Proyek Giant Sea Wall senilai Rp 500 triliun sedang berlangsung di Teluk Jakarta. Satu perusahaan bahkan sudah memasarkan hunian di pulau buatan yang akan dibuat. Inikah contoh kesekian tentang bagaimana uang, ambisi, dan kekuasaan kembali bersekutu seperti halnya proyek Pantai Indah Kapuk dan Ciputra di zaman Orde Baru?
oleh Rusdi Mathari
Monyet-monyet tak akan berkurang. Saya akan lebih banyak menanam bakau, ketapang … Jika kelak kerusakan lingkungan terbukti, saya siap dihadapkan ke meja hijau. Saya mempertaruhkan segalanya: nama baik, moral, bank guarantee.
Kata-kata itu diucapkan oleh Ciputra menjawab pertanyaan wartawan majalah Tempo tentang dampak buruk proyek reklamasi Pantai Indah Kapuk atau PIK. Itulah proyek bisnis hunian elite di bibir pesisir Jakarta yang meluncur dengan garansi tak akan merusak lingkungan, dan Ciputra adalah penggagas dan pemilik proyek.
Semula, Ciputra menjanjikan lahan pengganti dan pembangunan hutan lindung, tapi hingga Tempo menurunkan tulisan di rubrik “Investigasi” 1 April 2002 atau 20 tahun sesudah hutan dan pantai Kapuk direklamasi, Ciputra tidak memenuhi janjinya. Proyek PIK yang direncanakan ramah lingkungan malah diduga menjadi penyebab banjir dan biang keladi kerusakan lingkungan. Tempo menulis “PIK adalah contoh bagaimana uang, ambisi, dan kekuasaan bersekutu di zaman Orde Baru.”
Kini 35 tahun sudah janji-janji Ciputra menguap, tapi proyek reklamasi yang jauh lebih besar dari PIK sedang dikerjakan di sepanjang pesisir Jakarta dan sekitarnya: proyek Giant Sea Wall. Tanggul raksasa yang diperkenalkan sejak zaman Fauzi Bowo alias Foke menjabat gubernur. Idenya berasal dari seorang konsultan Belanda, dan sudah masuk ke Rencana Tata Ruang Wilayah DKI [2010-2030].
Proyek ini semula disebut Sea Dike Plan dan di era Jokowi jadi gubernur menjadi Giant Sea Wall, tembok laut besar sepanjang kurang-lebih 30 kilometer. Membentang dari pesisir Bekasi di timur Jakarta hingga pesisir Tangerang di sebelah barat, Giant Sea Wall konon akan menjadi tanggul terbesar di dunia dan menjadi penampungan air dari 13 sungai yang nanti bisa diubah menjadi sumber air bersih. Tujuannya: menangkal pasang air laut dan mengatasi banjir Jakarta hingga 1.000 tahun ke depan.
Saat jadi gubernur, Jokowi menyebut proyek Giant Sea Wall banyak diminati swasta karena dianggap menarik secara bisnis dan dia benar, sebab proyek ini kemudian dikembangkan menjadi proyek terpadu untuk membuat 17 pulau buatan, yang di atasnya akan dibangun perumahan, hotel, pusat bisnis, belanja dan lain-lain. Sampai akhir tahun lalu, setidaknya ada 12 perusahaan yang tercatat akan terlibat di proyek ini.
Keduabelas perusahaan adalah PT Muara Wisesa Samudera [PT Agung Podomoro Group], Salim Group Co., PT Agung Sedayu Group, PT Pembangunan Jaya Ancol, PT Intiland Development, PT Kapuk Naga Indah, PT Taman Harapan Indah, PT Jakarta Propertindo, PT Pelindo, PT Jaladri Eka Paksi, PT Manggala Krida Yudha, dan satu perusahaan dari negara Cina, Fuhai Group.
Sebagian besar dari perusahaan yang terlibat adalah raksasa proyek properti. Agung Podomoro misalnya, dikenal karena sejumlah proyek perumahan elit dan pusat belanja mentereng di Jakarta, Bandung, Bali, Kalimantan, Medan dan Nias. Berasal ari konsorsium tujuh pengembang, Agung Podomoro didirikan oleh Salimin Prawiro Sumarto dan Anton Haliman.
