http://www.sxc.hu/browse.phtml?f=search&txt=vietnam+people&w=1&x=0&y=0

Dengan pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan selama bertahun-tahun Vietnam kini didera inflasi yang bisa memicu suhu ekonomi . Negara itu mungkin akan membayar mahal kemajuan ekonominya, jika kelak penataan baru (do moi) berubah menjadi keterbukaan demokrasi.

Oleh Rusdi Mathari

SERUAN Walden Bello ini, mungkin terasa provokatif. Dalam pembukaan Forum Rakyat Asia Eropa yang kelima di Hanoi, Vietnam empat tahun lalu, tokoh LSM itu menyerukan agar masyarakat sipil mematahkan gelombang globalisasi yang dipimpin oleh kapitalisme Amerika Serikat. Namun bagi Vietnam yang dalam beberapa tahun terakhir menikmati pertumbuhan ekonomi, seruan Bello tak nyaring maknanya.

Vietnam telah memulihkan persahabatan negaranya dengan Amerika yang dulu memeranginya selama 15 tahun dan menelan hampir dua juta penduduknya. Pandangan sehari-hari di ibu kota Hanoi juga tidak menunjukkan permusuhan terhadap imperialisme Amerika, bahkan di tengah perayaan hari kemerdekaannya yang ke-53 pada 2 September lalu. Generasi mudanya juga tak punya sentimen khusus terhadap Amerika.

Namun persoalannya memang bukanlah masa lalu melainkan masa depan dan “masa depan” itu kelihatan mulai agak terganggu dengan inflasi tinggi. Minggu lalu dikabarkan inflasi Vietnam mencapai 14,1 persen atau tertinggi selama 15 tahun terakhir sehingga menyebabkan bank sentral setempat menaikkan suku bunga hingga 1,5 persen untuk mencegah inflasi yang lebih parah.

Vietnam adalah negara yang pertumbuhan ekonominya selalu tinggi dalam 10 tahun belakangan. Tahun lalu pertumbuhan itu bahkan mencapai 8,5 persen atau yang tertinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonominya sebesar 7,5 persen. Bank-bank di sana juga tercatat paling agresif menyalurkan kredit akibat tingginya permintaan akan bahan bangunan dan material lainnya untuk sektor properti. Oleh beberapa pengamat, kondisi itulah yang menyebabkan ekonomi Vietnam mulai sedikit memanas.

Di sisi lain pertumbuhan ekonomi tinggi tak bisa dipungkiri telah memicu tumbuhnya kelas menengah di Vietnam. Kelas itu, kini bermunculan di Hanoi dan Ho Chi Minh, dua kota terbesar di Vietnam dan membelanjakan uangnya untuk menjemput kemewahan. Orang-orang setengah umur dan anak-anak muda di sana, sekarang mempunyai uang lebih dan mereka sedang mencari gaya modern.

Pendapatan per kapita Vietnam memang hanya berkisar US$ 480 atau masih jauh lebih kecil dari pendapatan per kapita Indonesia yang mencapai US$ 830 atau Thailand yang sebesar US$ 1.987. Namun hampir setiap akhir pekan, gerai-gerai mebel dan elektronik di Hanoi penuh sesak dipadati pengunjung. Mereka datang bukan hanya sekadar untuk cuci mata, namun juga menghamburkan uang: membeli sofa kulit seharga US$ 2.500 atau televisi layar datar berukuran 50 inci seharga US$ 11 ribu.

http://www.sxc.hu/browse.phtml?f=search&txt=vietnam+market&w=1&x=0&y=0

Jangan heran pula, banyak rumah di Hanoi dan Ho Chi Minh yang kini dilengkapi perabotan elektronik canggih. Mulai dari komputer, mesin cuci dan pintu yang bisa menutup buka secara otomatis. Biro-biro perjalanan wisata juga selalu penuh dengan permintaan. Sementara para wanitanya mulai menyukai membeli produk-produk dengan merek yang mendunia seperti Louis Vuitton, Bulgari dan Cartier. Louis Vuitton bahkan berencana meningkatkan gerainya di Hanoi sampai tiga lantai untuk mengantisipasi banyaknya pembeli. Hitungan itu dibuat berdasarkan jumlah pembeli yang mencapai 170 orang setiap minggu dengan nilai belanja US$ 5 ribu per orang. Hingga empat tahun lalu, “Kondisi sekarang memang menguntungkan,” kata Nguyen Quoc Khanh.

