show_image_in_imgtag.jpgWashington sempat ragu, tapi para pejabat dari pemerintahan Presiden Jimmy Carter tetap berbicara kepada media bahwa, “Mesjid Mekkah diduduki orang-orang bersenjata yang diyakini berasal Iran.” The New York Time menjadikannya sebagai headline pada Rabu pagi 21 November 1979. Berita semacam itu lalu beredar luas ke seluruh dunia dan menyulut sentimen anti-Amerika. Negara itu dituduh berada di balik aksi penguasaan Al Haram oleh Kelompok Juhaiman. Washington telah melakukan kesalahan besar dengan mengambil kesimpulan terhadap informasi yang belum benar-benar diketahui oleh intelijen mereka.

Judul: Kudeta Mekkah (Sejarah yang Tak Terkuak)
Penulis: Yaroslav Trofimov
Judul Bhs Inggris: The Siege of Mecca (The Forgotten Uprising in Islam’s Holiest Shrine and the Birth of Al-Qaeda)
Penerjemah: Saidiman
Editor: A. Fathoni Katamin
Penerbit: Pustaka Alvabet, Desember 2007
Halaman: x + 384 halaman

oleh Rusdi Mathari
NAMANYA Juhaiman. Nama itu diberikan oleh Muhammad bin Saif al Utaibi, sang ayah, lantaran ketika lahir Juhaiman kerap menyeringai. Saif lantas memberi nama untuk anak lelakinya yang lahir pada 1936 itu dengan nama “sang pemberenggut.” Dalam bahasa Arab pemberengut adalah Juhaiman.

Lebih 40 tahun kemudian, si pemberengut itulah yang “menguasai” kompleks Masjidd Al Haram dengan kekuatan senjata. Hari itu, Selasa 20 November 1979 bertepatan dengan 1 Muharram 1399 (tahun baru Islam pada kalender Hijriah) atau enam belas hari setelah mahasiswa revolusioner Iran menghancurkan dan menduduki Kedutaan Besar Amerika Serikat, di Teheran, Iran. Dunia Islam guncang. Dunia barat dan Uni Soviet terjebak dalam intrik politik. Bagaimanapun Mekkah adalah jantung kaum muslim.

Perlu waktu dua pekan bagi tentara Arab Saudi untuk benar-benar membersihkan pasukan Juhaiman dari areal masjid dan tentu saja Kabah. Itupun dengan mengerahkan pasukan elite, tank dan kendaraan lapis baja, pesawat F5, roket, peluru kendali, ribuan granat, satu ton gas beracun, dan bantuan tentara Prancis. Darah tumpah di tanah haram itu, bahkan mungkin adalah untuk kali pertama sejak kawasan itu dinyatakan oleh Nabi Muhammad s.a.w sebagai wilayah terbatas: mengharamkan pertumpahan darah.

Versi pemerintah, korban dari pihak tentara adalah 60 tewas, 200 luka-luka, sementara dari kalangan pemberontak 75 orang tewas, 170 ditangkap termasuk 23 perempuan dan anak-anak. Versi para pengamat independen, korban dalam pertempuan dua minggu di Al Haram menelan korban jiwa 1.000 orang, mungkin lebih. Ratusan jamaah haji (termasuk asal Indonesia) yang masih bertahan di Mekkah hingga 1 Muharram ikut jadi korban.

Dendam dan latar belakang politik pendirian negara Saudi disebut-sebut menjadi pemantik bagi Juhaiman untuk memberontak dan berusaha menguasai Masjid Haram, dan tampaknya alasan itu adalah yang paling bisa diterima.

Di awal-awal pembentukan negara itu, Dinasti Saud menggandeng murid-murid Syekh Muhammad bin Abdul Wahhâb yang kebanyakan berasal dari suku pedalaman Badui— popular dengan sebutan Wahhabi. Ajaran ini dikenal karena hendak memurnikan ajaran Islam agar sesuai dengan al Quran dan Sunnah. Mereka telah berjuang membantu Abdul Azis merebut kembali tahta Dinasti Saud di Arab pada awal 1900-an.

Namun tentara-tentara yang setia seperti bin Saif (ayah Juhaiman) itu—yang dijuluki sebagai Ikhwan—di belakang hari pecah kongsi dengan Abdul Aziz akibat perbedaan sikap: Kaum Ikhwan bersikeras menolak kedatangan asing –yang disebut sebagai kaum heretik dan orang kafir— di jazirah Arab, sementara Abdul Azis tak mau mengambil risiko untuk mengusir orang-orang Amerika Serikat dan Inggris dari jazirah Arab. Belakangan kelompok Ikhwan banyak dibantai oleh Keluarga Saud hingga hanya tersisa puak-puak kecil termasuk Puak Sajir, puaknya Juhaiman.

Dendam mereka semakin membuncah karena kelakukan pejabat Saudi yang korup, mengusung seks bebas, menjadi pemabuk dan sebagainya. Salah satunya yang paling menonjol dan banyak disorot adalah kelakukan Gubernur Mekkah Pangeran Fawaz.

