GaboGabriel García Márquez, wartawan Kolombia dan pemenang Nobel Sastra 1982 meninggal dunia kemarin di Mexico City, Meksiko. Usianya 87 tahun dan dia dipulangkan dari rumah sakit sekitar sepekan lalu setelah para dokter angkat tangan tak sanggup mengobati tapi mereka belum bisa memastikan penyakit Gabriel.

oleh Rusdi Mathari
KOLOMBIA berduka juga Meksiko tanah air keduanya. Di dua negara itu, Gabriel yang banyak orang memanggilnya Gabo, bukan hanya terkenal sebagai wartawan dan penulis melainkan karena karyanya banyak memberi inspirasi perlawanan terutama di Amerika Latin; tapi Gabo adalah juga wartawan yang dihormati oleh banyak wartawan di dunia. Dia wartawan yang konsisten mengkritik hegemoni dan kecenderungan campur tangan Amerika Serikat di banyak negara, dan karena itu Washington tak pernah memberikannya visa.

Tidak seperti penulis lain di Amerika Latin, karya Gabo melampaui wilayah itu. Novelnya “One Hundred Years of Solitude” diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa. Penyair Chili dan pemenang Nobel, Laureate Pablo Neruda menyebut novel Gabo itu sebagai wahyu terbesar dalam bahasa Spanyol sejak penulis Spanyol, Miguel de Cervantes menulis “Don Quixote” pada abad ke-17.

Amerika Latin bagi Gabo adalah sumber kreativitas yang tak pernah habis. Penuh kesedihan, keindahan, dan keberuntungan. Puisi dan pengemis, musisi dan para nabi, prajurit dan bajingan; di tangan Gabo menjadi realitas tak terkendali. Dia disayangi banyak orang. Ketenarannya di Kolombia dan Meksiko hanya tertandingi oleh bintang sepak bola dan ratu kecantikan.

Namanya muncul di kontes-kontes kecantikan di Kolombia sesering nama Paus. Jawaban para kontestan jadi repetitif: siapa penulis favoritmu? García Márquez. Siapa yang paling kamu kagumi? Ayahku, Paus, dan García Márquez. Siapa yang ingin kau jumpai? García Márquez dan Paus. Bila pertanyaan yang sama diajukan kepada jurnalis Amerika Latin, jawabannya bisa jadi sama kecuali mungkin soal Paus.

Di Barranquilla, tempat Gabo mulai bekerja sebagai reporter tahun 1950, dan kota ketika dia berjumpa dengan istrinya Mercedes; dia benar-benar dipeluk semua orang. Bahkan dia bukan lagi Gabo melainkan Gabito, nama kecil mesra yang biasanya digunakan orang tua, pacar, dan sahabat untuk memanggil orang kesayangan mereka.

Pergaulannya luas. Fidel Castro eks presiden Kuba adalah sahabatnya. Bill Clinton dan Francois Mitterand juga menjadi teman baiknya, selain sekian presiden dan tokoh dari beberapa negara. Dia juga bisa mewawancarai anak-anak muda anak buah dari gembong narkoba Kolombia, Pablo Escobar; yang laporannya kemudian ditulis dalam bentuk novel “Kabar Penculikan.”

Di kalangan wartawan Gabo adalah guru yang dihormati. Kepada para wartawan yang mengikuti kelas menulisnya, dia selalu berpesan untuk melakukanreportase. Baginya, reportase adalah cerita lengkap. Rekonstruksi utuh sebuah peristiwa. Setiap detil kecil punya makna; dan itulah dasar kredibilitas dan kekuatan laporan seorang wartawan. Menondeng. Wartawan harus bisa mendongeng, dan pendongeng bukan diciptakan tapi dilahirkan.

Dia karena itu mengkritik wartawan yang hanya sibuk mendatangi konferensi pers atau memandang wawancara sebagai satu-satunya hal penting dalam jurnalistik. Kata Gabo ada perbedaan antara wawancara dengan reportase. Wawancara dalam jurnalisme cetak selalu berupa dialog antara si jurnalis dengan seseorang yang punya sesuatu untuk diucapkan atau dipikirkan tentang sebuah peristiwa. Reportase adalah rekonstruksi yang ruwet dan setia dari sebuah peristiwa.

Gabo menganggap wartawan yang terbiasa [hanya] menyorongkan tape perekam untuk wawancara sama saja telah mencabut sambungan otak mereka. Baginya penggunaan tape perekam adalah keji sebab wartawan masuk perangkap untuk mempercayai bahwa alat itu bisa berpikir.

“Tape perekam itu adalah beo digital. Ia punya kuping tapi tak punya hati. Ia tidak menangkap detail sehingga menjadi tugas kita [wartawan] untuk mendengar melampaui kata-kata, menangkap apa yang tidak diucapkan lantas menuliskan cerita lengkapnya.” Begitulah Gabo dalam “Three Days with Gabo” yang ditulis Silvana Paternostro, salah satu wartawan yang pernah ikut kelas menulis Gabo.

Suatu hari setelah Gabo menerima Nobel, seorang wartawan muda di Madrid menghampiri Gabo sewaktu sedang keluar dari hote. Wartawan perempuan itu meminta waktu untuk wawancara. Gabo yang tidak suka dimintai wawancara, menolaknya. Sebagai gantinya, dia mengundang si wartawan untuk menemani Gabo dan istrinya sepanjang hari.

“Dia menghabiskan sepanjang hari itu bersama kami. Kami belanja, istriku tawar menawar, kami makan siang, kami berjalan, kami mengobrol. Dia ikut kami ke mana-mana.”

Waktu mereka pulang ke hotel dan Gabo siap berpamitan, si jurnalis meminta wawancara. “Kuberitahu dia bahwa dia harus ganti kerjaan,” kata Gabo. “Dia punya cerita lengkapnya, dia punya reportase.”

Gabo juga mengkritik cara universitas-universitas dan penerbit suratkabar di Amerika Latin memperlakukan wartawan yang dia anggap sebagai pekerjaan paling bagus sedunia. Dia terutama tidak sependirian dengan pendapat sekolah-sekolah profesional bahwa wartawan bukan seniman. Bagi Gabo jurnalisme cetak [tulis] adalah “suatu bentuk sastra” dan dia juga meyakinkan suratkabar-suratkabar agar mengurangi investasi teknologi dan memperbanyak pelatihan personel. Wartawan kata Gabo adalah kelenjar dan bukan pekerjaan.

Kini, penulis novel dan wartawan legendaris, yang menjadi pahlawan bagi kaum kiri Amerika Latin dan dihormati oleh banyak wartawan itu, telah tiada. Kekebalan tubuhnya di usia yang renta, tak berdaya melawan bakteri yang memenuhi rongga paru-parunya, selain infeksi yang menyumbat saluran kemihnya. Despedida Senor Gabo.

 

Untuk mas Bambang Bujono dan Goenawan Mohamad.
Sebagian cerita Gabo ini diambil dari Sastra Alibi. Terima kasih untuk Ronny Agustinus.