Menjadi ketua umum partai itu seperti memegang kendi ajaib. Sekali gosok, semua kebutuhan terpenuhi. Uang tidak perlu dicari karena akan mengalir deras begitu saja.

oleh Rusdi Mathari
Koran The Age dan Sidney Morning Herald lebih-kurang setahun yang lalu menyebut Jusuf Kalla menebar uang pada saat Munas Golkar 2004 di Bali agar dirinya dipilih sebagai ketua umum Partai Golkar. Di bawah judul berita “Yudhoyono Abused Power,” dua koran Australia yang mengutip dokumen WikiLeaks itu menulis, tim pemenangan Kalla telah menawarkan Rp 200 juta untuk peserta munas dari kabupaten, dan Rp 500 juta untuk  peserta dari provinsi.

Apa kata Kalla?

Eks wakil presiden itu berterus-terang memang membagikan uang untuk peserta Munas Golkar 2004. Jumlahnya berkisar Rp 2-3 miliar dan digunakan untuk membayari ongkos tiket pesawat peserta munas yang berjumlah 3 ribu orang. Dia mengakui pula ikut membayar ongkos hotel para peserta karena  mengongkosi tiket pesawat dan hotel para peserta munas sudah menjadi kebiasaan calon ketua Partai Golkar. Kata Kalla, “Hampir semua partai juga begitu. Itu bukan rahasia lagi.”

Pekan silam ketika saya berbincang dengan ketua umum sebuah partai besar, dia membenarkan pernyataan Kalla. Kata dia, hampir tidak ada calon ketua umum partai di Indonesia yang tidak mengeluarkan uang pada waktu bertarung di kongres, munas atau muktamar kecuali mungkin Megawati karena memang tidak ada pesaingnya di PDI-P. Bedanya, Kalla punya nyali untuk berterus-terang sementara ketua umum partai yang lain tidak berani mengakui telah membagikan uang. “Mana ada calon yang tidak membagi-bagikan uang,” katanya.

Dari mana uang mereka?

Kalla menyebut dari uang pribadi bukan hasil korupsi, dan sampai titik tertentu ucapan Kalla itu bisa diterima mengingat dia memang pengusaha dan kaya sejak muda. Dulu pun ada kisah, salah satu calon ketua umum sebuah partai membagikan uang ke peserta kongres agar dipilih menjadi ketua umum. Jumlahnya puluhan miliar, dan dia memang dikenal sebagai pengusaha sukses dari daerah yang mentereng dengan berbagai usaha di Jakarta. Hasilnya, dia dipilih menjadi ketua umum kendati akhirnya didepak, dan kini namanya dilupakan.

Tak lalu calon ketua umum partai yang bukan pengusaha dan tidak berasal dari keluarga kaya, tidak membagikan uang. Salah satu ketua di sebuah partai bercerita, ketika seseorang menjadi kandidat ketua umum partai, dia sebetulnya sudah memegang kendi ajaib yang sekali gosok, semua keinginan dan kebutuhan bisa terpenuhi. Maksudnya, banyak orang berduit [pengusaha], yang entah darimana, dikenal atau tidak dikenal yang tiba-tiba menjelma menjadi dermawan: menawarkan dan memberikan banyak “bantuan.”

Karena itu kata dia, tidak usah heran kalau Kongres Demokrat di Bandung seperti disebutkan M. Nazaruddin misalnya, penuh dengan politik uang. Kongres partai semacam itu adalah momentum bagi orang-orang berduit untuk menanam “budi” dan “jasa.” Seandainya di kongres ada 3 calon, mereka juga tidak segan meletakkan uangnya pada 3 keranjang. Target mereka bukan siapa yang menang, melainkan ikut menanamm “budi” dan “jasa” itu, yang kelak mereka harapkan “buahnya” bisa dipanen. “Munafik kalau calon-calon yang bertarung di kongres Demokrat di Bandung mengatakan tidak membagikan uang ke peserta kongres,” katanya.

