Enterobacter sakazakii-www.sciencenews.org
blognyafiet.blogspot.com

Berita sudah tersebar di mana-mana …, menteri pun turun tangan, BPOM pun gerah, ibu-ibu resah, masyarakat gelisah, negara pun jadi gundah. Kenapa lembaga pendidikan dan penelitian yang dianggap lima besar bonafit (selain UGM, UI, ITB, ITS) bisa seceroboh ini mengeluarkan pernyataan? Bagi peneliti dan profesor, guru besar, dan semua pihak yang melakukan penelitian mohon segera menyebutkan produk yang dimaksud, karena jika tidak dampaknya bisa sangat besar, orang akan beranggapan bahwa IPB akan mencari uang dari para produsen susu bayi…

oleh Rusdi Mathari

SEPOTONG surat itu terpampang di Forum Diskusi situs IPB (Lihat “Dampak Besar Penelitian IPB” 26 Feberuari 2008). Pengirimnya menggunakan nama samaran Bayi Sehat tapi pastilah dia juga bagian dari Keluarga Besar IPB karena forum itu memang dibuat untuk orang-orang IPB. Tak ada tanggapan dari para peneliti atau dosen IPB yang “menghebohkan” dengan hasil penelitian bakteri enterobacter sakazakii atas postingan Bayi Sehat. Hanya seorang mahasiswa lain yang meledek dan seorang lagi mendukungnya.

Hasil penelitian empat dosen IPB tentang susu formula dan makanan bayi yang mengandung bakteri enterobacter sakazakii memang telah menyita perhatian besar banyak orang selama dua minggu terakhir. Penelitian yang dilakukan Dr. Sri Estuningsih, Drh.Hernomoadi Huminto MVS, Dr. I.Wayan T. Wibawan, dan Dr. Rochman Naim itu— mengungkapkan sebanyak 22,73 persen susu formula (dari 22 sampel) dan 40 persen makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan antara April – Juni 2006 telah terkontaminasi enterobacter sakazakii. Bakteri ini ketika diujicobakan ke hewan mencit (tikus) ternyata mengalami gangguan otak, usus, dan limpa. “Sampel makanan dan susu formula yang kami teliti berasal dari produk lokal,” kata Estu (lihat “Makanan dan Susu Formula Bayi yang beredar di Indonesia Terkontaminasi Enterobacter sakazakiiww.ipb.ac.id).

Hasil penelitian itu lantas menjadi konsumsi publik setelah secara resmi para peneliti menjelaskan hasil penelitian mereka kepada wartawan dan memajangnya di situs IPB sejak 15 Februari 2003. Hasilnya bisa ditebak, pengungkapan hasil penelitian itu memicu gelombang keresahan dari para ibu. Sabtu (1 Maret 2008), misalnya, massa yang tergabung dalam Lembaga Peduli Ibu dan Bayi itu mempertanyakan kebenaran dan nama-nama produk susu yang dianggap mengancam kesehatan dan pertumbuhan bayi serta balita tersebut. Mereka mempertanyakan bagaimana bakteri enterobacter sakazakii bisa tercampur dalam susu formula. “Kalau memang bakteri ini ada di beberapa susu formula, bagaimana itu bisa terjadi?” ungkap Dewi, salah seorang demonstran yang membawa serta anaknya (lihat “Menkes: Jangan Riset Susu Sembarangan,” Jawa Pos, 2 Maret 2008).

Yanwarinson, 36 tahun, seorang warga Kompleks Polri Ampera Raya, Jakarta Selatan, bahkan mengaku putrinya sulungnya terserang bakteri tersebut. Kejadian yang menimpa putrinya terjadi pada 20 Januari 2007 berdasarkan laporan laboratorium yang memeriksa anaknya. “Laboratorium itu rujukan dokter,” katanya. Hasil laboratorium di bilangan Warung Buncit, Mampang Prapatan, itu menyebutkan anaknya terserang enterobacter sakazakii (lihat “Korban Enterobacter Sakazakii Mengadu ke YLKI,” Tempointeraktif, 1 Maret 2008).

Mungkin karena keresahan semacam itu Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari pun merasa perlu memberikan penjelasan. Menurut dia, para ibu tak resah memberikan susu formula kepada bayinya karena penelitian yang dilakukan IPB membutuhkan pembuktian lebih jauh. Untuk membuktikan ada tidaknya enterobacter sakazakii yang katanya dapat menyebabkan radang pada selaput otak dan usus pada manusia, menurut Ibu Menteri, membutuhkan penelitian yang lebih komprehensif dan tidak dilakukan sembarangan.