Adapun Juhaiman sebetulnya pernah menjadi anggota Garda Nasional tapi keluar pada 1973 karena menganggap negara sudah tidak menerapkan ajaran agama. Dia memilih menjadi mahasiswa dan pengkhutbah yang banyak membawa ajaran Wahhabi.

“Semestinya kamu tahu bahwa menjadi pemerintah atau pemimpin Islam itu harus memenuhi tiga perkara: Muslim, turunan Nabi Muhammad s.a.w (Quraisy), dan menerapkan ajaran agama,” kata Juhaiman dalam salah satu risalahnya. Dan Dinasti Saud bahkan tidak memenuhi satu pun kriteria Juhaiman.

Maka pada sebuah subuh yang dingin, dia masuk ke kompleks masjidd. Jam menunjukkan pukul 5.18 dan shalat shubuh baru ditunaikan ketika rentetan tembakan terdengar di areal masjidd. Juhaiman muncul ke depan, mendekati Kabah dan dengan kasar menyergap mikropon dari Syekh Muhammad bin Subail, Imam Masjidd Al Haram. Antara Subail dan Juhaiman sebenarnya saling kenal: Subail adalah dosen Juhaiman. Namun si bekas mahasiswa itu, tak lagi hirau kepada Subail.

Jamaah kocar-kacir, sebagian tertahan dan kemudian disandera oleh Juhaiman dan kelompoknya, yang lain menyelamatkan diri keluar dari komplek Al Haram. Mikrofon yang direbut dari Subail dia serahkan kepada Sayid (kakaknya).

Lalu di pagi itu, semua kebobrokan Dinasti Saud tersiar melalui tujuh menara masjidd seperti suara azan. Tak lupa Sayid menjelaskan bahwa Muhammad Abdullah (adik Juhaiman) yang juga ikut dalam penguasaan masjidd sebagai Imam Mahdi, dan para jamaah diminta melakukan baiat atau sumpah setia kepadanya. Lalu Sayid memerintahkan menutup seluruh pintu masuk ke masjidd. Sejumlah penembak jitu dan dan orang-orang dengan senjata mesin, dia tempatkan di menara dan bagian atas bangunan masjidd.

Hingga pukul 8 pagi belum ada yang tahu pasti, apa yang sesungguhnya terjadi di Al Haram. Para jamaah yang kebingunan karena tak bisa masuk ke dalam kompleks masjidd hanya bertanya-tanya: kenapa pintu gerbang masjidd ditutup.

Sebuah jip patroli polisi yang mencoba mencari tahu dengan cara melintas di depan masjidd malah ditembak oleh penembak jitu. Kaca depan jip hancur, pengemudinya mengalami luka-luka. Konvoi patroli berikutnya yang mencoba mendekat tak lebih baik nasibnya dari patroli jip pertama. Dua perwira tewas dan 36 tentara luka-luka akibat tembakan yang menyalak dari bagian atas masjidd.

Hanya Syekh Nasir bin Rasyid yang tahu persis apa yang sedang terjadi. Pada pukul 6 pagi, dia mendapat telepon dari Subail yang mengabarkan peristiwa memalukan itu. Subail berhasil menghubungi atasannya itu lewat telepon di kompleks masjidd setelah dia berhasil menyelinap dan menyamar sebagai jemaah Indonesia, yang oleh Juhaiman “tidak dibutuhkan” karena dianggap tidak berbahasa Arab.

Kabar itulah yang diteruskan Rasyid lewat telepon kepada Raja Khalid, yang saat itu masih terkulai di ranjang karena flu. Hanya dalam waktu sejam, ada 30 kali sambungan telepon dari Mekkah-Jeddah, antara Rasyid ke Raja atau sebaliknya.

Dua anggota penting kerajaan yaitu Fadh dan Abdullah sedang tak ada di dalam negeri. Putra mahkota Fahd pagi itu masih terlelap tidur di sebuah hotel mewah di Tunisia. Abdullah sedang menikmati liburan akhir tahun di Marokko. Kerabat lain, Pangeran Turki Al Faisal yang menjabat Ketua Muda Direktorat Intelejen Umum juga sedang menemani Fadh.

Raja Khalid kemudian menugaskan dua saudara Fadh, Pangeran Nayif (Menteri Dalam Negeri) dan Pangeran Sultan (Menteri Pertahanan) untuk mengembalikan Al Haram kepada kedaualatan Kerajaan. Dua pejabat itu tiba di Mekkah pukul 9 pagi ditemani saudara tiri mereka Pangeran Fawaz, Gubernur Mekkah.

Mereka membuat garis pertempuran dengan kelompok Juhaiman dengan menutup semua jalan masuk menunju kompleks masjidd untuk memastikan tidak ada pasokan logistik dan pasukan dari luar areal masjidd kepada kelompok Juhaiman. Namun blokade itu semakin membuat banyak orang bertanya-tanya yang terjadi di Al Haram. Desas-desus tentang kedatangan Imam Mahdi sang pembebas kemudian mengudara semakin kencang secepat angin gurun pasir, melampaui wilayah Arab Saudi.