Kelompok usaha yang kini dikendalikan Trihatma Kusuma Haliman [anak Anton], bulan lalu diptotes oleh ribuan petani Margamulya, Mulyasari, Wanakerta di Karawang karena dituding telah menguasai tanah para petani seluas 350 hektare. Protes mereka dihadapi oleh oleh ribuan aparat bersenjata. Delapan warga ditangkap, sembilan warga mengalami luka-luka serius pada bentrok pertama pertengahan tahun lalu. Februari silam, bentrok kembali terjadi, tapi para petani tampaknya harus kehilangan lahan mereka.
Raksasa lain yang terlibat di Giant Sea Wall adalah Sedayu Group milik Sugianto Kusumo alias Aguan. Selain dikenal sebagai relawan Yayasan Buddha Tzu Zi, nama Aguan dikenal karena membangun Sudirman Central Busines District [SCBD] persis di belakang Polda Metro Jaya, tanpa modal pinjaman dari bank. Proyek itu dibangun oleh PT Jakarta Internasional Hotel and Development, salah satu perusahaan milik Aguan yang berkongsi dengan Tommy Winata. Nama yang disebut terakhir adalah pemilik PT Tirta Wahana Bali International, yang menggarap proyek reklamasi di Tanjung Benoa, Bali yang diprotes banyak aktivis lingkungan dan warga Bali.
Satu nama perusahaan yang terlibat di proyek Giant Sea Wall yang tidak terdeteksi di Google atau situs Bloomberg adalah PT Jaladri Eka Paksi. Setiap kali mencantumkan namanya, yang keluar adalah nama PT Jaladri Nusantara. Prabowo Subianto tercatat sebagai CEO di perusahaan ini , tapi Jaladri Nusantara bergerak di usaha perikanan, bukan di bidang properti.
Perusahaan-perusahaan itulah yang diberi kesempatan membuat 17 pulau buatan, yang setiap pulaunya saling terhubung dan masing-masing pulau akan terhubung pula ke daratan Jakarta, Bekasi atau Tangerang. Konsepnya meniru proyek Palm Islands di Dubai, atau proyek reklamasi di Singapura dan Hon Kong. Caranya: lewat reklamasi atau menguruk laut.
Untuk keperluan itu, setiap perusahaan bermitra dengan perusahaan lainnya menggarap areal tertentu yang sudah ditentukan. Lewat anak perusahaan PT Tangerang City, Salim mendapat jatah melakukan reklamasi seluas 9.000 hektare di sepanjang pesisir utara Tangerang. Mulai dari pantai Dadap, Kosambi, hingga Kronjo.
Tangerang City sebelumnya membangun pusat belanja bernama Tangerang City di Tangerang, yang mengusur pasar tradisional Cikokol seluas dua hektare. Untuk proyek Giant Sea Wall, Tangerang City berkongsi dengan Agung Sedayu, yang akan mengembangkan kawasan yang sudah direklamasi.
Pembangunan Jaya Ancol menggarap reklamasi di pesisir Ancol seluas 1.700 hektare bersama Kapuk Naga Indah. Intiland milik Keluarga Gondokusumo dan menempatkan Cosmas Batubara [eks menteri perumahan rakyat di zaman Soeharto] sebagai komisaris utama, menggandeng Taman Harapan Indah. Intiland adalah pengembang yang membangun hunian mewah Pantai Mutiara, sementara Taman Harapan adalah anak perusahaan Intiland.
Lalu, Sedayu Group membawa PT Capitol Nusantara Indonesia. Nama yang disebut terakhir adalah perusahaan patungan dua kelompok usaha dari Indonesia dan Singapura: PT Agus Suta Line yang berpusat dan beroperasi di Samarinda, Kalimantan Timur, dan Ang Sin Liu Marine Holding Ltd. yang berpusat dan beroperasi di Singapura.
