Apa yang salah dengan keinginan sebuah bangsa untuk merdeka? Atau haruskah urusan Papua diserahkan kepada Tuhan, seperti kata Menko Polhukam, Djoko Suyanto, dan sementara menunggu keputusan Tuhan itu, kita akan membiarkan orang-orang terus hidup dengan menyedihkan?
oleh Rusdi Mathari
Ada reklame tentang Papua di Facebook. Tepatnya iklan tentang kemungkinan Papua Barat merdeka. Iklan yang disponsori oleh Protest4 itu memasang bendera Bintang Kejora: bintang berwarna putih dengan latar belakang merah di bagian kiri dan tujuh garis biru dan enam garis putih di sebelah kanan. Di sebelah kanan Bintang Kejora itu tertera tulisan agak provokatif: Do you believe West Papua should be given independence? Make your voice count. Whatever you think, we want to know.
Kalau tidak salah ingat, iklan itu mulai muncul sejak Oktober lalu, dan hingga kemarin sore sudah memiliki 878 pengikut [follower]. Bila diklik, ada syarat yang diminta, antara lain harus mencantumkan email. Setelah itu, akan tampil tulisan Do you believe West Papua has a right to be free? Do you think Indonesia military have been too brutal? Let us know… Di bawahnya ada pendapat pro-kontra tentang Papua dan kemungkinan wilayah itu merdeka dari Indonesia.
Iklan di Facebook itu tidak secara khusus menyebutkan dukungan untuk Papua merdeka. Tapi Protest4 yang mengiklankan Papua merdeka, dikenal luas sebagai organisasi yang menampung protes atau aksi dari orang-orang yang merasa tertindas, ingin merdeka dan sebagainya. Di situsnya, Protest4 memberikan tempat kepada semua orang di dunia untuk berbagi publikasi [foto dan tulisan] tentang aksi protes.
Tapi haruskah Papua merdeka dan lepas dari RI?
Di acara Jakarta Lawyers Club, Selasa lalu, Saud Usman Nasution terjebak dengan ucapannya sendiri. Menjawab pertanyaan, apakah dana dari PT Freeport Indonesia yang diterima oleh Polri sah atau tidak, kepala divisi hubungan masyarakat Polri itu, menjelaskan panjang-lebar soal keterbatasan dana Polri, dan kesulitan anggota Polri ketika bertugas di Papua.
Kata Saud, kondisi geografis Papua yang penuh hutan dan gunung menyulitkan personel Polri menangkap anggota OPM atau kelompok pengacau. “Mereka cepat menghilang. Dan maaf kepada teman-teman dari Papua, kami sulit menangkap mereka, karena wajahnya sama semua,” begitulah kira-kira penjelasan jenderal bintang dua itu.
Saud pasti tak bermaksud menyebar rasisme. Tapi penjelasannya tentang “wajah sama” itu niscaya menuai protes. Seorang peserta diskusi asal Papua dengan emosi meminta Saud menarik ucapannya dan meminta maaf. “Hati-hati karena kalau begitu, berarti kami bukan bagian dari Indonesia,” kata dia. Denny Kailimang yang duduk bersebelahan, terlihat mencoba menenangkan orang Papua itu.
Sejak zaman BPUPKI
Sudah dua bulan terakhir isu Papua kembali menjadi pembicaraan ramai. Menyusul aksi protes para buruh tambang Freeport yang merasa diperlakukan tidak adil, sejumlah kekerasan kemudian susul-menyusul seperti tak berhenti. Kemarin, polisi dan tentara menggeledah asrama mahasiswa di Tebet, Jakarta Selatan, dan di Bali. Para mahasiswa memprotes tindakan aparat itu, tapi jenderal Saud mengaku, tidak tahu-menahu kejadian penggerebekan asrama mahasiswa Papua di Jakarta dan di Bali.
Papua memang tak pernah berhenti menjadi isu nasional maupun internasional. Tapi isu soal Papua, sebetulnya sudah meledak jauh sebelum wilayah itu dinyatakan PBB sebagai bagian dari wilayah kedaulatan RI pada 1969. Israr Iskandar, dosen Universitas Andalas dan peneliti pada CIRUS Jakarta, tujuh tahun lalu pernah menulis di koran Sinar Harapan, ada perbedaan pendapat antara Sukarno dan Mohammad Hatta tentang status Papua.
Sukarno lebih menekankan aspek strategis-politis dan menganggap jika Papua lepas ke negara lain bisa berdampak kepada Indonesia. Lagi pula, Papua juga berada di bawah kolonial Belanda dan daerah itu, terutama Digul pernah menjadi tempat pembuangan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia. Sukarno juga mengutip kitab Negarakertagama yang menyebutkan, Papua adalah wilayah Majapahit. Tapi Hatta, cenderung menyerahkan soal Papua kepada rakyat Papua untuk menentukannya: bergabung atau menentukan nasib sendiri sebagai bangsa merdeka.
Di sebuah milis, seorang penulis yang menggunakan nama samaran Papuan Diary pernah juga menulis soal silang-pendapat antara Sukarno dan Hatta mengenai Papua. Perdebatan itu terjadi dalam rapat-rapat persiapan kemerdekaan Indonesia, 10-11 Juli 1945.
Sukarno yang didukung Mohammad Yamin berpendapat Papua adalah bagian integral Indonesia berdasarkan klaim sejarah Majapahit dan Tidore, sehingga karena itu mutlak dimasukkan sebagai bagian dari Indonesia. