
Jangan bertanya mengapa SBY rajin membantah untuk tudingan dan kritik yang ditujukan kepadanya dan keluarganya. Lebih baik Anda bertanya, ukuran sepatu SBY yang bermerek Bally yang harganya bisa mencapai Rp 7 juta sepasang, meski SBY dan orang-orangnya mungkin akan membantah pula, sepatu SBY bernomor.
oleh Rusdi Mathari
Kalau ada presiden republik ini yang paling rajin membantah dan menampik tudingan miring, terutama yang ditujukan kepada dirinya dan keluarganya, maka Susilo Bambang Yudhoyono barangkali orangnya. Presiden yang terlihat dan berkesan kalem, penuh wibawa, dan memancarkan karisma itu, ternyata reaktif dan mungkin pula emosional menanggapi hampir setiap tudingan dan kritikan yang ditujukan kepada dirinya dan keluarganya. Sering pula dalam bantahannya, SBY menyertakan kata-kata “fitnah” atau “prihatin” kemudian balik menuding atau mengkririk, kendati tentu dia tak perlu merasa sedang balik menfitnah atau merasa prihatin. Lalu menyusul bantahannya, sering pula muncul kejadian atau manuver politik, yang oleh sebagian orang kemudian dibaca atau ditafsirkan sebagai pengalihan perhatian agar publik melupakan pokok persoalan, kendati tafsir dan bacaan orang itu pun masih bisa diperdebatkan.
Suatu hari di ujung April 2007, ketika memberikan ceramah di depan majelis taklim Yayasan Islamic Center Jakarta, SBY membantah dirinya adalah sosok penakut dan peragu. Saat itu SBY baru tiga tahun menjadi presiden dan lawan-lawan politiknya mengkritiknya sebagai presiden yang tidak tegas menyelesaikan persoalan dan ragu mengambil keputusan, termasuk untuk menghukum koruptor, dan melunasi utang Indonesia kepada Dana Monter Internasional atau IMF.
Menjawab tudingan itu, SBY menyatakan dirinya tidak takut pada apa pun ketika menegakkan hukum dan perlakuan yang adil bagi seluruh rakyat. Sebagai pemimpin yang mengemban amanat rakyat, kata dia, dirinya tak bisa begitu saja mengambil keputusan. Seorang pemimpin juga tidak boleh mempermainkan undang-undang, ketentuan, atau konstitusi ketika mengambil keputusan. “Saya memang takut. Takut melanggar larangan Allah, melanggar konstitusi, dan mengambil keputusan tidak adil.” Begitulah bantahan SBY.
Sekitar setahun setelah SBY mengaku tidak takut pada apapun itu, Amien Rais yang kalah bertarung di Pemilu 2004 menuding pusat korupsi di Indonesia berada di jantung kekuasaan. Kata Amien, jantung kekuasaan adalah Istana, dan Istana [tempat SBY memerintah] bukan bagian dari solusi, melainkan bagian dari masalah korupsi. “Selama yang di Istana tidak berani membedah korupsi, maka yakinlah yang akan kita temukan adalah [koruptor] yang kecil-kecil saja,” kata Amien.
Tudingan Amien itu mendasarkan pada analisis yang pernah diberikan Denny Indrayana [waktu itu masih disebut pakar hukum dari UGM]. Mengutip Denny, Amien menyebut ada empat episentrum korupsi di Indonesia, yaitu Cendana [Soeharto], konglomerat hitam, senjata/militer [TNI/Polri], dan Istana [lihat “Amien Rais: Istana adalah sumber korupsi” Kompas.com 11 April 2008]. Belakangan, ketika ditarik ke pusat kekuasaan oleh SBY [kini menjadi wakil menteri], Denny berkali-kali membantah pernah memberikan analisis hukum seperti yang dikutip Amien itu.
Dana pemilu
Saling tuding-bantah antara Amien dan SBY sebetulnya sudah terjadi sejak Pemilu 2004. Tudingan dan bantahan yang paling ramai ketika SBY menolak sinyalemen Amien tentang calon presiden di Pemilu 2004 yang menerima dana dari Washington, Amerika Serikat. Amien mengeluarkan pernyataan itu menyusul kisruh kasus korupsi dana nonbujeter Rokhmin Daruri.
Rokhmin adalah menteri Kelautan dan Perikanan di era presiden Megawati. Di era SBY, Rokhmin diseret ke pengadilan karena tuduhan korupsi. Di pengadilan, dia justru membeberkan fakta mengejutkan. Kata dia, dana nonbujeter dari departemennya mengalir kepada banyak tokoh, anggota DPR, partai politik, wartawan, dan tim sukses para calon presiden. Amien mengakui tim suksesnya termasuk yang menerima aliran dana dari Rokhmin, tapi kata dia, ada calon presiden lain yang menerima dana dari Amerika dalam jumlah yang jauh lebih besar.
Amien tidak menyebutkan nama calon presiden yang dimaksud, tapi SBY rupanya merasa tudingan Amien diarahkan kepadanya. Seusai salat Jumat, 25 Mei 2007, dia karena itu menggelar jumpa pers di Istana, semata untuk menepis tudingan Amien. Kata SBY, tudingan Amien sungguh keterlaluan, fitnah yang kejam. Tidak lupa SBY menyebut naudubillah, istilah dalam bahasa Arab yang artinya kurang-lebih, berlindung kepada Tuhan.
Untuk mendukung bantahan SBY, Nurussalam, majelis zikir yang dibentuk SBY, melengkapi dengan menerbitkan buku Kejamnya Fitnah. Buku berisi kumpulan khotbah Jumat H. Mohammad Hidayat di Masjid Baitulrrahim di lingkungan Istana itu seolah hendak menyatakan Amien telah menfitnah SBY. Kasus ini dianggap selesai, setelah keduanya bertemu di Istana; berangkulan, baku cium pipi, lalu bersepakat melupakan saling tuding dan bantah di antara mereka.
Tuduhan bahwa SBY menerima dana asing dalam pencalonan presiden, kembali muncul seusai Pemilu 2009. Kali ini yang menuding adalah Indonesia Corruption Watch. LSM penggiat antikorupsi itu menuding pasangan SBY-Boediono menerima sumbangan dari PT Northstar Pasific Investasi dan PT Polykfilated. Menurut ICW, Northstar berafiliasi dengan Texas Pasific Group, perusahaan private equality dari Amerika Serikat. Sedangkan Polykfilatex diduga perusahaan luar negeri yang memproduksi sepatu dan pakaian olahraga merek Fila.
Namun menanggapi tudingan ICW, yang membantah bukan SBY, melainkan cukup Marzuki Alie. Kata Marzuki, tudingan ICW terlalu gegabah, tanpa dasar, dan tanpa fakta [lihat “Kubu SBY-Boediono bantah terima sumbangan asing” Tempo.co, 29 Juli 2009 ]. Hal yang justru dibantah langsung oleh SBY adalah anggapan tentang kecurangan Partai Demokrat pada Pemilu 2009.
Saat itu perolehan suara Partai Demokrat memang sungguh mencengangkan: melonjak hingga 300% dibandingkan perolehan suara pada Pemilu 2004. Dari semula hanya 7,5% dari total suara yang masuk pada Pemilu 2004 menjadi 23% pada Pemilu 2009. Itu persentase kenaikan terbesar untuk perolehan suara sebuah partai, dan mungkin yang pertama dan satu-satunya dalam sejarah pemilu di negara mana pun.
Tak ada yang menuding dan tak ada yang menuduh langsung SBY dan Partai Demokrat berlaku curang, kecuali obrolan yang tak terungkap ke permukaan. Namun, SBY rupanya merasa, obrolan semacam itu sudah berkembang di sejumlah kalangan. Karena itu dia merasa perlu membantah bahwa Demokrat telah berlaku curang pada Pemilu 2009.
Kata SBY, “Bagaimana sih caranya curang, andaikata Partai Demokrat mau curang? Tidak pernah terlintas kok caranya. Bagaimana caranya? Kalau bisa tunjukkan dengan bukti, masukkan ke Bawaslu.” Dia menyerukan orang-orang yang menuduh untuk bersikap sportif ketika mengalami kekalahan dalam kompetisi, dan meminta para petinggi partai untuk tidak cepat menuduh. Namun siapa yang menuduh?
Beberapa hari seusai pemilu presiden 2009, SBY berpidato di Istana tentang pihak-pihak yang berusaha menggagalkan hasil pemilu presiden dan karena itu dianggap sebagai upaya menggagalkan pelantikan dirinya dan Boediono sebagai presiden dan wakil presiden terpilih, menyusul ledakan bom di Hotel JW Marriot Jakarta. Sebagian orang mendukung sikap SBY, tapi lawan-lawan politik SBY diliputi rasa cemas karena khawatir dituding memicu teror untuk menolak hasil pemilu. Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Megawati dan kalah bertarung di Pemilu 2009, bahkan menemui SBY dan menyatakan bersedia membantu memberantas aksi teror. Entah mengapa.
