Sepuluh tahun disidangkan, 3 tahun menjadi buronan, Joko Tjandra dikabarkan telah menjadi warga negara Papua Nugini. Ada apa sebetulnya di balik kasus Joko ini?

oleh Rusdi Mathari
Korup, kabur dan kini berganti kewarganegaraan. Itulah kabar tentang Tjan Kok Hui alias Joko Soegirto Tjandra, taipan yang sejak 3 tahun lalu dikabarkan kabur dan konon tak diketahui keberadaannya. Kemarin, Wakil Jaksa Agung, Darmono mengabarkan, Joko sudah sejak Juni silam telah menjadi warga negara Papua Nugini. Kepastian tentang identitas sipil Joko itu, diperoleh Darmono setelah tim dari Kejaksaan Agung bertemu dengan duta besar PNG di Jakarta. Dan inilah kata Darmono selanjutnya: Joko berbohong untuk indentitas barunya dan itu tidak akan menghalangi jaksa untuk memulangkan Joko.

Tentu pernyataan Darmono harus dibaca  sebagai semangat dari para jaksa untuk menegakkan keadilan, memberantas korupsi dan mengembalikan uang negara, tapi mungkinkah dan benar bisakah?

Joko adalah salah satu taipan yang proses hukumnya terbilang paling ruwet. Dia dinyatakan buron untuk kasus pengalihan hak tagih piutang [cessie] Bank Bali [kini Bank Permata] pada 1999, yang merugikan negara Rp 546 miliar. Kasus itu melibatkan sejumlah nama yang dekat dengan BJ. Habibie [saat itu presiden] dan sejumlah pengusaha. Antara lain Setya Novianto [politisi Golkar]. Tanri Abeng, [mendiang] A.A. Baramuli dan sebagainya. Proses persidangannya memakan waktu sekitar 10 tahun. Di semua tingkat pengadilan termasuk di tingkat kasasi di Mahkamah Agung, Joko selalu dinyatakan bebas.

Di zaman Megawati menjadi presiden, MA Rahman [waktu itu jaksa agung] menolak mengajukan peninjauan kembali, karena alasan putusan MA sudah berkkekuatan tetap. Baru di zaman Hendarman Supandji, Kejaksaan Agung kemudian mengajukan PK. Itupun setelah heboh kasus Joker yang disebut-sebut oleh Artalyta Suryani alias Ayin ketika disidangkan  untuk kasus penyuapan jaksa Tri Urip Gunawan yang berhubungan dengan kasus penyelasaian kasus BLBI Sjamsul Nursalin pemilik BDNI yang ditangani Kejaksaan Agung.

Tiga tahun lalu [11 Juni 2009], majelis MA menerima upaya peninjauan kembali yang diajukan Kejaksaan Agung tapi sejak itu, keberadaan Joko konon juga tidak diketahui.

Panggilan dari kejaksaan lewat surat agar Joko menyerahkan diri untuk dibui, menurut Kejaksaan Agung tak pernah digubris. Entah pula, kenapa kejaksaan hanya berkirim surat, dan tidak berusaha mendatangi atau mencari alamat Joko untuk mengeksekusinya.

Lalu sekitar 5 hari setelah keluar keputusan MA itu, Joko diketahui sudah berada di PNG. Dia menggunakan pesawat pribadi yang tinggal landas dari Pangkalan Udara TNI-AU, Halim Perdakasumah, Jakarta. Dan… bimsalabim, semua pejabat kemudian mengaku kecolongan termasuk pejabat imigrasi yang mengaku, jauh-jauh hari sudah mencekal Joko.

Siapa Joko Tjandra?
Di buku “Membongkar Gurita Cikeas,” George Junus Aditjondro menulis, Joko adalah penyumbang  US$ 1 juta untuk Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian. Yayasan ini dituding oleh George didirikan menjelang Pemilu 2009 dan berafiliasi dengan SBY. Ada sejumlah nama penting di yayasan ini. Antara lain Djoko Suyanto [ketua yayasan, kini menko Polhukam] Arwin Rasyid [eks direktur utama CIMB Bank Niaga], Dessy Natalegawa [adik dari Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa], Purnomo Yusgiantoro [eks menteri ESDM, kini menteri pertahanan] dan MS. Hidayat [menteri perindustrian].

