Berita tentang kabar penangkapan Aulia Pohan di Swiss, hanya bersumber dari SMS yang katanya diterima Permadi. Bantahan terhadap berita itu pun berasal dari SMS yang katanya, dikirimkan oleh Aulia Pohan.
oleh Rusdi Mathari
Anissa Pohan berkeluh kesah soal berita tentang kabar penangkapan Aulia Pohan di Swiss. Sabtu lalu dia menuliskan unek-unek di Twitter terhadap berita itu. Dia lalu “mencolek” detikcom, dan antara lain menyayangkan detikcom yang memuat pernyataan Djoko Susilo, Duta Besar RI di Swiss yang membantah kabar penangkapan bapaknya. Anissa mempertanyakan: mengapa [wartawan] detikcom tidak bertanya ke sumber pertama [Aulia Pohan] dan justru meminta keterangan dari dubes RI di Swiss.
Budiono Darsono, Pemimpin Redaksi detikcom yang membalas keluh kesah Anissa itu menjelaskan, berita yang dimuat detikcom justru untuk meluruskan berita tentang kabar penangkapan Aulia Pohan di Swiss. Anissa menjawab penjelasan Budiono dengan bertanya: kalau tahu hoax [bohong] mengapa berita itu masih dimuat [detikcom]? Sahut-menyahut antara Anissa dan Budiono, setelah itu terus berlangsung. Anissa bertanya dan Budiono menjawab.
Berita tentang kabar penangkapan Aulia Pohan di Swiss, sebetulnya sudah muncul di media online sejak Kamis malam, 15 Desember 2011 atau dua hari sebelum Anissa melemparkan unek-unek di Twitter dan memprotes detikcom. Situs rakyatmerdekaonline.com memuat berita itu pada pukul 21.07 WIB dengan judul “Besan SBY, Aulia Pohan Ditangkap di Swiss?” Sumber berita itu adalah SMS yang diterima oleh Permadi tapi politisi yang hengkang dari PDIP dan kini bergabung dengan Partai Gerindra itu, mengaku juga tidak tahu siapa pengirim SMS, dan tidak mengenali nomor pengirimnya.
Sekitar setengah jam kemudian, rakyatmerdekaonline.com menurunkan berita tentang belum jelasnya kabar penangkapan Aulia Pohan di Swiss. Judul beritanya, “Kabar Penangkapan Aulia Pohan Belum Jelas.” Berita itu ditulis berdasarkan sumber yang tidak disebutkan namanya [yang konon pula] di KBRI Swiss. Entah mengapa, keterangan sumber itu yang menghubungkan berita penangkapan Aulia Pohan di Swiss dengan Konvensi Wina 1963 juga ditulis oleh rakyatmerdekaonline.com.
Berita penangkapan Aulia Pohan di Swiss itu mulai ramai diberitakan media online, Jumat menjelang malam. Sabtu 17 Desember 2011, koran Kompas memuat pernyataan antara lain dari Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa dan Menko Politik Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto yang mengaku belum tahu tentang kabar penangkapan Aulia Pohan di Swiss. Berita pendek itu muncul di halaman 3, di bagian paling bawah.
Beberapa jam sesudah koran Kompas beredar, berita tentang penangkapan Aulia Pohan semakin ramai ditulis oleh media online meski pun isinya hampir sama semua: bantahan dari pejabat pemerintah. Situs rakyatmerdekaonline.com termasuk yang paling awal memuat pernyataan bantahan Aulia Pohan yang berasal dari SMS yang konon dikirimkan oleh Aulia Pohan ke sejumlah wartawan. Pernyataan Aulia Pohan itu lalu ramai diberitakan di sebagian besar media online, dengan judul dan isi berita yang seragam.
Andai tidak malas
Aulia Pohan adalah nama besar. Dia eks pejabat BI dan besan SBY. Namanya pernah menjadi berita lantaran dihukum karena terbukti terlibat kasus suap di BI, dan sebab menerima remisi pada tahun lalu. Nama Aulia Pohan karena itu punya nilai tersendiri bagi wartawan sehingga tidak mengherankan, kalau SMS yang diterima oleh Permadi tentang kabar penangkapan Aulia Pohan di Swiss adalah informasi yang niscaya tidak akan dilewatkan.