Untuk soal dana pemilu itu, tentu saja yang menghebohkan adalah soal kucuran dana talangan kepada Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun yang sebagian dituduhkan mengalir ke pasangan SBY-Boediono untuk kepentingan pemenangan mereka. Anggota DPR yang baru terpilih saat itu bahkan mengusulkan hak angket untuk meminta pertanggungjawaban SBY. Ada seruan pula, agar Boediono dan Sri Mulyani segera nonaktif menyusul temuan hasil audit BPK yang mengungkap peran keduanya dalam proses pengucuran dana Rp 6,7 triliun kepada Century.
Menanggapi itu, SBY mengumpulkan para pemimpin media di Jakarta ke Istana. SBY mencurahkan kerisauan karena namanya, keluarganya, dan partainya diseret-seret dalam kasus Century. Meminjam istilah anak sekarang, SBY galau entah pada siapa dan karena apa. Kata dia, menjadi sesuatu yang tercela jika seorang presiden seperti dirinya mendapatkan dana atau meminta dana atau berharap ada dana dari sumber-sumber yang tidak semestinya. Pak Presiden juga meminta kasus Century dibuka seluas-luasnya, meski pernyataannya belum tentu dimaksudkan untuk membuka atau membuktikan ke mana saja dana ke Century kemudian mengalir. Pada kepemimpinan Bibit Waluyo dan Chandra Hamzah, ketika KPK bersiap mengusut skandal itu, muncul kemudian apa yang disebut sebagai kasus Cicak-Buaya; KPK dihadap-hadapkan dengan Polri.
Century, Antasari, pajak keluarga
Masih seputar skandal Century, SBY juga membantah pernyataan Antasari Azhar. Antasari adalah eks ketua KPK yang dipenjara karena tuduhan kriminal pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen. Ketika masih menjabat, beberapa orang beranggapan Antasari mengetahui soal kecurangan Pemilu 2009 terutama soal aliran dana Rp 6,7 triliun ke Century yang disalahgunakan dan kasus dugaan manipulasi IT Komisi Pemilihan Umum.
Agustus 2012, dalam wawancara dengan wartawan Metro TV, Antasari membuat pengakuan mengejutkan. Dia mengaku suatu hari pada Oktober 2008 telah diundang ke Istana oleh SBY untuk mengikuti rapat membahas skenario pencairan dana Rp 6,7 triliun untuk Century. Rapat dipimpin SBY dan dihadiri sejumlah pejabat. Antara lain Bambang Hendarso Danuri [saat itu kepala Polri], Hendarman Supandji [saat itu jaksa agung], Widodo AS [saat itu menko Polhukam], Sri Mulyani, Hatta Rajasa [mensesneg], Andi Mallarangeng [juru bicara kepresidenan], dan Denny Indrayana [saat itu staf khusus presiden].
SBY membantah pernyataan Antasari. Dalam keterangannya kepada wartawan di acara jumpa pers, SBY menyatakan, dalam pertemuan yang disebut Antasari, tidak ada sama sekali yang menyinggung nama Bank Century atau membahas bailout Bank Century. Dia mengaku juga memiliki dokumentasi pertemuan, rekaman kaset, catatan dari tiap-tiap menteri, dan transkripsi yang menjadi bukti bahwa dalam pertemuan tersebut Century memang tidak dibahas sama sekali.
Lalu Denny yang sudah menjadi wakil menteri pun menguatkan bantahan bosnya. “Ini bulan Puasa. Bulan Ramadan. Di bulan lain saja tidak boleh kita berbohong, apalagi di bulan suci ini. Saya sarankan janganlah kita menyebar sensasi, apalagi fitnah. Pernyataan Antasari itu sama sekali tidak benar.” Begitulah kata Denny, di bulan puasa tahun lalu.
Jumpa pers yang sama juga dilakukan SBY untuk membantah berita tentang pembayaran pajak oleh dirinya dan dua anaknya untuk SPT 2011, yang tidak menyebutkan terperinci sejumlah penghasilan mereka. Berita itu dimuat di The Jakarta Post, koran berbahasa Inggris dengan judul “First family tax returns raises flags,” 30 Januari 2013.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh wartawan The Jakarta Post, koran itu menulis antara lain; SPT atau Surat Pemberitahuan 2011 yang dimasukkan pada kuartal pertama 2012 tertulis SBY memperoleh penghasilan Rp 1,37 miliar selama setahun sebagai presiden dan tambahan Rp 107 juta dari sejumlah royalti. Ditulis pula SBY membuka sejumlah rekening bank yang total nilainya Rp 4,98 miliar dan US$ 589.188 atau sekitar Rp 5,7 miliar, tapi tak disebutkan sumber dananya. Menurut The Jakarta Post, dokumen itu sudah dikonfirmasi kebenarannya oleh sejumlah orang yang bekerja di Ditjen Pajak.
