Betulkah kebebasan berbicara dan berekspresi seperti yang dilakukan majalah Charlie Hebdo di Prancis bisa menimbulkan sengketa dan menyulut kebencian?
oleh Rusdi Mathari
Dua orang bersenjata menyerang kantor redaksi Charlie Hebdo di Paris, Prancis hari ini, menewaskan sedikitnya 11 orang dan melukai 10 orang lainnya, BBC Inggris melaporkan. Itu adalah serangan kedua setelah November 2011, kantor majalah yang sama dilempar molotov menyusul sikap redaksi yang menempatkan Nabi Muhammad saw. sebagai pemimpin redaksi.
Penyerangan itu pantas dikutuk, tapi Charlie Hebdo adalah majalah satir, polemik dan lelucon yang menjengkelkan. Ideologi apa saja termasuk juga agama apa saja bisa dijadikan olok-olok oleh redaksi. Mereka mendefenisikan tokoh dan peristiwa apa saja untuk dijadikan bahan tertawaan dan sinisme. Di Amerika Serikat, ada TheOnion.com, situs yang juga menyebarkan satir.
Sebelum menempatkan Nabi Muhammad sebagai pemimpin redaksi, Charlie Hebdo pernah menampilkan Yesus sebagai sosok gay yang tak berdaya di tiang salib. Ketika ramai kasus pedofil seorang pastur di Irlandia lima tahun lalu, Charlie Hebdo membuat karikatur Paus yang menyarankan seorang uskup agar membuat film pedofil itu.
Terbit kali pertama sejak Februari 1969 nama majalah ini semula adalah nama Hara-Kiri dan sejak kemunculannya sudah mendulang kontroversi. Dalam sebuah nomor terbitan November 1970, Hara-Kiri membuat laporan dengan sampul bertuliskan “Tragic Ball at Colombey, one dead.” Sampul itu dibuat tak lama setelah Presiden Prancis, Charles de Gaulle meninggal dunia 9 November 1970 di Colombey-les-Deux-Églises, 8 hari sesudah 146 orang tewas terpanggang di bar the Club Cinq-Sept yang terbakar. Hara-Kiri berusaha menyindir masyarakat dan pemerintah Prancis, yang sibuk dengan kematian de Gaulle ketimbang korban di Club Cing-Sept; tapi gara-gara itu, menteri dalam negeri Prancis kemudian membreidel Hara-Kiri.
Terbit lagi, namanya kemudian berganti Charlie Hebdo. Nama itu diambil dari nama Charlie Brown, tokoh komik Peanuts, komik pertama yang dibuat majalah ini. Sebagian orang percaya, nama baru itu adalah olok-olok terhadap panggilan atau nama kecil Charles de Gaullle.
Hingga 1991, majalah ini tak banyak dibaca orang. Charlie Hebdo baru mencuat setelah membuat banyak satir dan lelucon tentang Perang Teluk, tapi namanya mulai benar-benar menarik perhatian setahun kemudian, setelah manajemen di bawah pemimpin redaksi Philippe Val melakukan publikasi besar-besaran. Tahun itu, tiras majalah ini menembus 100 ribu eksemplar, dan sejak itu Charlie Hebdo tak berhenti membuat satir dan tentu saja kontroversi.
Tahun 2000, majalah ini memecat seorang wartawannya bernama Mona Chollet setelah yang bersangkutan memprotes Val yang menulis artikel “Orang Palestina Tidak Beradab.” Di edisi 9 Februari 2006, majalah ini membuat kartun Nabi Muhammad menangis di bawah judul “Muhammad kewalahan dengan fundamentalis.” Edisi itu dicetak hingga 160 ribu eksemplar dan niscaya menyulut gelombang protes termasuk mendapat tanggapan dari Presiden Jacques Chirac.
Chirac menuding Charlie Hebdo telah membuat provokasi terbuka yang bisa menyebabkan sentimen dan kemarahan. “Apapun yang bisa melukai keyakinan orang dalam keyakinan agama tertentu, seharusnya dihindari.” Masjidil Haram, Liga Dunia Muslim dan Uni Organisasi Islam Prancis [UOIF] menggugat Charlie Hebdo dan menuding sebagai majalah rasis; tapi setahun kemudian, Val dibebaskan oleh pengadilan dari segala tuntutan. Dia balik menuding penggugatnya rasis karena tidak memahami lelucon.
