Di seluruh dunia termasuk di Indonesia, glukoma menjadi penyebab kebutaan nomor dua selain katarak. Tidak ada gejala untuk penyakit ini, dan Bibin Bintariadi, wartawan Tempo dan pendiri AJI Malang itu, juga terserang glukoma sejak Senin lalu.
oleh Rusdi Mathari
Kabar menyedihkan itu saya terima dari Felix Lamuri, tadi malam: Bibin Bintariadi terserang glukoma. Paling tidak begitulah hipotesis dokter yang memeriksa Bibin. Masyaallah. Saya kemudian hanya bisa membayangkan Bibin yang ganteng itu, kini tak berdaya karena glukoma dan berharap, informasi Felix salah.
Glukoma [glaucoma] adalah penyakit progresif yang mengikuti perkembangan usia dan kesehatan. Ia merupakan sejenis kerusakan mata dan sering disebut sebagai pencuri penglihatan yang diam-diam tapi tidak ada gejala khusus untuk mendeteksi apakah seseorang terserang glukoma, atau tidak. Pada beberapa kasus malah tanpa gejala sama sekali.
Karena tanpa gejala, glukoma baru terdeteksi setelah si penderita mengalami kerusakan mata serius. Orang yang mengalaminya, tiba-tiba merasakan penglihatan berkurang, semakin berkurang, dan kemudian sama sekali tidak bisa melihat alias buta. Ketika kebutaan itu terjadi, glukoma tidak bisa lagi disembuhkan karena sel endotel trabekular meshwork di dalam mata telah hilang.
Di seluruh dunia termasuk di Indonesia, glukoma menjadi penyebab kebutaan nomor dua selain katarak. Berdasarkan survei WHO pada tahun 2000, dari sekitar 45 juta penderita kebutaan 16 persen di antaranya disebabkan oleh glukoma tapi setelah 10 tahun survei WHO itu tentu bisa berubah.
Satu hal yang paling jelas, glukoma biasa menyerang mereka yang berusia lanjut tapi Bibin baru berusia 42-an tahun. Kurang lebih tiga tahun lalu, saya pernah memberikan pelatihan menulis untuk sejumlah penderita tunanetra di Ciputat, Tangerang. Salah satu pesertanya adalah Puteri. Dia pelajar SMA luar biasa di Jakarta. Secara fisik tidak ada perbedaan antara Puteri dengan orang kebanyakan. Keduanya matanya juga utuh tapi Puteri yang baru berusia 19 tahun waktu itu, sama sekali sudah tidak bisa melihat.
Ketika saya bertanya, sejak kapan tidak bisa melihat, Puteri menjawab sejak SMA. Puteri bercerita, menurut dokter yang memeriksanya, saraf kedua matanya tidak berfungsi. Dia hanya menjawab, kejadiannya tiba-tiba: malam sebelum buta dia masih menonton televisi tapi ketika bangun tidur, sudah tidak bisa melihat apa-apa lagi.
Mungkinkah sebelum mengalami kebutaan total, Puteri terserang glukoma? Gadis berjilbab itu, tidak bisa menjawab.
Dari beberapa literatur disebutkan, sebanyak setengah dari penderita glukoma, memang tidak mengetahui bahwa mereka terserang penyakit ini. Penelitian WHO menjelaskan, sekitar 50 persen di negara maju dan 95 persen di negara berkembang, penderita glukoma tidak mengetahui bahwa mereka terserang penyakit ini, dan karena itu mereka tidak melakukan pemeriksaan atau perawatan sejak awal. Penyebab dari ketidaksadaran mereka adalah karena glukoma pada awalnya tidak menyebabkan gejala-gejala, dan kehilangan penglihatan samping [periphery] hampir tidak nyata.
Penyebab dan kesembuhan
Ada beberapa penyebab, seseorang bisa terkena glukoma. Mata yang sering kali tegang, juga menjadi penyebab glukoma tapi yang terutama, karena ada tekanan cairan yang terlalu tinggi di dalam bola mata. Tekanan itu yang lalu membuat sel retina maupun serabut saraf menjadi rusak sehingga menyebabkan ruang penglihatan menjadi semakin sempit dan penderita akhirnya buta.
Penyebab lainnya adalah penggunaan obat tetes mata secara serampangan dan tanpa petunjuk dokter. Di dunia kedokteran, obat tetes termasuk salah satu obat keras, yang sesungguhnya bisa berbahaya bagi penggunanya jika digunakan dalam waktu terus-menerus dan dalam jangka waktu lama.
Glukoma juga bisa disebabkan oleh kebiasaan tidur yang selalu menyalakan lampu terang. Sinar lampu yang terang yang ditangkap orang yang baru bangun tidur akan menyebabkan saraf mata langsung tegang. Bila hal itu terjadi terus-menerus, bola mata akan tertekan dan pada saat itulah, glukoma mulai mengintai penglihatan.
Bisakah glukoma disembuhkan?
Situs totalkesehatananda.com menulis, secara umum kehilangan penglihatan akibat glukoma tidak dapat dikembalikan, tapi glukoma dapat dikontrol. Salah satu caranya melalui perawatan yang bisa membuat tekanan pada bola mata kembali normal. Cara ini dipercaya bisa memperlambat kerusakan saraf lebih lanjut dan kehilangan penglihatan. Perawatan lain dapat dilakukan lewat penggunaan obat-obat tetes mata, laser, atau operasi.
Di Amerika, obat-obat tetes mata umumnya digunakan untuk merawat kebanyakan tipe-tipe dari glukoma. Di Eropa, laser atau operasi menjadi pilihan pertama, sedikitnya lebih sering daripada di Amerika. Satu atau lebih tipe-tipe dari obat-obat tetes mata mungkin harus dipakai sampai beberapa kali dalam sehari untuk menurunkan tekanan pada bola mata. Obat tetes ini dipercaya bisa bekerja baik mengurangi produksi cairan atau dengan mengalirkan cairan yang keluar dari mata. Setiap tipe terapi mempunyai keuntungan-keuntungannya dan potensi komplikasi-komplikasinya.
Pagi ini, Felix bercerita, Sabtu lalu Bibin sebetulnya masih bisa melihat. Itu berdasarkan keterangan istri Bibin kepada Felix. Hari berikutnya, dia mengeluh pusing dan Senin tiga hari yang lalu, Bibin sudah tidak bisa melihat apa pun. Saya bertanya mengapa Bibin tidak dirawat ke rumah sakit? Felix menjawab, keluarga Bibin tidak cukup memiliki dana.
Tulisan ini tidak saya maksudkan untuk menjaring belas kasihan, tapi dua mata Bibin adalah modal utama dia bekerja sebagai wartawan. Sungguh saya tidak bisa membayangkan, Bibin anak sastra Inggris dari Universitas Negeri Jember yang selalu tertawa itu, kemudian akan kehilangan penglihatannya.
Dan sementara menunggu keputusan manajemen Tempo tempat Bibin bekerja sebagai koresponden: apakah akan ikut membiayai Bibin atau tidak misalnya lewat operasi, mengapa kita tidak memulai mengumpulkan koin untuk ongkos mengobati penyakit pendiri AJI Malang itu.
Tinggalkan Balasan