Sewaktu The Jakarta Post memuat berita pajak SBY dan dua anaknya [Agus Harimurti dan Edhie “Ibas” Baskoro], SBY meninggalkan Jakarta untuk melakukan kunjungan ke tiga negara di Afrika. Sepulang dari kunjungan itu, SBY mampir ke Mekkah untuk melakukan umroh. Di ibu kota Arab Saudi, Jeddah, dia membantah berita The Jakarta Post.
Kata SBY, data yang diungkap TheJakarta Post tidak sama dengan yang ada di Ditjen Pajak. Dia juga menyatakan dirinya dan keluarganya taat membayar pajak, dan tidak ada penyimpangan dalam pembayarannya. “Saya prihatin keluarga saya yang bekerja seperti ini dengan harta yang bisa kami pertanggungjawabkan, dianggap tidak taat membayar pajak.” Begitu kata SBY.
Untuk soal pajak SBY ini, Faisal Basri punya cerita tersendiri. Ketika maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta 2012, kekayaan Faisal Rp 4,2 miliar. Itu sudah diverifikasi KPK. Dan dalam tiga tahun terakhir, menurut Faisal, dia membayar pajak Rp 304 juta atau lebih besar dari pajak yang dibayarkan SBY. “Jadi, tolong disampaikan, nyesek saya terus-terusan bayar [pajak] segini. Makanya kekayaan saya nggak nambah-nambah,” kata Faisal.
Faisal hanya PNS bergaji Rp 4 jutaan sebulan, atau 15 kali lebih kecil dibandingkan gaji SBY sebagai presiden. Namun dengan gaji sebesar itu, pajak yang dibayarkan SBY [2007] hanya Rp 127 juta, sedangkan Faisal membayar pajak Rp 250 juta [2008]. Kata Faisal, sejak dia membandingkan pajaknya dengan pajak yang dibayar SBY, sejak saat itu pula SBY tidak pernah mengumumkan berapa pajak yang dibayarnya.
Entah mengapa, SBY tidak bereaksi langsung terhadap “cerita” Faisal. Tidak ada juga bantahan, seperti yang biasa dan hampir selalu dia lakukan. Reaksi terhadap pernyataan Faisal justru datang dari Sekretaris Kabinet Dipo Alam. Kata Dipo, pernyataan Faisal tidak etis karena terlalu mendiskreditkan orang lain. Soal pembayaran pajak Faisal yang lebih tinggi dari SBY, Dipo mengaku sudah melakukan kroscek, dan menyatakan klaim Faisal tidak benar. Tentu hanya Dipo yang tahu benar atau tidaknya dia telah melakukan kroscek soal pembayaran pajak SBY yang jauh lebih kecil dibandingkan pembayaran pajak Faisal.
Jokowi dan SMS
Di awal tahun ini, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi menggebrak kebuntuan birokrasi di Pemprov DKI. Dia rajin mengunjungi berbagai tempat untuk berdialog dengan warga dan mengecek kesiapan aparat Pemprov DKI. Muncul kemudian istilah blusukan, yang berasal dari kata blusuk dalam bahasa Jawa. Artinya kurang-lebih, keluar-masuk ke tempat-tempat yang tidak lazim dikunjungi pejabat. Dalam bahasa politik, ini disebut turba alias turun ke bawah. Karena blusukannya itu, Jokowi populer, meski dia sudah populer jauh sebelum menjadi gubernur Jakarta.
Setelah itu SBY pun melakukan blusukan. Dia mendatangi kampung nelayan di Tanjung Pasir, Teluk Naga di Tangerang, Banten. Dia berdialog dengan banyak nelayan dan warga di sana, meski gaya dan pendekataannya jauh berbeda dari blusukan ala Jokowi. Hal yang menarik, kemudian muncul perdebatan tentang siapa yang lebih dulu blusukan dan siapa meniru siapa: SBY atau Jokowi. Lebih menarik lagi karena orang-orang Demokrat dan Istana lalu mengklaim SBY lebih dulu blusukan dibandingkan Jokowi. kendati Jokowi sama sekali tidak mempersoalkannya. Jokowi sebaliknya malah mengakui, dalam soal blusukan, SBY lebih dulu melakukannya ketimbang dirinya.