Akan tetapi, dalam kasus berita tentang kabar penangkapan Aulia Pohan di Swiss, informasi itu jelas ditulis dengan terburu-buru. Tidak ada konfirmasi dari Aulia Pohan atau pihak keluarga, tidak ada cek dan cek ulang, dan tidak berimbang. Bisa dipahami, kalau kemudian ada yang mengatakan, wartawan yang kali pertama menulis berita itu telah menyalahi Kode Etik Jurnalistik.
Jelas tercantum di Kode Etik Jurnalistik “wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.” Termasuk ke dalam menempuh cara-cara profesional itu adalah keharusan wartawan untuk menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya. Kode Etik Jurnalistik juga menegaskan, “wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.” Penegasan ini, mengharuskan wartawan untuk menguji informasi yang diperolehnya dengan melakukan cek dan cek ulang kebenaran informasi yang diterimanya.
Permadi tentu saja adalah sumber yang jelas. Dia politisi Gerindra. Alamat rumah dan kantornya juga terang. Akan tetapi, bagaimana dengan SMS yang diterima oleh Permadi? Apalagi dia pun mengaku tidak tahu siapa pengirim SMS itu?
Benar, SMS yang [katanya] diterima oleh Permadi tentang penangkapan Aulia Pohan di Swiss itu adalah fakta. Akan tetapi, fakta itu adalah fakta awal yang [semestinya] masih harus diuji kebenarannya dengan mengeceknya ke sumber lain yang dinilai relevan sebelum ditulis menjadi berita. Misalnya mengecek kepada imigrasi Bandara Sukarno-Hatta: apakah pekan lalu atau pekan sebelumnya, nama Aulia Pohan benar tercatat pergi ke luar negeri [Swiss] atau tidak.
Fakta awal semacam itu, berbeda dengan fakta peristiwa. Misalnya seperti fakta kedatangan para petani dari Mesuji, Lampung ke DPR, Senayan, yang melaporkan kasus pembantaian puluhan petani di kampung mereka. Fakta itu bisa langsung ditulis dan diberitakan meski pun tanpa terlebih dulu mengecek kebenaran informasi yang disampaikan para petani itu. Kenapa?
Karena fakta peristiwanya sudah ada dan jelas: sejumlah petani datang ke DPR, dan mengadukan adanya pembunuhan terhadap rekan-rekan atau kerabat mereka di Mesuji.
Berita tentang kabar penangkapan Aulia Pohan di Swiss, kenyataannya dimuat apa adanya hanya berdasarkan SMS yang diterima oleh Permadi. Tidak ada usaha dari si wartawan untuk mencari tahu mengapa Aulia Pohan ditangkap, dan mengecek ulang informasi penangkapan yang berasal dari SMS Permadi itu. Tidak mengherankan, ketika informasi itu ditulis menjadi berita, yang muncul kemudian adalah berita-berita yang berisi pernyataan bantahan dari pihak keluarga Aulia Pohan, dan pejabat pemerintah.
Padahal, seandainya wartawan yang kali pertama menerima informasi dari Permadi itu tidak malas dan mau mengecek ke imigrasi bandara, dia mungkin akan mendapatkan informasi yang mungkin bisa akan berbeda dengan keterangan yang belakangan disampaikan pihak imigrasi bandara yang hanya berisi bantahan: Aulia Pohan tidak meninggalkan Indonesia pekan lalu. Artinya, informasi yang hanya berdasarkan SMS yang diterima oleh Permadi, belum tentu adalah informasi yang sama sekali tidak benar.
Begitu pula dengan SMS bantahan terhadap berita itu yang konon berasal dari Aulia Pohan, juga ditulis apa adanya. Sejumlah media online bahkan menurunkan berita bantahan Aulia Pohan dengan memastikan dia berada di Jakarta, disertai penjelasan Aulia Pohan yang mengaku juga menghadiri acara pernikahan Edhie Baskoro [Ibas]-Siti Rubi Aliya.
Lalu, apakah benar Aulia Pohan berada di Jakarta sementara sumbernya hanya SMS yang dikirimkan oleh yang bersangkutan? Tidakkah SMS dari Aulia Pohan itu seharusnya juga perlu dicek: benar berasal dari nomor telepon genggamnya dan dikirim olehnya, atau berasal dari nomor lain? Mengapa dia merasa perlu juga menjelaskan, hadir di acara pernikahan Ibas dan Aliya? Mengapa pula Aulia Pohan hanya mengirimkan SMS, dan mengapa tidak melakukan wawancara langsung, misalnya?