Kalau sudah terpilih menjadi ketua umum, kendi ajaib itu akan semakin bertuah. Tanpa perlu digosok pun, semua kebutuhan ketua umum bisa terpenuhi karena “sumbangan” dan “bantuan” seolah datang dari 8 penjuru angin. Ada yang  memberi atau membelikan rumah atau tanah; menyumbang material atau uang untuk renovasi tempat tinggal; meminjamkan atau membelikan kendaraan; menyediakan tiket gratis atau menawarkan pesawat pribadi untuk safari partai; dan sebagainya.

Dulu, ketika Amien Rais menjadi ketua umum PAN misalnya, dia menghuni sebuah rumah di satu kompleks perumahan mewah di Gandaria, Jakarta Selatan. Amien mengaku, rumah itu pinjaman seseorang yang bersimpati kepadanya. Juga mobil yang dia gunakan selama berada di Jakarta. Benar-tidaknya, tentu hanya Amien yang tahu.

Begitu pula Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat. Dia membangun dan merenovasi rumahnya di kompleks perumahan TNI-AL, Duren Sawit, Jakarta Timur antara lain karena sumbangan dari orang-orang kaya yang bersimpati kepadanya. “Pendek kata, menjadi ketua umum partai itu tidak usah bekerja. Uang tidak perlu dicari karena akan mengalir deras begitu saja, dan itu bukan korupsi” katanya.

Tentu pernyataan itu bisa diperdebatkan tapi masalahnya memang belum ada peraturan yang mengatur soal sumbang-menyumbang kepada ketua umum partai. Sejauh ini yang diatur adalah sumbangan kepada partai atau calon presiden untuk keperluan dana kampanye pada saat pemilu. Ketua umum partai itu pun bukan pejabat negara sehingga semua bentuk sumbangan kepada mereka tidak termasuk gratifikasi yang harus dilaporkan kepada negara. Yang rumit adalah ketua umum partai yang merangkap sebagai pejabat negara seperti Hatta Rajasa [ketua umum PAN dan menko perekonomian] dan Muhaimin Iskandar [ketua umum PKB dan menteri tenaga kerja dan transmigrasi], karena sumbangan dari simpatisan kepada mereka [kalau ada] akan sulit dicek: mana yang untuk jabatan ketua umum, dan mana yang untuk posisinya sebagai menteri.

Masalah lainnya adalah soal mengetam “budi” dan “jasa” itu. Andai pun benar, semua uang dan materi yang disumbangkan orang-orang yang bersimpati kepada seorang ketua umum partai bukan uang hasil korupsi, kecil kemungkinannya mereka yang ikut menyumbang tidak mengharapkan imbal-balik. Mereka mengerti betul, ketua umum partai adalah orang yang menentukan semua keputusan dan kebijakan partai, kecuali di Demokrat yang tampak sangat ditentukan oleh ketua Dewan Pembina. Karena menentukan, para penyumbang itu berharap bisa memengaruhi kebijakan partai dan kebijakan negara kalau ketua umum partai itu menjadi pejabat negara, untuk melindungi kepentingan bisnis dan politik mereka.

Dan orang-orang berduit yang “bersimpati” itu tak hanya menanam “budi” dan “jasa” baik kepada ketua umum partai. Mereka bisa dengan mudah membelikan rumah atau memberi fasilitas kepada tokoh apa saja, partai-nonpartai, sipil-militer dan sebagainya. Rumah mewah Faisal Basri [ekonom dan dosen yang kini akan maju di Pilkada DKI Jakarta]di Kebayoran Baru misalnya, dibeli antara lain berkat talangan Rp 1 miliar dari seorang pengusaha. Sisanya mendapat pinjaman dari bank. Untuk semua fasilitas AC di rumah itu, juga disumbang oleh pengusaha Rachmat Gobel.