukarno menjawab para pengkritik pembangunan Gedung Sarinah.
Peresmian Sarinah sebetulnya terlambat hampir setahun dari keinginan Sukarno yang bermaksud meresmikan Sarinah pada Hari Ibu 1965, 22 Desember. Dan ketika diresmikan, Sukarno sedang berada di bawah tekanan politik yang berat menyusul peristiwa politik berdarah 1965 yang mengakibatkan banyak manusia mati terbunuh. Dia berada di ujung akhir kekuasaannya dan hanya bisa menikmati Sarinah sekitar dua tahun sejak diresmikan.
Pada awal beroperasi, Sarinah (kini menjadi PT Sarinah-Persero) merupakan pusat belanja modern di Indonesia. Pembangunan gedungnya paling sedikit menelan ongkos Rp 50 miliar yang sebagian besar didapat dari pinjaman negara Jepang. Operasionalnya mendapat pengawasan dari Matsuzakaya dan Seibu. Nama yang disebut terakhir adalah pusat belanja modern terbesar di Jepang yang dibangun pada 1949. Dilengkapi dengan pendingin ruangan (AC), mesin elektronik penghitung IBM seri 1400, tangga berjalan, dan pusat kesehatan untuk para pengunjung, fasilitas Sarinah adalah yang tercanggih, termewah dan termahal pada masa itu.
Hanya seminggu setelah beroperasi, ribuan orang mengunjungi Sarinah. Omzet per hari selama seminggu itu mencapai Rp 600 juta. Hampir 35 tahun kemudian, kondisi yang mirip berulang ketika pusat belanja hipermarket Carrefour di Lebak Bulus, Jakarta Selatan beroperasi pada awal 2001; ribuan orang terlihat saling berdesakan di lorong-lorong dan mengantre di depan kasir. Bedanya, Carrefour yang berasal dari Prancis itu hingga sekarang terus bertahan dengan kunjungan ribuan orang, sementara Sarinah tidak.
Tak menentunya situasi politik dan ekonomi, menyebabkan pamor Sarinah redup hanya dalam waktu kurang dari setahun atau bahkan hanya beberapa bulan setelah diresmikan: omzetnya per hari turun drastis menjadi hanya Rp 1,5 juta. Puncaknya adalah 700 karyawan dari total 2.800 karyawan harus di-PHK pada awal Februari 1967.
Keputusan yang tidak populer itu mendapat reaksi keras dari karyawan dan mempengaruhi perilaku dan disiplin kerja karyawan yang masih bekerja: pramuniaga tidak berpakaian rapi, ogah-ogahan dalam melayani pembeli dan sebagainya. Hingga akhir 1970, keuangan Sarinah tak kunjung membaik dan sebaliknya justru mulai terbebani oleh utang. Omzet sebulan menjadi hanya sekitar Rp 35 juta.
Pada tahun itu Sukarno meninggal dunia. Lalu dari entah-beranta, muncul istilah “Sarinah pergi ke pasar,” dan “…Dakocan namanya bukan Sarinah…” menjadi kosakata baru. Sarinah menjadi tak terurus. Keuangannya terus tergerus oleh salah urus, tidak efisien dan juga korupsi.
Puncaknya terjadi pada 18 Juli 1980, ketika gedung empat lantai Sarinah habis terbakar. Tak sedikit pun bagian gedung dan seluruh isinya bisa diselamatkan. Semua musnah termasuk lantai dasar tempat banyak restoran menawarkan makanan-makanan daerah. Jembatan yang menghubungkan Gedung Sarinah dengan Gedung Jakarta Teater yang berada di sisi utara juga ambruk. Branwir, mobil dan petugas pemadam kebakaran datang terlalu terlambat karena terlebih dahulu harus bertarung dengan kemacetan.
Ada isu setelah itu: Sarinah sengaja dibakar menyusul diresmikannya pusat belanja baru Ratu Plaza yang terletak di kawasan Senayan dan Duta Merlin di dekat Harmoni. Kebakaran yang sama berulang 13 November 1984 dan mengakibatkan Sarinah menelan kerugian Rp 2,7 miliar. Di Jakarta pada masa itu, sudah mulai bermunculan pusat perbelanjaan termasuk Pasaraya Sarinah Jaya milik pengusaha Abdul Latief yang dibangun pada 1981 di kawasan Blok M.
Nama Sarinah baru kembali diingat orang, ketika restosan cepat saji McDonald asal Amerika Serikat menyewa lantai dasar Gedung Sarinah di bagian depan, Februari 1991. Gedung Sarinah kembali ramai dikunjungi orang, tapi mereka bukan bermaksud berbelanja ke pusat perbelanjaan Sarinah melainkan ke restoran yang hak lisensinya di Indonesia dikantongi oleh Bambang Rachmadi menantu Sudharmono, yang saat itu menjabat wakil presiden.