Khanh adalah pengusaha mebel yang diuntungkan oleh meluasnya kelas menengah Vietnam. Dulu pembelinya adalah orang-orang kaya asing yang tinggal di Vietnam . Sekarang, mebel buatannya banyak dibeli warga Ho Chi Minh untuk perkantoran dan rumah. Dengan memperkerjakan 1.700 buruh, Khanh kini mulai melirik pasar ekspor. Baru-baru ini, ia meneken kontrak pengadaan mebel untuk sebuah hotel di Sri Lanka, Bangladesh dan Inggris.

Banyak faktor yang berperan untuk kenyataan konsumsi yang mencolok itu. Beberapa analis menghubungkannya dengan korupsi pemerintah dan booming di sektor properti. Namun tumbuhnya sektor swasta dalam empat tahun terakhir, telah menyulap banyak keluarga di kota-kota besar mempunyai lebih banyak uang dibanding masa sebelumnya. Banyak dari kekayaan mereka yang tak terdata dan terbebas dari pajak.

Survei terhadap 1.200 orang di Hanoi dan Ho Chi Minh yang pernah dilakukan Taylor Nelson Survei pada Maret 2004, menunjukkan, rata-rata pendapatan bersih setelah pajak hanya mewakili 55 persen dari total pendapatan mereka. Masih dari survei yang sama, uang tabungan mereka membukukan 26 persen dari total pendapatan, atau meningkat 17 persen dari survei lima tahun silam.

Kalkulasi yang dibuat oleh Bank Dunia pada 2002, juga mengejutkan. Di dua kota besar itu, setiap US$ 1 yang dibelanjakan penduduknya berharga lima kali lebih besar dibanding nilai yang sama yang digunakan di Amerika. Dengan kalimat lain, setiap empat orang di Hanoi dan Ho Chi Minh sebenarnya telah membelanjakan US$ 20 ribu pada tahun itu.

Apa yang terjadi di Hanoi dan Ho Chi Minh memang terasa timpang jika dibandingkan dengan daya beli sebagian besar penduduk Vietnam yang tinggal di pedesaan, karena setiap empat penduduk pedesaan hanya membelanjakan US$ 2.500 atau delapan kali lebih kecil. Pertumbuhan ekonomi tampaknya memang selalu menciptakan jarak antara yang miskin dan kaya. Masalahnya menurut hitungan Bank Dunia, jarak itu masih belum selebar ketimpangan yang terjadi di Cina. Karena di Vietnam, meskipun sedikit, penduduk desanya juga mulai menikmati kemakmuran. Mereka juga diuntungkan dengan kiriman dari keluarga mereka yang bekerja di Hanoi dan Ho Chi Minh.

Katakanlah jarak itu lebar, dalam waktu 10 tahun mendatang selisihnya akan semakin pendek. Ini terutama bila Vietnam dapat mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang konstan pada kisaran 10 persen per tahun yang menurut para beberapa analis akan sangat mudah dicapai Vietnam . Itu semua dengan catatan, jika inflasi Vietnam yang kini mulai tinggi akibat pasar bebas itu bisa ditekan lajunya. Begitulah teori ekonominya. Namun Vietnam mungkin akan membayar mahal kemajuan ekonominya, jika kelak penataan baru (do moi) berubah menjadi keterbukaan demokrasi. Saat itu, seruan Bello sebenarnya akan menjadi penting.