Sesuai rencana tata ruang, proyek Giant Sea Wall awalnya direncanakan dibangun selama 10 tahun dimulai 2020, tapi di zaman Jokowi jadi gubernur, pengerjaan proyeknya dipercepat dan peletakan batu pertamanya sudah dimulai Oktober tahun lalu. Kelompok usaha seperti Agung Podomoro bahkan segera memulai pengurukan karena mendaku sudah mengantongi izin dari Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dan itulah yang menimbulkan kisruh.
Awal Februari silam, Kementerian Perikanan dan Kelautan menuding Ahok melanggar aturan pemberian izin reklamasi. Ahok mengaku hanya melanjutkan izin reklamasi yang sudah dikeluarkan pendahulunya yaitu Foke tapi Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Sudirman Saad mengungkapkan, izin reklamasi untuk Muara Wisesa [Agung Podomoro] justru diterbitkan di zaman Ahok dan karena itu, Ahok tidak bisa melempar tanggung jawab ke Foke.
Tentu, kementerian di bawah Susi Pudjiastuti punya alasan mempersoalkan izin reklamasi yang dikeluarkan oleh Ahok. Pertama, karena pemerintah belum pernah mengeluarkan izin reklamasi untuk membuat 17 pulau di Teluk Jakarta. Izin reklamasi untuk Muara Wisesa misalnya, sebetulnya masih dalam proses pengkajian. Masih status quo.
Kedua, karena seperti kota-kota besar lainnya di Indonesia, Jakarta adalah kawasan strategis nasional. Wilayah lautnya memiliki banyak aspek kepentingan keamanan, kegiatan ekonomi, sumber daya alam hingga fungsi lingkungan hidup.
Ketiga, karena di bawah laut Jakarta ada banyak pipa kabel yang membentang dari tengah laut Jawa ke Muara Karang, dan ditarik ke Tanjung Perak dan Tanjung Priok. Bila reklamasi dilakukan maka dipastikan akan menimpa pipa dan hal itu tentu berbahaya.
Dan memang, sejak rencana Giant Sea Wall bocor ke publik, proyek itu diprotes aktivis lingkungan dan mengundang kontroversi. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan [Kiara] menuding proyek Giant Sea Wall menyalahi peraturan perundang-undangan karena tidak berbasis kajian lingkungan hidup strategis, analisa dampak lingkungan berikut perizinannya. Kalau diteruskan, Giant Sea Wall dinilai akan mendatangkan kerusakan hutan mangrove , terumbu karang, abrasi di pesisir , mengancam kehidupan nelayan dan sebagainya.
Dari ITB muncul suara, Giant Sea Wall bukan jalan keluar mengatasi banjir dan penurunan tanah di Jakarta. Pernyataan itu dilontarkan oleh Muslim Muin PhD., ahli kelautan ITB dan dimuat di situs ITB.ac.id. Dalam hitungan Muslim, Giant Sea Wall justru memperparah banjir di Ibukota, mempercepat pendangkalan sungai, merusak lingkungan laut dan mengancam perikanan lokal, selain menimbulkan masalah sosial.
Sebagai gantinya, esk ketua Kelompok Keahlian Teknik Kelautan itu menawarkan River Dike atau pembuatan tanggul sepanjang pantai pada daerah yang mengalami penurunan tanah dan mempertinggi tanggul sungai dengan konstruksi menancapkan tiang-tiang ke dalam tanah terlebih dahulu. Dengan demikian, andai terjadi penurunan tanah, tanggul tetap akan berdiri.
Muslim mengkuatirkan, bila proyek Giant Sea Wall diteruskan, dampaknya akan terlalu besar. Antara lain harus menutup dua pelabuhan ikan Nusantara, memindahkan puluhan ribu nelayan, selain harus menutup PLTU Muara Karang karena aliran air pendingin tidak lagi tersedia. Andai PLTU itu dipertahankan, maka biaya operasionalnya akan sangat besar sebab memerlukan pompa yang berjalan terus. Dia memperkirakan, diperlukan dana paling sedikit Rp 30 triliun untuk membangun pembangkit listrik yang setara PLTU Muara Karang.