Apa sebenarnya enterobacter sakazakii? Bakteri ini merupakan famili dari enterobacteriaceae dan hingga sekarang belum diketahui asal-usulnya. Kali pertama ditemukan di Jepang, mikoorganisme ini bisa ditemukan pada tubuh manusia (terutama bayi) dan hewan dan bisa mengakibatkan meningitis (radang selaput otak) atau enteritis. Sebanyak 80 persen kasus terjadi pada bayi di bawah usia satu tahun, tepatnya 66 persen pada bayi berusia kurang dari satu bulan, terutama bayi prematur, bayi berat badan lahir rendah, atau bayi yang ibunya terindikasi HIV/AIDS. Sebuah laporan menyebutkan, 20-50 persen bayi yang terjangkiti bakteri ini bahkan berakhir pada kematian (lihat “Enterobacter sakazakiifood.info.net) meskipun kasus-kasus pencemaran enterobacter sakazakii pada susu formula sejauh ini justru ditemukan terjadi di Amerika Serikat, Kanada, Belgia, Eslandia, dan Israel.

Dari literatur yang dikumpulkan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia didapat keterangan, bahwa dari 1960 hingga 2003, hanya ditemukan 48 kasus bayi meninggal di seluruh dunia yang diakibatkan oleh pencemaran enterobacter sakazakii. “Di Indonesia malah sama sekali belum ada,” ujar kata Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia, Sukman Tulus Putra

Dengan kata lain, bakteri ini tak benar-benar bisa mengancam keselamatan seluruh bayi yang diberi susu formula terutama karena bakteri ini bisa mati pada suhu tertentu– sebuah fakta yang tidak dijelaskan oleh para peneliti IPB ketika mengumumkan hasil penelitian mereka. Menurut Dasril Daud, Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Hasanuddin (Makassar) bakteri itu sudah mati jika dipanaskan dalam suhu di atas 60 derajat Celsius (lihat “Enterobacter Sakazakii Bisa Dikalahkan,” Banjamasim Post, 29 Februari 2008). Semakin tinggi suhunya kemungkinan untuk memusnahkan bakteri ini juga semakin tinggi dan akan lebih baik lagi jika susu tersebut diminumkan kepada bayi tidak lebih dari empat jam setelah dilarutkan.

Dalam sebuah penjelasan lanjutan menyusul keresahan para ibu terhadap hasil penelitian IPB tentang tercemarnya susu formula dan makanan bayi oleh enterobacter sakazakii, para peneliti itu mengatakan, mereka sudah menyampaikan laporan penelitian kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan pada 2006. Tujuannya menurut mereka, agar meningkatkan kewaspadaan terhadap adanya bakteri enterobacter sakazakii sehingga bisa menjadi dasar kebijakan pengawasan pangan (lihat “Cemaran Bukan Hal Baru,” Kompas rubrik Humaniora halaman 13, 29 Februari 2008).

Penjelasan lanjutan dari para peneliti IPB menyiratkan satu hal: mereka memang tidak lengkap mengungkap hasil penelitian mereka kepada publik (lihat “Susu Nyonya Dijamin Bebas Bakteri”). Pengungkapan hasil penelitian mereka, juga semakin menjelaskan kepada publik bahwa telah terjadi semacam persaingan antara lembaga penelitian, BPOM, Depkes, dan lembaga-lembaga lain yang berhubungan dengan pangan. Mereka punya kepentingan masing-masing dan dalam banyak hal, kepentingan mereka sayangnya hanya berpihak kepada produsen yang ingin merebut pasar atau memenangkan pertarungan bisnis di industri makanan, obat-obatan dan sebagainya.

Penelitian IPB tentang susu formula dan makanan bayi yang tercemar oleh enterobacter sakazakii, 100 persen boleh jadi independen. Namun tanpa menyebutkan maksud, latar belakang, dan bahkan nama produk susu formula yang tercemar oleh enterobacter sakazakii, sulit untuk tidak mengatakan bahwa peneliti IPB sedang bermain-main dengan sebuah kepentingan tertentu. Apalagi hasil penelitian itu diumumkan setelah hampir hampir dua tahun diteliti, mengundang pers, dan lalu dipublikasikan secara luas.

Benar kata imbauan Bayi Sehat di situs IPB itu, bahwa para profesor, guru besar, dan semua pihak yang melakukan penelitian susu formula yang tercemar enterobacter sakazakii- sudah semestinya menyebutkan produk yang mereka teliti, atau jangan disalahkan jika kemudian banyak pihak yang menganggap IPB sedang mencari uang dari para produsen susu bayi.