Sahikah kebenaran sumbangan dari Joko Tjandra yang ditulis oleh George? Dalam tulisannya, George  melampirkan kutipan sumbernya berasal dari Vivanews 2 Oktober 2009, dan majalah Mimbar Politik edisi 7-14 Oktober 2009 halaman 10-11. Namun majalah Tempo edisi 10 Januari 2010 halaman 28 menyebutkan, Joko Tjandra mengaku kepada penyidik KPK telah menyerahkan US$ 1 juta langsung ke tangan Doko Suyanto, 4 Maret 2008 meski keterangan itu kemudian dibantah oleh Djoko.

Saat ditanya oleh wartawan tentang sumbangan itu, Djoko yang menko polhukam itu hanya berujar: So what? Kenapa? Apa yang lalu menjadikan tidak baik bagi yayasan? [lihat “Djoko Suyanto: Kalau Ada Dana dari Joko Tjandra, ‘So What’?” Kompas.com].

Benar, Joko memang termasuk salah satu pengusaha yang dekat dengan pejabat. Setidaknya, dia berusaha mendekat, dan rekam jejaknya itu sudah terbaca sejak zaman Orde Baru. Di masa itu, dia banyak mendapat konsesi terutama untuk pembangunan gedung perkantoran dan hotel di Jakarta.

Lewat PT Mulialand Tbk.,  Joko antara lain mengendalikan Wisma Mulia [57 lantai], Menara Mulia [28 lantai], Sentra Mulia [19 lantai], Plaza 89 [13 lantai], Plaza Kuningan [11 lantai], Atrium Mulia [9 lantai], Wisma Antara [20 lantai], Plaza BRI Surabaya [23 lantai], Taman Anggrek Mall & Condominium [8 menara 2.824 unit], dan Hotel Mulia Senayan [996 kamar]. Mulialand adalah salah satu pengembang properti terbesar yang berada di bawah bendera Grup Mulia, milik Joko.

Dua tahun lalu, PT Mulia Persada Pacific salah satu perusahaan milik Joko digugat oleh BRI dan Dana Pensiunan BRI karena diduga wanprestasi untuk pembangunan Gedung BRI II dan BRI III, di Jalan Sudirman 44-46, Jakarta.  Kasusnya berawal sejak 11 April 1990, ketika BRI dan Dana Pensiun BRI melakukan perjanjian pembangunan dan operasi [BOT] dengan Grup Mulia. Perjanjiannya: Grup  Mulia mendapatkan proyek pembangunan gedung perkantoran BRI II dan hak untuk mengoperasikan gedung tersebut selama 30 tahun [sampai 2020]. Sebagai imbalan, BRI akan mendapatkan US$ 400 ribu per tahun.

Hingga 20 tahun kemudian [2010], BRI menilai Mulia Persada gagal memenuhi komitmen membangun fasilitas pendukung yang telah disepakati, dan karena itu menggugat ke pengadilan untuk meminta pembatalan perjanjian tersebut. Tuntutannya: Grup Mulia harus mengembalikan Gedung BRI II kepada Dana Pensiun BRI ditambah kompensasi kerugian sekitar Rp 347 miliar. Kompensasi itu harus dibayar per 1998.

Dana Pensiun BRI juga menuntut kompensasi kerugian Rp 887 miliar untuk kehilangan kesempatan dalam proyek pembangunan Gedung BRI III. Nama yang disebut terakhir adalah bangunan yang menempati areal seluas 2.692 meter persegi milik Dana Pensiun BRI, Departemen Hukum & Hak Asasi Manusia, dan Gabungan Koperasi Batik Indonesia.

Awal tahun lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menghukum  Mulia Persada untuk mengembalikan gedung BRI II kepada BRI. Perusahaan itu juga diharuskan membayar Rp 347 miliar seperti yang dituntut oleh BRI. Entah bagaimana kelanjutan kasus ini, tapi beberapa bulan kemudian, Kejaksaan Agung mengaku mendapat informasi: Joko sedang membangun satu hotel di Bali meskipun kelanjutan informasi itu juga tidak jelas.

Lalu kemarin, Kejaksaan Agung kembali membuat kejutan dengan mengabarkan: Joko sudah berganti kewarganegaraan. Tentu sulit dipercaya, Joko punya ilmu sakti sehingga dia tampak seolah bisa terus terbebas dari kejaran hukum, tapi orang-orang kini layak bertanya: Ada apa sebetulnya di balik kasus Joko ini, dan mengapa dia sungguh begitu “sakti”?