Mungkin karena kontroversi itu, pemerintah lantas mengisyaratkan akan mengkaji ulang proyek Giant Sea Wall. Hal itu terungkap dari hasil rapat yang melibatkan sejumlah menteri dan tiga gubernur [Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat], 9 Desember tahun lalu. Pemerintah hanya akan melanjutkan proyek tahap pertama yaitu pembuatan tanggul. Selebihnya, akan dikaji secara menyeluruh dari hulu sampai hilir.
Tapi hampir sebulan kemudian, Ahok malah meneken SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 pada 23 Desember 2014. Beleid itu memberikan izin pelaksanaan reklamasi Pulau G [Pulau Pluit City] kepada Muara Wisesa, dan itulah yang dipersoalkan oleh Kementerian Perikanan dan Kelautan.
Sudirman menjelaskan, pemberian izin reklamasi bukanlah kewenangan kepala daerah seperti Ahok melainkan kewenangan kementerian, tapi Ahok [seperti biasa] tak mau kalah. Dia menyerahkan masalah izin reklamasi untuk diselesaikan Presiden Jokowi. Belum ada kabar tentang reaksi Jokowi menanggapi kisruh perizinan reklamasi pesisir Jakarta antara Ahok dengan kementerian di bawah Susi, tapi proyek Giant Sea Wall benar-benar proyek raksasa.
Sumber-sumber tidak resmi menyebut proyek itu akan menelan biaya Rp 300 triliun, tapi angka yang sebetulnya akan lebih mencengangkan. Semasa jadi menteri di era pemerintahan SBY, Chairul Tanjung menyebut ongkos untuk proyek Giant Sea Wall bisa mencapai Rp 500 triliun, angka yang hampir menyamai dana obligasi BLBI. Separuh ongkosnya akan diambil dari uang negara melalui Kementerian PU dan Pemda DKI, dan sisanya akan ditanggung oleh investor swasta, 12 perusahaan itu.
Muslim ahli kelautan ITB itu menduga, banyaknya investor yang bersemangat terlibat di proyek Giant Sea Wall karena ada proyek tembok laut raksasa yang justru bisa menahan banjir dari daratan Jakarta. Abdul Halim, Sekjen Kiara menuding Giant Sea Wall adalah proyek yang hanya berpihak kepada pengusaha dan untuk melindungi proyek-proyek properti yang dibangun di pesisir Jakarta. Dalam catatan Kiara, sedikitnya ada 16.855 nelayan berikut keluarganya bakal terusir bila Giant Sea Wall dibangun, sementara sampai saat ini, belum ada perencanaan tentang nasib mereka. “Jika Teluk Jakarta dibendung, ke mana nelayan akan mencari ikan?” demikian Halim, kepada wartawan mongabay.co.id.
Tuduhan Halim tentu harus dibuktikan, tapi di situs reklamasi.com disebutkan, Agung Podomoro sudah mengeluarkan daftar harga hunian yang akan dibangun di atas Pulau Pluit City seluas 160 hektare. Antara lain rumah seharga Rp 3 miliar hingga Rp 6 miliar, dan ruko seharga Rp 7 miliar hingga Rp 9 miliar. Agung Podomoro bahkan sudah memasarkan hunian-hunian itu sejak awal tahun ini kepada 100 ribuan konsumen.
Maka sambil menunggu apakah proyek Giant Sea Wall akan diteruskan atau dibatalkan oleh pemerintahan Jokowi, orang-orang bisa mengenang monyet yang sudah lama hilang, bakau dan ketapang yang semakin susah ditemukan di hutan Kapuk akibat proyek reklamasi PIK, seperti ditulis wartawan majalah Tempo hampir 13 tahun lalu. Atau inikah contoh proyek yang kesekian, tentang bagaimana uang, ambisi, dan kekuasaan kembali bersekutu seperti halnya dulu PIK dan Ciputra di zaman Orde Baru?
Maret 10, 2015 at 6:31 pm
saya bukan ahli kelautan om. 🙂
Maret 11, 2015 at 9:02 am
Karena saya nggak begitu paham soal efek reklamasi lbh baik saya komentari hal lain di artikel ini.