Keramaian semakin riuh ketika Hard Rock Café, salah satu ikon café dunia yang sedang naik daun dan juga berasal dari Amerika Serikat, menyewa Gedung Sarinah di lantai 2. Setiap hari, setiap malam, hingga krisis ekonomi pada pertengahan 1997, Sarinah kemudian seolah berpesta. Di bagian dalam, di pusat perbelanjaannya, aneka pakaian dan barang yang mendunia memenuhi gerai-gerai, seperti ketika dulu gerai Levi’s menempati salah satu sudut Gedung Sarinah.
Entah apa yang akan dikatakan Sukarno, andai melihat Sarinah dengan McDonald, Hard Rock dan barang-barang mewah itu— Hard Rock Café sekarang sudah tidak menempati Gedung Sarinah— yang justru berasal dari jantung kapitalisme dunia yang pernah hendak dilawannya, Amerika Serikat.
Buku ini, meskipun berisi memoar perjalanan Sarinah, satu-satunya BUMN yang bergerak di bidang ritel, tapi lebih tepat disebut memoar dari Ketut Arnaya, Direktur Utama Sarinah yang keduabelas. Tujuh tahun lamanya, Ketut menjabat sebagai bos Sarinah, dan di buku ini dia seperti ingin “dilihat.” Sebuah upaya yang wajar sebetulnya, terutama ketika Sarinah di bawah Ketut hendak dikembangkan menjadi pusat belanja dengan konsep square, seperti yang mulai menjamur dalam lima tahun terakhir di Tanah Air. Sebuah cita-cita yang sebetulnya terlambat meskipun usaha itu bisa pula diterjemahkan sebagai usaha untuk menghapus olok-olok “Sarinah pergi ke pasar” dan “Dakocan namanya, bukan Sarinah”
Problemnya, Sarinah memiliki beban sejarah yang tak bisa diabaikan: menjadi pusat penyaluran barang-barang kebutuhan hidup rakyat. Sebuah cita-cita yang tak pernah terwujud. Bukan saja karena Sarinah tak sanggup menyediakan barang-barang murah menyusul masuknya dagangan bermerek dunia, tapi Sarinah telah menjadi tempat bertemunya orang-orang kaya Jakarta. Di depannya, di jembatan penyeberangan Jalan M.H. Thamrin, rakyat jelata seperti dimaksud oleh Sukarno, menggelar dagangan mereka sambil tertimpa hujan dan debu kemarau, atau harus berkejaran dengan petugas trantib.
Andai pilihan itu (untuk disulap menjadi square) tetap harus dilakukan, Sarinah akan lebih baik jika sama sekali kemudian menghapus sejarah dan tujuan pendiriannya— antara lain misalnya dijual kepada pihak swasta. Dengan demikian, Sarinah tak akan digugat oleh beban masa lalu yang heroik dan mulia, juga catatan tentang perilaku korup yang pernah dilakukan oleh sejumlah orang Sarinah, dulu. Paling tidak, kelak ketika Sarinah diurus oleh swasta, olok-olok “Sarinah pergi ke pasar” dan “Dakocan namanya bukan Sarinah” siapa tahu tak akan lagi sering terdengar.
Mei 27, 2008 at 1:08 pm
Sarimin pergi ke pasar…
Mei 28, 2008 at 3:30 pm
!@#$%^&*()_+{}|”:?><;’/.,\][!@#
Mei 28, 2008 at 6:49 pm
bukan sarinah ah, sarimin itu mah
salam kenal
Juni 24, 2008 at 2:42 pm
ini adalah salah satu wujud tindakan Bung Karno yang melawan kapitalisme. Proyek-proyek Bung Karno yang dulu banyak di caci (Proyek mercusuar), sekarang ini menjadi kebanggaan Indonesia. Anda bisa melihat jembatan merah atau monas sebagai salah satu hasil karya beliau
Betapa hebatnya Bung karno, sayangnya beliau di jatuhkan oleh rezim Soeharto.
meskipun Bung Karno sudah tiada, namun jasa jasanya akan selalu dikenang oleh generasi muda bangsa Indonesia.
Terima kasih, Bung….
Semoga amal ibadahmu di terima di sisi Allah SWT, Amin
Juli 22, 2008 at 9:02 pm
Sedih juga bacanya. nama dakocan kebetulan saya ambil untuk nama komunitas dongeng saya di Lampung jadi agak berhubungan, hehehehe…..