Dua tahun sesudahnya Val mengundurkan diri, tapi Charlie Hebdo tak berhenti membuat kehebohan. Di edisi 3 November 2011 majalah ini muncul dengan mengganti namanya menjadi La Charia Hebdo atau Hebdo syariah, dengan Nabi Muhammad sebagai peminpin redaksi. Terbitan ini merupakan reaksi terhadap kemenangan Partai Islam Ennahda di Tunisia. Di dalamnya dimuat kartun Nabi dengan tulisan “100 cambukan bila Anda tidak tertawa.”
Dalam sebuah pernyataan yang dikutip BBC, majalah ini menulis “Untuk merayakan kemenangan Partai Islamis Ennahda di Tunisia… Charlie Hebdo mengangkat [Nabi] Muhammad sebagai pemimpin redaksi dalam edisi mendatang.” Kepada kantor berita Prancis, AFP; Charb, pemimpin redaksinya mengaku majalahnya tidak bermaksud melakukan provokasi.
“Kami hanya melakukan tugas kami seperti biasa. Perbedaannya adalah, minggu ini [Nabi] Muhammad kami jadikan sampul majalah dan sangat jarang untuk menempatkannya di depan.”
Serangkaian kartun Nabi Muhammad kembali dibuat Charlie Hebdo di sepanjang edisi September 2012. Gara-gara itu, pemerintah Prancis lantas meningkatkan keamanan di banyak kedutaan mereka di 20 negara berpenduduk mayoritas muslim. Menteri Luar Negeri Laurent Fabius, saat itu mengecam Charlie Hebdo.
“Prancis, punya prinsip kebebasan berekspresi, tapi majalah ini telah menggerogoti. Dalam konteks [kartun] ini, telah membuat emosi di banyak negara muslim. Majalah ini telah melempar minyak ke atas api.”
Hari ini, dua pria bersenjata senapan AK menyerbu masuk ke kantor redaksi Charlie Hebdo dan menewaskan banyak orang. Sebelum serangan itu, lewat Twitter Charlie Hebdo menyebarkan kartun Abu Bakr al-Baghdadi, pemimpin dari kelompok yang menamakan diri sebagai Negara Islam Iraq dan Syria alias ISIS.
Serangan itu tentu memunculkan banyak kecaman dan juga ancaman. Di media sosial, banyak orang yang marah dan menghamburkan antara lain tagar “killallmuslims” atau bunuh semua muslim. Sebagian dari mereka mungkin tidak pernah membaca atau tidak pernah tahu majalah Charlie Hebdo, tapi ironi bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dari mana saja.
Saya lalu teringat lagu God Bless berjudul “Maret 89” yang antara lain berbunyi “… kebebasan berbicara menimbulkan sengketa…” Lagu itu dibuat menyusul kontroversi novel Satanic Verses [Ayat-Ayat Setan]. Salman Rusdhie penulisnya lantas dituduh menghina dan menista Nabi Muhammad, dan karena itu, Ayatullah Khomeini, pemimpin revolusi Iran waktu itu mengeluarkan fatwa mati untuk Rusdhie, fatwa yang tidak pernah dicabut hingga sekarang.
Benar, Charlie Hebdo memang menjengkelkan, tapi apakah semua itu harus dibalas dengan pembunuhan? Atau betulkah, seperti kata God Bless, kebebasan berbicara bisa menimbulkan sengketa dan menyulut kebencian?
Januari 8, 2015 at 8:19 am
Izin di Re-Blog ulang Cak
Januari 8, 2015 at 8:22 am
Reblogged this on Ahmed Tsar Blenzinky and commented:
Untuk mengadili suatu berita , perhatikan dahulu kenapa berita itu muncul. Dan tulisan ini menjelaskan latar belakang mengapa sampai terjadi “pembantaian” itu…
Januari 8, 2015 at 8:30 am
Saya gak tahu harus komentar apa. Ini isu yg sangat sensitif. Semoga saudara2 di Perancis/Eropa selalu dalam lindungan Allah. Eniwei, makasih penjabarannya yang bergitu runtut. Saya dapat link dari reblog di Mas Ahmed Tsar
Januari 8, 2015 at 11:54 am
Sebaiknya dijadikan pembelajaran, agar kebebasan berbicara tidak melampaui batas-batas norma dan agama.
Januari 9, 2015 at 7:07 am
ya balas juga dengan bicara / tulisan. masak dibalas pake bedil?