Jaladri eka paksi? Saya meragukan kredibilitas perusahaan tersebut. Mengapa? Karena tahun lalu perusahaan tsb mendapat proyek untuk menggarap jalan di depan rumah saya. Hasilnya? Sangat mengecewakan.
April 4, 2016 at 11:27 am
wkkkk
April 9, 2016 at 12:26 pm
bisa diperjelas?
Maret 11, 2015 at 11:15 am
indonesa kyk kurang pulau aja ya?!reklamasi terus program manusia ini..mbok sesekali bikin proyek yg bikin orang miskin bisa makan..ealah!ngelus perut buncit kurang gizi.
November 19, 2015 at 5:16 am
Melihat padatnya ibu kota? Boleh merencanakan reklamasi, kalau memang tata kota sudah semrawut, memang reklamasi berdampak pada ekologi, menurut saya kebijakan ini pro dan kontra, mengapa PRO? karena dengan reklamasi pantai, membuat tata kota lebih rapih, menumbuhkan lapangan kerjaan baru, meningkatnya devisa negara dengan laju perekonomian di tempat yang akan direklamasi, kenapa kontra? saya anak kelautan saya mengerti betul, dampak reklamasi tidak main” , daerah sebelah yang akan di reklamasi gampang tenggelam, karena perubahan arus laut dan garis pantai, tapi saya yakin program reklamasi pantai, itu mega proyek ngga mungkin belum ada studi AMDAL (Analisa Dampak Lingkungan) dan saya yakin pemerintah sudah mempersiapkan rencana utk mengatasi dampak lingkungannya, kalau tidak muncul masalah baru yaitu Banjir ROB, penurunan mata pencaharian nelayan, karena berpindahnya daerah fishing ground ke tengah laut 🙂
November 23, 2015 at 9:49 am
Mas Rifky, seperti tertulis di kolom di atas, Ciputra saja yang swasta tidak menepati janjinya untuk merecovery PIK dan dia tidak pernah dipenjara…maka sebaiknya kita tunggu dulu Ciputra mempertanggungjawabkan dengan di penjarakan dulu . Kalau Ciputra sudah dipenjara, baru orang akan berpikir seribu kali untuk mereklamasi Jakarta…spt mas Rifky ini.. Yang namanya pengusaha Indonesia sudah terkenal sebagai penyuap pejabat pemerintah dan sebagai perampok negara untuk apa saja yang bisa dirampok. Maka dari itu peluang terjadinya Kerusuhan 1998 kemungkinan besar akan terjadi lagi, karena skg ini rakyat sudah muak dengan Pengusaha2 PERAMPOK dan Pemerintah yg KORUP. Siap-siaplah!!!!!
Maret 11, 2016 at 8:41 am
limandriv, ternyata anda masih terpaku di romantisme rasialis, dengan ancaman peristiwa kerusuhan 1998, dan kemuakan rakyat, sedang kenyataannya rakyat yang tidak mau bergerak dari kehidupan konvensional dan tradisional, menuju kehidupan dan teknologi yang lebih modern, kalo semua gagal, selalu memakai jargon ” KAMI RAKYAT KECIL YANG DIZOLIMI OLEH PENGUASA DAN PENGUSAHA CINA “, apakah itu yang selalu mau dijadikan issue, sehingga negara Indonesia gagal untuk melakukan pembangunan, bahkan para akademisi pun selalu terjebak pada hal-hak tradisional, sehingga sumbangan mereka untuk kemajuan teknologi terhambat dan berhenti.