Bantahan terakhir SBY muncul bulan lalu ketika kisruh Demokrat dan isu Sengkuni hampir setiap hari menjadi pemberitaan media. Waktu itu muncul tuduhan bahwa SBY lalai menjalankan tugas negara karena dia lebih banyak dan hanya mementingkan untuk mengurus partainya. Kata SBY, dia tetap menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai presiden. Dia memastikan, “… di hadapan rakyat Indonesia, saya tidak melalaikan tugas. Saya menjalankan roda pemerintahan dan memimpin kehidupan bernegara.”
Beberapa hari sebelumnya, SBY membantah anggapan dirinya tidak mengirimkan SMS atau pesan pendek ke Anas Urbaningrum sebagai ketua umum Partai Demokrat. SMS yang dimaksud adalah SMS SBY yang dikirimkan dari Arab Saudi dan memerintahkan kader Demokrat berdoa menyelamatkan partai. SMS itu kabarnya dikirimkan ke seluruh petinggi Demokrat, tapi tidak kepada Anas.
“Saya memang mengirim SMS [untuk berdoa] itu. SMS yang kami kirim benar-benar saya tujukan kepada kader dan anggota, agar mereka berdoa bersama, sementara saya juga berdoa di tanah suci Mekkah dan Madinah. Tapi, biasalah politik. Kemudian diberitakan seolah-olah ketua umum [Anas] tidak dikirim SMS. Siapa bilang?” Begitulah bantahan SBY soal SMS kepada Anas, yang dia sampaikan kepada wartawan di pesawat kepresidenan milik Republik Indonesia dalam perjalanan dari Kairo menuju Jakarta.
Di luar semua bantahan itu, masih banyak bantahan SBY lainnya. Suatu kali dia membantah akan merombak kabinet. Di waktu lain, dia membantah akan mengumumkan nama calon menpora pengganti Andi Mallarangeng. SBY juga membantah dirinya membiarkan kasus pelanggaran HAM, meski sejumlah korban dan penggiat penegakan HAM setiap Kamis selama bertahun-tahun berdiri di seberang Istana menuntut perhatian SBY. Terakhir pekan lalu, Suciwati, istri almarhum Munir menagih SBY yang pernah berjanji akan menuntaskan kasus pembunuhan suaminya.
Semua bantahan SBY itu, biasanya sebentar menjadi perdebatan publik, sebelum akhirnya redup dan kemudian dilupakan. Karena itu, jangan bertanya mengapa SBY rajin membantah. Lebih baik Anda bertanya, ukuran sepatu SBY yang bermerek Bally yang harganya bisa mencapai Rp 7 juta sepasang, meski SBY dan orang-orangnya mungkin akan membantah pula, sepatu SBY bernomor. Mungkin pula dengan kata prihatin.
Maret 3, 2013 at 2:49 am
Assalamualaikum Sdr Rusdi Mathari yang baik, saya matur-nuwun dengan tulisan Sdr yang blak-blakan ini. Luar biasa! Sdr adalah pemberani, yaitu “menelanjangi” seorang tokoh nasional. **** Saya nangis saat membaca sampai setengah tulisan Sdr ini. Hampir tak percaya, jika ia sudah begitu dekaden. Benar faktual? Atawa sudah didramatisasu oleh media massa? **** Saat hampir rampung membaca tulisan Sdr ini, perut saya terasa “sakit-laten” (alarm dari ketidaksadaran saya sendiri). **** Sdr, politik praktis adalah “perang” di antara para machiavelli. Hati-hati di jalan. Dan, jangan makan di sembarang tempat. Nuwun
cc Semua warga fk uns: Ingat Dr Yusi Darmawan Caropeboka (keponakan Caropeboka, anggota cc pki dn aidit), & Dr Ibnu Majah (aktivis inti NU) Habibie Center
For the sake of my responsibility I have written the truth, so hear me
ruwihadi Perumnas Majasanga, indonesia
revolution v
Maret 3, 2013 at 7:55 pm
sangat konpeherensip bang Rusdy…
Maret 4, 2013 at 7:15 pm
Lengkap dan mencerahkan, hehehe
Maret 5, 2013 at 11:40 am
Ahaahahaha, bantah terusss. Btw hal seperti itu adalah bersifat tabiat dan psikis, lebih baik medical n psikologis check up dulu sebelum jadi pejabat 🙂