Januari 9, 2015 at 2:02 pm
namanya juga orang mbak.. beda- beda mengartikan kebebasan berekspresi.. mungkin bagi yang membunuh menurut dia kebebasan berekspresinya ya seperti itu..
Februari 23, 2015 at 3:50 pm
agama bukan untuk lelucon! sudah berulangkali kecaman, kutukan muslim dunia dilayangkan, tapi mereka tetap membandel,! !! , saya rasa pantas,
Maret 10, 2015 at 8:37 pm
agama sebelah diparodikan, diejek dan dijadikan karikatur tidak melawan tuh dengan bedil dan bom. paling kita ketawa aja sama ejekan2 dan nyinyiran itu. karena kita tahu itu tidak benar. dan kita juga tahu kalo Tuhan saja tidak akan marah dengan hal2 spt itu karena DIA maha melampaui segalanya. karena itu kita juga tidak perlu marah. itu di agama sebelah loh ya 😀
Januari 8, 2015 at 12:56 pm
Ketika lelucon menjadi hal yang konyol, seperti bermain-main dipinggir tebing.
Siapapun boleh berkarya, tapi ketika karya itu melukai satu prinsip ideologi dan tidak bisa ditoleransi, bisa jadi ketika kelompok tertentu punya pendalaman belum fahami sikapnya, tindakannya bisa jadi bagian dari “kebebasan” berekspresi. Ada aksi ada reaksi.
Januari 9, 2015 at 12:47 am
Ini adalah resiko mereka. Sangat bodoh jika wartawan yang bekerja disitu tidak mengetahui akan marabahaya yg akan mereka hadapi. Dan kini mimpi mereka menjadi kenyataan bahkan lebih mengerikan dari mereka bayangkan. Mungkin ini adalah pelajaran bagi kita semua. Jangan hanya melihat permasalahan dari satu sudut pandang. Dalam kasus ini memang pembunuhan terhadap wartawan charlie hebdo mungkin kita tidak setujui, tapi mereka lah yang memulainya. Ibarat membangub sebuah gedung, apabila satu tiang dicabut dalam sebuah gedung pasti akan memberikan pengaruh ke tiang yang lain. Apabila bukan mereka yang membunuhnya pasti ada orang lain yang akan membunuh mereka yg menenbar kebencian. Dalam artiian ini saya tidak bermaksud membenarkan suatu pembunuhan. Hati siapa yang tidak panas ketika negara nya di hina? Hati siapa yang tidak geram ketika agamanya di olok? Mungkin sebagian bisa sabar tetapi sebagian lagi ada yang bertindak kasar. Seharusnya kebebasan tidak diartikan untuk menebar kebencian. Sekali lagi ini adalah pelajaran buat kita agar diambil hikmatnya agar tak terulang kejadian yang serupa
Januari 9, 2015 at 7:10 am
jadi atas nama agama, kamu melegitimasi pembunuhan dan kekerasan? balas charlie hebdo dengan tulisan satire juga, dengan lelucon juga. bukan dengan peluru!
Januari 9, 2015 at 1:28 pm
Itu resiko yg harus diterima, mbak. Karena pembunuh merasa terhina, ya menggunakan pembunuhan untuk membalasnya. Kalo kartunis yg dihina ya menggunakan kartun untuk membalasnya
Januari 9, 2015 at 3:49 pm
“Da Vinci Code” pernah bikin heboh umat Kristen. Dilawannya mau tau pake apa? Bikin buku “Da Vinci Codebreaker”. Angkat pena bukan senjata.
Melawan tanpa kekerasan itu ga sulit sebenernya mas
Januari 12, 2015 at 9:06 am
mbak ga suka kekerasan ya.. kan enak mbak yang keras keras itu.. sepertinya pernyataan mbak clara sudak tidak obyektif lagi.. bukannya membenarkan pembunuhan mbak.. tapi yang namanya pembunuh ya dikasi pulpen juga yang digunakan buat bunuh orang bukan buat nulis…apalagi kalo sakitnya tuh disini…
Maret 11, 2015 at 11:42 am
Mbak, jangan fokus pada upaya penanggulangan konflik saja. Tetapi perlu juga memberi fokus pada upaya pencegahan agar tidak ada orang yang membunuh orang lain karena dianggap menghina keyakinannya. “Hargai orang lain meskipun dia berbeda.” saya rasa itu ajaran semua agama.