Maret 11, 2016 at 4:02 pm
Kalo gitu gimana bang liman solusi biar jakarta ga tenggelam? Nunggu sampai ada solusi terbaik mungkin jakarta udah tenggelam
April 1, 2016 at 10:24 pm
Baca ini aja
http://www.beritasatu.com/hukum/357870-kpk-tetapkan-presdir-agung-podomoro-land-tersangka-suap-dprd-dki.html
Maret 11, 2015 at 2:14 pm
mantap gan ulasannya 😀
Maret 11, 2015 at 2:51 pm
Laporan seperti ini yg gak banyak diketahui public, apakah media mainstream juga sudah “silau” dengan fulus para cukong2 ini? Jadi…coba Lah berfikir sejenak jgn langsung membela mati2an idola kamu seperti Gubernur DKI sekarang. Cukup Lah bukti kerusakan dan dapat buruk dari reklamasi Pikir bagi Jakarta, apakah kalian masih buta?!? Itu iklan Mega Pluit City sudah terpampang besar di jalan, terutama bagi yg tinggal di daerah Bogor,Cibubur, Depok dan sekitar nya pas lewat tol Jagorawi menuju Til Dalam Kota, di depan kantor Hq Jasa Marga jelas Iklan besar Agung Podomoro Mega Pluit City dipasarkan. So ganti tagar kalian SaveAhok ke #SaveJakarta. Thanks sudah mencerahkan
Maret 11, 2016 at 3:58 pm
Kalo gitu gimana bang solusinya buat jakarta yg semakin lama bakal tenggelam ini? Nunggu sampe ketemu solusi terbaik? Mungkin jakarta udah tenggelam duluan
Maret 14, 2016 at 1:19 pm
Lihat Belanda, negaranya lebih rendah dari permukaan laut, apakah mereka mereklamasi lautnya? Lebih baik diperangkap mulut harimau dari pada diperangkap kebodohan.
Maret 12, 2015 at 3:42 am
Setuju dgn proyek ini. Mesin penyedot lumpur, yang dibawa 17 sungai ditengah kota Jakarta, dibangun, sehingga, lumpur tdk membuat pendangkalan di sungai2 tersebut. Lumpur itu disedot, sehingga , endapan yang disedot, membuat peninggian tanah di sekitar pulau2 buatan, menambah bibir pantai. Tanam bakau diatas lumpur yang tertimbun. sekeliling pulau2, ada hutan bakau.
Maret 12, 2015 at 7:25 am
Kalau gak salah pernah baca kalau permukaan tanah Jakarta turun 10cm per tahun. Kalau gak dibuat tanggul bisa-bisa dimasa depan Jakarta tenggelam. Tapi itu kalau gak salah ya. Saya gak punya referensi juga.
Maret 12, 2015 at 9:06 am
lebih baik membangun lap pekerjaan untuk pengangguran nd mikir pendidikan untuk generasi bangsa, YAKUSA
Maret 12, 2015 at 10:30 am
Rame2 penghijauan aj biar g’ bangun di laut
http://naqycom.blogspot.com/2015/03/bibit-gaharu-cara-budidaya-gaharu-antra.html
Maret 12, 2015 at 1:06 pm
bagaimana dg singapur yg banyak bikin pulau hasil reklamasi?
Maret 12, 2015 at 3:50 pm
saatnya konsentrasi pindah ke luar jawa…
Maret 13, 2015 at 1:17 am
Judulnya agak nakal, ulasan yg objektif,, tulisan mudah dicerna. Mencerahkan
Maret 13, 2015 at 10:07 pm
Artikel yang baik. Sebagaimana lazimnya. Ada udang jumbo busuk dibalik tingkah suka teriak dan marah-marah cari perhatian melalui media mainstream dan tagar#savesave-an di socmed. Dapat salam tuh.. dari re~polusi mental-mentul. Bagi jakarta yang kepingin nyadar, pasti ada jalan mengatasi hingar bingar kebusukan yang sekarang sedang dirayakan secara membabi buta di tahun kambing hitam ini, dan entah nyampe kapan..
Bila jakarta udah kagak bisa diselamatin, biarin aje tenggelam bersama ambisi modal dan kuasa busuk para politisi dan para penguasa-penggarong dengan seluruh tipu dayanya sekarang!! Nusantara kagak nape nape tuh tanpa jakarta. Kagak ngaruh tauuuk..
Maret 16, 2015 at 12:33 am
Apik bung. Paripurna. Kalau ada tulisan yg ingin menyangkal, rasanya lumayan sulit untuk mengimbanginya.
Maret 16, 2015 at 8:56 am
Mantap..!!