Kalau mau dikembangkan lebih jauh: mengapa pejabat pemerintah harus sibuk membantah berita tentang kabar penangkapan Aulia Pohan di Swiss, sementara dia bukan pejabat negara atau mewakili negara dan pemerintah kecuali hanya besan dari SBY yang kebetulan adalah presiden RI?
Ulama dan pisang
Tak lalu, orang bisa langsung curiga kepada media online yang kali pertama menulis informasi tentang kabar penangkapan Aulia Pohan di Swiss itu. Sudah bukan rahasia lagi, sebagian besar media online, kini menjadi media yang mengabdi hanya kepada kecepatan memberitakan. Semakin lekas memberitakan, lalu dianggap semakin luar biasa dan konon karena itu akan semakin banyak dibaca orang. Sebaliknya, media online yang kalah cepat memberitakan, dianggap sebagai media yang hanya mengekor pada berita yang sudah dimuat di media online lainnya yang sudah lebih dulu memberitakan, dan beritanya karena itu dianggap tidak akan dibaca orang.
Tabiat semacam itu, tentu sah-sah saja bila disertai pula dengan prinsip-prinsip jurnalistik yang sehat. Akan tetapi, kebanyakan berita yang ditulis oleh sebagian besar media online, sayangnya harus diakui malah sering tidak memenuhi Kode Etik Jurnalistik. Berita lantas ditulis apa adanya dengan tergesa-gesa. Dimuat sepotong-sepotong hanya demi memenuhi pagu jumlah berita dalam sehari atau mungkin juga untuk mengejar sensasi agar orang banyak berkunjung atau membaca. Ada pun konfirmasi atau mengecek kebenaran fakta [awal] yang diterima, menjadi hal yang belakangan dilakukan, dan tidak dimuat dalam bingkai berita yang utuh. Ia ditulis dan diberitakan, ketika fakta sebelumnya sudah [telanjur] diberitakan, persis sebuah berita yang diralat. Prinsip yang berlaku: tulis dulu, bantahan kemudian.
Itu mirip dengan berita tentang seorang ulama di Eropa yang konon melarang perempuan menyentuh pisang atau mentimun karena secara seksual dikhawatirkan bisa merangsang perempuan. Berita yang muncul sepekan sebelum muncul berita soal Aulia Pohan itu, antara lain ditulis dan disebarluaskan oleh wartawan Daily Mirror di Inggris, dan Fox News di Amerika. Seorang teman di Amerika bercerita, pernyataan ulama yang melarang perempuan menyentuh pisang itu kemudian menjadi bahan ejekan di acara talk show dari sebuah stasiun radio lokal, sembari mengesankan berita itu benar karena dimuat oleh Bikya Masr sebuah media online dari Mesir.
Diketahui belakangan, sumber berita yang ditulis Bikya Masr tidak jelas. Berita itu hanya menyebutkan seorang ulama di Eropa, tapi di Eropa bagian mana atau di negara mana, dan siapa nama ulama itu sama sekali tidak diterangkan. Redaksi Bikya Masr pun lantas mengakui telah teledor dan menyampaikan permintaan maaf. Akan tetapi, bahkan ralat dan permintaan maaf dari redaksi Bikya Masr itu pun, celakanya tidak membuat Fox News misalnya, untuk tidak terus menulis berita tentang adanya ulama yang mengeluarkan fatwa melarang perempuan menyentuh pisang. Anda bisa membaca soal ketidakbenaran berita tentang ulama dan pisang itu di addictinginfo.org.
Maka protes yang dilakukan Annisa terhadap berita penangkapan bapaknya di Swiss bisa dipahami, meski pun dia semestinya [dan akan lebih bagus] menulis bantahan resmi ke media dan bukan melemparkannya di Twitter.
Hanya saja, kemudian muncul juga pertanyaan: mengapa Annisa [hanya] menegur detikcom yang menurut Budiono Darsono, Pemred detikcom itu justru hendak meluruskan berita tentang kabar penangkapan Aulia Pohan di Swiss, itu? Lalu mengapa pula, dia baru tahu berita tentang penangkapan bapaknya, padahal berita itu sudah menyebar sejak dua hari sebelumnya di media online?
Di akhir pernyataan protesnya di Twitter, Sabtu siang dua hari lalu itu, Anissa hanya menulis: kenapa baru sekarang ya?
Ya, kenapa baru sekarang, Anissa.
Tinggalkan Balasan