Niat kelompok usaha Rajawali memiliki maskapai penerbangan akhirnya akan kesampaian. Pekan pertama April tahun ini, kelompok usaha itu telah disetujui oleh pemerintah Kamboja untuk merintis perusahaan maskapai penerbangan baru di negara tersebut. Sudah tak berminat membeli Garuda Indonesia?

oleh Rusdi Mathari

GAGAL MEMINANG GARUDA INDONESIA, RAJAWALI GRUP mengalihkan perhatian kepada negara tetangga Kamboja. Di negara itu, Rajawali disambut dengan tangan terbuka dan diberikan kesempatan bisnis untuk merintis sebuah perusahaan maskapai penerbangan baru milik negara Kamboja. Kontraknya telah diteken oleh bos besar Rajawali Grup, Peter Sondakh dengan Wakil PM dan Menteri Penerbangan Sipil Kerajaan Kamboja, Sok An, pekan pertama April tahun ini. Mengutip kantor berita The Associated Press, oleh situs penerbangan aero-news.net ditulis, Sok An menyebut kerja sama dengan mitranya dari Indonesia itu sebagai sesuatu yang membanggakan bagi negaranya.

Ada beberapa poin penting yang disepakati oleh Rajawali dan pemerintah Kamboja. Pertama, kepemilikan saham perusahaan dibagi ke dalam porsi 51-49 masing-masing untuk pemerintah Kamboja dan Rajawali. Kedua, untuk pembagian laba perusahaan Rajawali berhak mengantongi 70 persen dari laba potensial yang mungkin diperoleh di masa mendatang. Ketiga, dalam hal kemungkinan terjadinya kebangkrutan atau kegagalan dalam pembayaran utang, pihak Rajawali dan pemerintah Kamboja bersedia menanggung bersama dengan porsi yang juga sama besar. Sok Ak mengistilahkan sebagai “will be borne by all parties.” Untuk kesepakatan dengan pemerintah Kamboja itu, Rajawali menggandeng PT Ancora International.

Sejak tujuh tahun lalu negara Kamboja tidak memiliki maskapai penerbangan nasional, menyusul bangkrutnya maskapai negara itu, Royal Air Cambodia. Praktis sejak itu, semua penerbangan dari dan ke Kamboja hanya diwakili oleh maskapai-maskapai asing, terutama dari Thailand dan Vietnam. Di tengah meningkatnya arus kunjungan wisata ke Kamboja, keadaan semacam itu tak menguntungkan bagi pemerintah Kamboja, tentu saja. Dalam periode Januari-September tahun lalu, misalnya, Kamboja kedatangan 1,4 juta turis. Jumlah itu meningkat 19 persen dibanding periode yang sama pada 2006. Taksiran sementara, jumlah turis yang berkunjung ke Kamboja pada 2007 mencapai 1,7 juta orang. Potensi semacam itulah yang kemudian membuat pemerintah Kamboja menyetujui untuk membangun maskapai penerbangan yang baru, yang namanya belum ditentukan—yang diajukan oleh Rajawali.

Rajawali merupakan anak perusahaan dari PT Rajawali Corporation. Saham dari induk perusahaan ini dimiliki oleh PT Danaswara Utama 99,99 persen dan Peter Sondakh 0,01 persen. Saham Danaswara Utama dimiliki oleh Peter Sondakh 63,4 persen dan Claudia 36,6 persen. Bidang bisnis yang dimasuki kelompok usaha ini meliputi industri jasa keuangan (bank dan multifinance), rokok, perkebunan, telekomunikasi, media, semen, perhotelan, gedung perkantoran, resort, pertambangan, transportasi dan pariwisata.

Pada masa krisis ekonomi 1997/1998, perusahaan-perusahaan di bawah holding ini termasuk yang paling parah terkena dampak. Berdasarkan laporan keuangan internal, aset Rajawali Corporation pada 31 Juli 1999 adalah Rp 1,6 triliun dengan total kewajiban di bank kurang lebih Rp 1,4 triliun dan modal negatif mencapai kurang lebih Rp 395 miliar. Belakangan kelompok usaha ini seolah pulih dari lilitan keuangan dan banyak melakukan ekspansi usaha.

Di semen, Rajawali memiliki saham 24,9 persen di PT Semen Gresik Tbk. Rajawali masuk ke Semen Gresik pada Mei 2006 menyusul keputusan Mexican Cement Maker (Cemex) yang enggan memperpanjang perselisihan dengan pemerintah Indonesia tentang pilihan wakil yang ditempatkan dalam perusahaan tersebut. Sumber dana Rajawali ketika membeli Semen Gresik berasal dari penjualan sebagian saham perusahaan itu (40 persen) di PT Excelcomindo Pratama Tbk. Perusahaan yang disebut terakhir, sebelumnya dimiliki oleh Rajawali 100 persen melalui dua anak perusahaannya Verison dan Mitsui & Co. Ltd.