Banyak orang yang disilaiukan oleh pemberitaan massive yang isinya cuma mendorong opini masyarakat untuk bersimpati terhadap political idol rekaan media massa.
Maret 16, 2015 at 9:04 pm
Singapura aja reklamasi, pasir dari Indonesia, kenapa justru di Indonesia jadi masalah? Pengembang diberi izin karena dapat persetujuan AMDAL. Artinya, segala yang terburuk sudah diperkirakan. Mereka yang tidak setuju dengan proyek ini adalah mereka yang iri, karena pulau ini konsumennya orang kaya. Justru, kalau kita lihat dengan adanya proyek seperti ini harga tanah jakarta yang kemahalan dapat dijangkau orang yang kurang mampu karena persediaan tanah. Saya tidak membela siapapun, netral, tapi kita mesti mikir, masa giant sea wall yang dibuat biar jakarta enggak tenggelam malah dituduh bikin jakarta tenggelam?? sungguh aneh bukan
Agustus 23, 2015 at 5:58 pm
Lo baca aja belom bisa. udah komentar beloon. sungguh aneh bukan
November 19, 2015 at 5:20 am
baca pengertian AMDAL dulu gih, boleh sih mencerna berita, tapi berita terkadang ada yang mblunder, ada benarnya kok pernyataan agak konak:)
Maret 30, 2015 at 2:48 am
wah berita ini kurang terexpose yah..ketutup sama berita begal,ini nih yang mesti dibahas sampai tuntas,apa media masa ga berani liput mega proyek para cukong2?,
Maret 15, 2016 at 3:38 pm
Bapak lupa yah …!!! kan media punya dia semua…. wartawan dia juga yang memberi penghidupan..
April 10, 2015 at 4:22 pm
silau dan rudet ruwetnya dunia….. lifes goes on, kekelaman hati pun larut dalam gelapnya lautan dan deru ombak. istiqomah sendiri dalam doa karena tenaga habi terkuras dan terbentur kekuasaan.
April 13, 2015 at 1:04 pm
Jadi berfikir, lantas rakyat kecil makan apa?
April 29, 2015 at 2:58 pm
good
April 30, 2015 at 1:38 pm
bakal banyak buka lapangan pekerjaan neh…
hari ini terakhir!
http://goo.gl/9H1u2d
Mei 27, 2015 at 1:03 pm
Hmmm… So, Reklamasi UNTUK SIAPA?? 😦
Juli 23, 2015 at 8:04 pm
Berita ini terasa begitu “megah”, dalam kontek berita ( informasi ) hampir menyaingi kemegahan proyek itu sendiri. Jadi yg megah ini beritanya atau proyeknya ? Atau dua duanya ? Semoga benar adanya. Bahwa aku tak silau pada kemegahan. Mas Rusdi, tolong terus di update data dan pemberitaanya. Berita ini jangan hanya menjadi ( sebagai ) fragmen informasi. Saya tak ada kepentingan apa apa, selain mendukung siapapun yg berpihak pada Kebenaran…( akurasi, validitas dan tentu saja obyektivitas ). 300 – 500, atau 1000 trilyun kalau demi kemashlahatan orang banyak, kenapa tidak. Tapi kalau hawa nafsu orientasinya, saya akan berteriak; Tidaaak!!! Salaam……
Agustus 22, 2015 at 11:32 am
Lanjutannya: rupiah makin jatuh, pasar properti kolaps, developer bangkrut, minta bantuan dr pemerintah… rakyat lg yg disuruh bayar pajak buat rescue konglomerat2
Februari 7, 2016 at 12:08 am
Intinya adalah mengusir warga pribumi. Titik.
Februari 13, 2016 at 4:29 am
Yahud, hidup urbanisasi!
Maret 10, 2016 at 9:05 am
Sangat Menarik …..
Maret 10, 2016 at 9:50 am
waw, kalau memang artikel ini benar,,
April 2, 2016 at 4:41 pm
Perpect. Modernisasi dn.masy kecil semakin trpinggirkan, borjuis2 baru brdatangan, menyepak semua yg berbau kemiskinan.