Menurut saya, sepertinya Soekarno salah konsep, karena akan sulit membayangkan menempatkan barang-barang murah ditempat yang mewah kecuali disubsidi untuk sewa tempat dan lainnya. Tapi ok, mungkin Sarinah itu hanya simbol perlawanan saja dengan tujuan yang baik. Di Sarinah sekarang, “Sayang-sayang mahal harganya……”
Salam Dakocan
Ivan Bonang
Oktober 26, 2008 at 1:52 pm
sarimin ah……..agak maksa dh tuh artikel, mana pernah ada “sarinah ke pasar”…dr jaman nenek gw msh abg jg,ada jg “sarimin ke pasar” bkn nya “sarinah ke pasar”
kl mnrt gw ni sarinah bagus kl ttp gn2 aj…jadi jadul nya ttp ada qtu.
Maret 11, 2009 at 5:13 pm
Adakah usul yang lebih baik untuk mempertahankan warisan ini? Coba kalo kita lihat di Sarinah Thamrin lantai 4 dan 5 …….
Oktober 24, 2009 at 9:24 pm
Presiden Dakocan Bukan Sarinah[1]
Pernahkah anda mendengar cerita tentang Boneka Dakocan? Barangkali kisah ini menarik untuk menjadi bahan merefleksi hasil Pemilu 2009. Pesta demokrasi liberal yang dibiayai sangat mahal dari utang luar negeri dan pajak rakyat, telah menghasilkan presiden terpilih yang akan memerintah negari ini hingga tahun 2014.
Hingar bingar selebrition meningalkan kesan seolah tidak ada masalah di negara ini, tak ada bencana alam, tak ada kemiskinan, tak ada kelaparan yang melanda di seantero nusantara. Upacara pelantikan sang presiden terpilih di gedung paling terhormat lembaga perwakilan rakyat, seolah tak mendengar kata-kata yang yang tersungging dibalik senyum para kepala negara asing dan para duta besar negara maju yang menghadiri acara inagurasi tersebut “kami punya boneka baru”.
Audisi para menteri yang dilakukan sehari setelah pelantikan presiden terlihat tidak lebih sebagai praktek bagi-bagi kekuasaan, balas jasa presiden terpilih kepada para pendukungnya. Dalam hal ini siapapun yang berjasa bisa jadi menteri asalkan bersedia menjadi istilah ambon “pantat celana” hingga salah seorang kawan menanyakkan “apakah kita dianggap ikan semua.. ?” begitu melihat salah seorang menteri yang sebelumnya mengurusi laut, kini disuruh mengurusi lalu-lintas darat dan laut, khususnya Jakarta yang saban hari mengalami kemacetan dan kereta api yang selalu tabrakan.
Tak luput dari penilaian buruk beberapa pemain lama dan baru yang duduk dalam Kabinet bab II, yang akan mengatur keuangan, perencaanaan, kesehatan dan bahkan pertahanan, dicurigai adalah pesuruh dari pemerintahan asing. Ada seorang menteri yang masih Eselon 2 yang sebelumnya bekerja di laboratorium Navy Medical Research Unit Two (Namru-2,) sebuah laboratorium yang berkerja dalam bidang kesehatan maupun intelijen, militer dan pertahanan yang didirikan Angkatan Laut AS bekerjasama dengan Rockefeller Institute di Guam, salah satu pangkalan militer Amerika Serikat di Pasifik selama Perang Dunia II. Kehadiran menteri ini oleh banyak pihak diduga adalah pesanan langsung dari Washington.
Pesta pora para elite kontras dengan situasi yng saat ini tengah dihapi rakyat, lebih dari separuh rakyat negeri ini terbelit dalam kemiskinan. Kondisi yang diakibatkan oleh kebijakan lima tahun yang tidak berpihak. Ribuan petani terusir dari tanah-tanah mereka, ribuan PKL kehilangan sumber penghasilan dikarenakan lapak-lapak mereka dihancurkan POL PP, ribuan nelayan kehilangan mata pencaharian dikarenakan laut-laut dijadikan tempat pembuangan lumpur, limbah perusahaan tambang dan industri yang menhasilkan bahan beracun berbahaya (B3) dan jutaan buruh nasibnya tak berubah meski pergantian presiden, resufle menteri sudah terjadi berkali-kali di republik ini pasca reformasi.
Bagi rakyat jelata, sandiwara politik negara ini sangat mirip cerita Boneka Dakocan digambarkan oleh Pak Kasur dalam syair lagunya :
Ku lihat ada boneka baru
Dari karet amat lucu
Dakocan namanya bukan Sarinah
Sayang-sayang mahal harganya
Syair dengan makna filosofi dan sejarah yang lugas, meski dibuat puluhan tahun silam, akan tetapi kisah boneka dakocan sangatlah relevan menggambarkan karakter elite politik dewasa ini.