Saham Verison (23,1 persen) dan Mitsui (4,2 persen) di Exelcomindo itulah yang dibeli oleh Telekom Malaysia seharga US$ 314 juta pada akhir Desember 2004. Dari penjualan saham operator seluler tersebut, Rajawali meraup dana segar sekitar US$ 300-400 juta sementara harga jual Semen Gresik pada waktu sekitar US$ 337 juta. Semen Gresik, produsen semen terbesar di Indonesia dengan penguasaan pasar hingga 45 persen.

Awal tahun ini, Rajawali membelanjakan modal hingga US$ 200 juta untuk ekspansi di sektor perkebunan kelapa sawit, yang terletak Kalimantan (150 ribu hektare) dan di Papua (50 ribu hektare). Tahun ini perusahaan itu juga berencana melakukan ekspansi di sektor properti dan pertambangan.

Nama Rajawali pernah terkenal, karena pernah mengajukan diri untuk membeli Garuda Indonesia, maskapai milik negara Republik Indonesia. Pengajuan diri Rajawali itu merespons pengumuman pemerintah untuk melakukan divestasi atas sejumlah BUMN, termasuk Garuda yang keuangannya dipenuhi dengan utang. Hingga akhir tahun lalu, utang Garuda masih tercatat sekitar US$ 748 juta atau tak berkurang secara drastis dari jumlah utangnya pada empat tahun lalu. Sebagian besar utang itu adalah pinjaman dari European Export Credit Agency sebesar US$ 475 juta dan Export Development Canada sebesar US$ 12 juta. Sisanya adalah utang kepada Bank Mandiri, BNI, BRI, Angkasa Pura I dan II, dan Pertamina. Utang besar itulah yang harus diselesaikan pembayarannya oleh Garuda pada tahun ini melalui proposal restrukturisasi yang baru. Targetnya adalah memundurkan jadwal pembayaran dari semula tahun 2010 menjadi lebih panjang lagi.

Karena kondisi keuangan Garuda yang berwarna merah itu, pemerintah pada akhir 2006 memasukkan Garuda ke dalam barisan BUMN yang harus didivestasikan. Semula pemerintah hanya merencanakan atau mengharapkan bisa melepas sahamnya sebesar 45 persen. Porsi saham sebanyak itu jika dijual diperkirakan akan cukup menghasilkan dana sebesar US$ 300 juta. Pemerintah pun bersiap menyuntikkan dana Rp 1 triliun, sebagai tambahan untuk memperbaiki kinerja Garuda. Munculnya rencana penjualan saham pemerintah di Garuda pada awal 2007, lantas mengundang sejumlah investor untuk menawarkan diri.

Dari luar negeri ada maskapai penerbangan Jerman Lufthansa, maskapai penerbangan Thailand Thai Airways dan Texas Pacific Group. Perusahaan yang disebut terakhir, awal tahun ini telah menyatakan kesediaan untuk menyuntikkan dana tambahan US$ 18 juta dari harga yang disepakati sebesar US$ 195 juta untuk mengakuisisi 71,6 persen saham Recapital Advisors di PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional. Texas akan mengambil alih BTN melalui anak perusahaan mereka yaitu Texas Pacific Group Nusantara dan North Star.

Dari dalam negeri muncul peminat Keluarga Sampoerna dan Rajawali. Pada 14 Juni 2007, Rajawali menarik surat penawaran untuk membeli Garuda dari pemerintah akibat perubahan sikap pemerintah yang menunda penjualan Garuda itu. Bertempat di Phnom Penh, Vietnema, November tahun silam Rajawali lalu meneken kontrak dengan PT Ancora Internasional untuk rencana membangun perusahaan penerbangan milik pemerintah Kamboja. Hasilnya pemerintah Kamboja setuju dengan penawaran Rajawali dan Ancora. Di Indonesia, jejak Ancora antara lain bisa diketahui dari beberapa turnamen golf yang disponsori oleh Ancora Sport International. CEO Ancora Sport adalah Patrick Young dengan jajaran direksi Irfan Hamid, Nia Adriana, Silvester Bayu Baskoro, Mutiara Fitriani, Sri Wardhani Scott Morrissey, dan Andrew Ratcliffe.

Dalam hal penundaan divestasi Garuda, dibutuhkan waktu setahun untuk menata sejumlah syarat yang diperlukan agar Garuda benar-benar siap dijual. Jika hitungan setahun itu dimulai sejak akhir tahun lalu, maka pada akhir tahun ini Garuda mestinya sudah bisa diharapkan selesai menata syarat-syarat penjualan itu. Lalu ketika masa itu tiba, akankah Rajawali kembali membangkitkan nafsunya untuk membeli Garuda dan kali ini dengan membawa catatan keberhasilan membangun maskapai penerbangan Kamboja, yang dilakukan bersama dengan Ancora itu?