Seorang jamaah haji asal Maroko yang meloloskan diri sewaktu kelompok Juhaiman mulai menyandera jemaah menjelaskan kepada atase militer Kedutaan Marokko di Jeddah, yang sebenarnya terjadi. Informasi dari jemaah itu lalu dikirim ke Marokko ketika Raja Hasan II sedang sarapan pagi bersama Pangeran Abdulah.

Tak suka dengan informasi yang mulai menyebar, Kerajaan Saudi kemudian meminta perusahaan telekomunikasi Kanada yang mengatur sambungan internasional Saudi— untuk memutus semua sambungan komunikasi. Tujuannya agar informasi tentang penguasaan Al Haram oleh Kelompok Juhaiman tidak tersebar luas.

Tapi para diplomat Barat (Eropa dan Amerika Serikat) mengetahui kejadian di Mekkah, justru karena putusnya sambungan telepon di kantor-kantor keduataan mereka. Sebagian informasi diperoleh dari seorang pilot helikopter Chinook berkebangsaan Amerika yang mualaf yang pada Selasa nahas itu diminta menerbangkan dua pejabat militer Saudi ke Mekkah.

Washington sempat ragu, tapi para pejabat dari pemerintahan Presiden Jimmy Carter tetap berbicara kepada media bahwa, “Masjidd Mekkah diduduki orang-orang bersenjata yang diyakini berasal Iran.” The New York Time menjadikannya sebagai headline pada Rabu pagi 21 November 1979. Berita semacam itu lalu beredar luas ke seluruh dunia dan menyulut sentimen anti-Amerika. Negara itu dituduh berada di balik aksi penguasaan Al Haram oleh Kelompok Juhaiman. Washington telah melakukan kesalahan besar dengan mengambil kesimpulan terhadap informasi yang belum benar-benar diketahui oleh intelijen mereka.

Untuk membebaskan Masjidil Haram dan membantai Juhaiman beserta pengikutnya, Jeddah menggelar operasi militer.  Penyerangan pertama dan kedua yang berlangsung hari Rabu dan Kamis, menelan banyak korban dan bisa dikatakan gagal total. Penyerangan ketiga dilakukan 10 hari kemudian, Senin, 3 Desember 1979 dengan mengerahkan kekuatan besar-besaran termasuk dengan menggunakan gas beracun CB yang dipasok oleh para perwira GIGN Prancis. Gas-gas itu dimasukkan ke dalam lorong-lorong bawah masjid dan memaksa pengikut Juhaiman menyerah. Adik Juhaiman, Muhammad Abdullah yang diklaim sebagai Imam Mahdi tewas. Juhaiman menyerah bersama Sayid.

Beberapa hari setelah areal masjid dibersihkan dari darah, mayat dan kotoran; Juhaiman dihadapkan kepada Raja Khalid. Seorang tentara dengan angkuh menyeret jenggotnya. Dari ruang tahanan, Juhaiman menyesali perbuatannya dan mencoba meminta grasi kepada Raja tapi ditolak.

Rabu, 9 Januari 1980, Juhaiman bersama 62 pengikutnya dipancung di delapan kota yang berbeda di Saudi. Juhaiman bersama Sayid dieksekusi di Mekkah tapi Raja Khalid mencoba memenuhi sebagian tuntutan Juhaiman. Salah satunya dengan membiayai banyak pusat-pusat keagamaan di Saudi termasuk untuk kelompok Wahhabi. Anak-anak muda banyak belajar di sana. Dan ketika Uni Soviet menyerang Afghanistan 25 Desember 1979, anak-anak muda itulah yang dikirim untuk berperang, sementara Saudi dan Amerika menjadi penyandang dana dan pemasok senjata.

Usama bin Laden waktu itu berumur 19 tahun dan termasuk yang terpikat dengan ajaran Juhaiman. Dialah yang belakangan dianggap sebagai biang kerok tragedi 11 September 2001. Setahun setelah tragedi itu, hampir semua anak-anak muda termasuk dari Indonesia yang dikirim berjihad ke Afganistan melawan Uni Soviet dengan biaya dan senjata dari Amerika Serikat dan Saudi, diburu habis-habisan. Mereka dicap sebagai teroris.

Buku ini padat dengan informasi dan dituturkan dengan gaya penulisan seorang wartawan. Yaroslav Trofimov, penulisnya, memang pernah menjadi wartawan The Wall Street Journal. Andai saja penyuntingan atau mungkin juga penerjemahannya dalam versi Bahasa Indonesia dilakukan dengan sedikit lebih sabar, buku ini mestinya akan lebih memikat dan tidak akan melelahkan untuk dibaca. Tak adanya daftar isi dan cetakan buku yang kaku yang membuat halaman demi halaman sulit disibak, adalah cacat lain dari buku ini.