April 3, 2016 at 7:47 pm
Itulah serakahnya manusia. Bukan dan tidak pernah ada istilah Alam tdk bersahabat. Longsor,banjir,semua bencana itu ulah dr tamaknya manusia.
Binatang hanya membunuh utk makan saat lapar. Namun manusia membunuh utk kesenangan. Macan,gajah sampai masuk ke perkampungan karena apa?karena tempat tinggal mereka sdh diacak2 oleh manusia.
Dan jika ada yg sedikit2 blg seperti singapura? Mnrt saya itu sangat bodoh. Seluruh dunia berebut ingin menguasai Indonesia. Bukan singapura. Krn apa kelebihan singapura? Sedang negara kita ini luar biasa kaya alamnya. Susah kalau punya mental bisanya jual doang….
April 4, 2016 at 10:37 pm
Masalah reklamasi ini, saya sdh kena tipu, dengan membeli unit disana trnyta izin dan amdal nya tdk ada, uang sdh masuk byk. Apakah ada yg bermasalah spt sya? Bagaimana solusinya
April 6, 2016 at 8:41 am
bagusin dulu yg uda ada baru pegang yg lain
April 14, 2016 at 6:28 pm
btw isu reklamasi ini sudah ada sejak dari jaman soeharto lho, bahkan sudah masuk ranah peradilan beberapa kali dan pengadilan terakhir memenangkan pihak reklamasi. dan sejak dari dulu pemprov dki ada di pihak reklamasi. jadi sekarang ya ahok tinggal ngasih ijin doang. Baca baca dulu deh Sejarah reklamasi teluk jakarta, banyak kok di internet
April 14, 2016 at 10:32 pm
Intinya adalah duit.
Yang pingin reklamasi, ingin meraup duit..
Yang gak pingin reklamasi, takut jalan duit nya terganggu..
Bisakah kita berfikir, mbok ya jangan mikir duit saja. Mikirlah fulus.
Karena dengan fulus, yang kasar jadi halus
Dengan fulus, yang akur jadi perang terus
Dengan fulus, yang hidup jadi mampus.
Just kidding lho gan, ojo marah..
Juli 6, 2016 at 10:07 am
TERIMAKASIH, BUNG RUSDI. Ada hal yang terlewat oleh publik, selain yang rajin mengutil berita dari internet, baik -pro/cons-, publik minim informasi dalam keikutsertaan pada konsultasi publik tata ruang di Jakarta, maupun kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) terhadap proyek reklamasi (setahu saya pernah ditolak KLHK, karena banyak cacat akademiknya. Juga akses terhadap partisipasi dalam penyusunan RTRW, RPJP DKI Jakarta, maupun terhadap program besar ini (bukan sekadar proyek, tapi lebih besar dari itu, karena menyangkut akusisi lahan, pemindahan manusia, kompensasi atas mata pencaharian berkelanjutan, konservasi flora dan fauna, hilangnya ruang publik (mengingat akses menjadi terbatas, pantai adalah sumberdaya milik bersama, yang dengan proyek ini terjadi privatisasi, seperti Jaya Ancolnya Ciputra) – jadi bukan sekadar program banjir, publik perlu kepastian atas apa yang telah terjadi, bagaimana memperbaiki tata kelolanya dan apa yang belum terjadi – komodifikasi sumberdaya bersama, lahan, lanskap alam menjadi milik privat atau terbatas pada orang yang berduit saja. Menolak reklamasi bukan menolak Ahok yang disebut sebagai berani berubah: tapi memang melakukan tata kelola aset sumberdaya milik bersama (dan Ahok yang berani berubah tidak bisa menyalahkan masa lalu, karena masa lalu itulah yang ingin diubah). Jakarta lebih baik adalah meningkatnya kesadaran politik warga dalam ikut serta mengambil keputusan politik (bukan hanya ikut pilkada). Semoga banyak lagi tulisan jurnalisme warga seperti ini.
Oktober 7, 2016 at 1:50 pm
layak di-bookmark, siapa tauk 20 tahun kemudian layak untuk dibagikan lagi di jejaring sosmed. salam, cak!