Dakocan adalah sebutan untuk boneka plastik berwarna hitam yang di dalamnya diisi udara atau mainan berbentuk sejenis (luarnya bagus dalamnya tak ada isi). Dikenal di negara asalnya Jepang dengan sebutan Dakko-chan. Boneka ini disebut juga Kurombo Bura atau Si Hitam. Kedua belah tangan boneka ini membentuk lingkaran seperti sedang memeluk (dakko), bagaikan koala sedang memeluk pohon. Sesuai dengan namanya, Dakko-chan bisa dipasang di lengan seperti sedang memeluk pemiliknya (selalu setia pada tuannya).
Bahan Boneka Dakocan dari karet plastik cocok sekali untuk menggambarkan karakter elite politik yang tidak punya identitas, suka mengumbar dan menarik ulur janji. Warnanya hitamnya menunjukkan hati yang tiada berpihak dan sifat yang tiada kasi sayang. Elite yang hingga saat ini menunjukkan dirinya sebagai boneka dari modal asing.
Boneka Dakocan sangat tepat untuk mewakili karakter pembudakan elite kita terhadap modal asing khususnya Jepang. Negara yang ditugaskan AS untuk mengontrol Asia tersebut adalah pemberi utang terbesar, juga pemegang saham terbesar di Asian Development Bank (ADB) dan World Bank (WB) yang juga pemberi utang terbesar bagi negara ini. Sebagai negara pengirim investasi langsung (Foreign Direct Investement) terbesar, Jepang menjadi penerima impor utama migas, batubara dan sebagian besar kekayaan tambang yang dikeruk dari bumi Nusantara.
Sifat Boneka Dakocan berlawanan dengan sosok Sarinah. Roso Daras dalam sebuah artikel di situs internet menggambarkan Sarinah sebagai sosok memiliki arti penting bagi hidup Sukarno. Sarinah-lah yang mengajarkan Sukarno untuk cinta kepada rakyat, sehingga rakyat pun akan mencintainya. Perempuan paruh baya adalah sosok yang mengisi hidup Sukarno kecil. Ia menjadi bagian dari keluarga Sukarno. Ia tidak kawin. Ia tinggal, makan, dan bekerja di rumah keluarga Bung Karno. Sekalipun begitu, Sarinah tidak membayar, tidak pula mendapatkan upah.
Sarinah perempuan desa yang selalu mengajari Sukarno mencintai rakyat. Ajaran-ajarannya bergulir setiap pagi, bersamaan Sarinah memasak di gubuk kecil yang berfungsi sebagai dapur, di dekat rumah. Sukarno selalu duduk di samping Sarinah. Pada saat-saat seperti itulah Sarinah berpidato, “Karno, pertama engkau harus mencintai ibumu. Kemudian, kamu harus mencintai rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya.”
Kini kata-kata Sarinah tak terdengar lagi, tak ada pula yang mencatatnya dan mengabarkannya kepada yang lain. Sementara Boneka Dakocan sepanjang hari, siang dan malam tampil di media massa, disanjung-sanjung dan dipuja-puja. Bahkan jalan-jalan penuh dengan papan reklame dan iklan-iklan namanya.
Jika Sarina masih hidup tentulah ia akan menangis. Anak-anak bangsa yang amat dicintainya tengah dipimpin oleh para Boneka Dakocan, yang setiap hari didandani agar terlihat modis, gagah, ganteng, seolah-olah “pinter” dan cerdas.
Sarinah tentu pula akan sangat bersedih karena nasib dan masa depan generasi penerus negeri ini telah digadai oleh para pemimpin negeri kepada imperialisme global, sebuah persekutuan antara perusahaan multinasional, lembaga keuangan dan pemerintahan negara maju untuk terus menghisap kekayaan negara-negara miskin.*
awan ruru
[1] Disarikan oleh daeng dari ngobrol-ngobrol dengan seniman pejuang Frangky Sahilatua di Galeri Publik Institute for Global Justice -IGJ.
Januari 10, 2010 at 11:42 am
Bagi saya “SARINAH” adalah Inspirasi, wanita sederhana hanya rakyat jelata tapi dengan keihklasannya, dengan kasihsayangnya ia mampu membesarkan “SOEKARNO” seorang yang besar dan punya kiprah yang besar juga atas negara ini.
Tentang “SARINAH PERGI KE PASAR”, memang miris terdengar tapi setidaknya memberikan pelajaran bagi kita bahwa melihat seseorang tidaklah dari sisi starata sosial tapi dari apa yang telah ia lakukan (dedikasinya).
April 27, 2011 at 9:15 am
dimana nuih bukunya dijualnya???…
Juni 29, 2011 at 8:04 pm
izin menguti ya mas, terima kasih :))
Juni 29, 2011 at 8:04 pm
izin mengutip ya mas, terima kasih :))
Januari 15, 2016 at 3:06 pm
Bukannya Sarimin, ya? Di daerah mana topeng monyetnya dinamai Sarinah? Baru tahu.