Januari 9, 2015 at 10:12 am
“Apabila bukan mereka yang membunuhnya pasti ada orang lain yang akan membunuh mereka yg menebar kebencian”. Mungkin maksudnya orang lain dari ekstrimis agama yang sama ya bro?
Januari 9, 2015 at 11:26 pm
muhammad adlh sosok yg sabar, lemah lembut. saat rasullulah shalat di depan ka’bah pernah di lempar batu sampe berdarah2 juga dilempar kotoran tp beliau tidak marah jg tidak membalas.
suatu kali sampe malaikat jibril pun marah krn penghinaan kaum kafir qurais sdh kelewatan, sampe2 kaum kafir yg menghina nabi mau ditimpahkan gunung oleh jibril tp muhammad mencegahnya malah membela mereka krn mereka belum mengerti dan mendoakan mereka supaya Allah memberi petunjuk. tiada manusia di dunia ini yg sesabar dan selembut rasulullah muhammad saw. smg Allah selalu meninggikan derajatnya
Januari 10, 2015 at 3:53 am
Antara konteks “free speech” dan “freedom of speech”, bunuh membunuh tentu dilarang.
Januari 16, 2015 at 10:44 am
lalu kita harus apa ? sebenarnya saya sebagai umat islam tidak menyukai majalah ini
Januari 22, 2015 at 6:57 pm
dalam keyakinan Islam menghina keyakinan org lain itu dilarang, mengejek keyakinan org lain jg dilarang kalau ada yg menista Islam, boleh pilih yg paling ringan mendoakan, melakukan protes atau melakukan tindakan itu boleh2 saja, terserah org kafir mau bilang apa…siapa bilang rasulullah tak pernah mengijinkan…? muhammad bin maslamah pernah melakukan itu dan berhasil…
Januari 24, 2015 at 3:33 am
Sudi menerima tantangan ini, Cak?
http://dipanugraha.org/2015/01/24/liebster-challenge/
Januari 28, 2015 at 10:52 am
Kebebasan Berbicara,Kebebasan Berekspresi,atau pun Kebebasan-kebebasan lainnya,ketika kebebasan itu mulai keluar,bergulir,bergesekan,atau bahkan menghantam kebebasan dan Hak Azasi pribadi/individu,komunitas,ras,atau pun bangsa lainnya,itu sudah bukan suatu kebebasan,tapi kebablasan,provokatif,suatu aksi jelas akan berbuah reaktif negatif,suatu sikap yang sama sekali tidak akan mungkin bisa membangun suatu tatanan sosial yang di harapkan baik oleh semua individu sosial kedepannya,lain halnya kalau Kebebasan-kebebasan itu hanya di tujukan pada diri pribadinya,kita bebas berbicara kasar,buruk,cacian,makian,hinaan,slama hal tsb hanya ditujukan pada diri pribadi kita,lain hal nya kalau sudah ditujukan kpd pribadi lain,atau komunitas lain,atau bahkan bangsa lain,mungkin perkataan atau pun tindakan tsb kita pikir suatu lelucon,tapi bagi pandangan orang lain mungkin itu sama hal nya kita lempar mercon ke depan mukanya.
Mengenai Majalah Charlie Hebdo ini,bahkan pendirinya pun,Henri Roussel kerap kali mengecam tim redaksi yang dipimpin oleh Stéphane Charbonnier,Charb ini telah mengubah Charlie Hebdo menjadi organisasi zionis dan mengidap Islamofobia,lalu bagaimana dengan Kebebasan Berbicara,Kebebasan Beragama,dan Kebebasan Bernegara saudara kita di Palestina yang telah di renggut Hak Azasinya oleh para Zionis,bahkan Charlie Hebdo ini ikut terlibat dgn menjadi salah satu corong yang Provokatif,mereka menganggapnya hanya suatu lelucon satire,tapi bagi pribadi,komunitas agama atau pun bangsa lain hal tsb adalah suatu bentuk Sarkasm,bahkan rela membelanya walau pun dgn mengorbankan nyawanya sekalipun,sebagaimana serdadu-serdadu Zionis yang dengan rela hatinya membantai rakyat palestina,bahkan anak-anak kecil pun tidak luput dari pembantaian hanya karena Kebebasan Berbicara dan Berekspresi mereka tujukan kpd orang yang lain(Zionis)
http://www.tempo.co/read/news/2015/01/16/117635248/Pendiri-Charlie-Hebdo-Salahkan-Redaktur-yang-Tewas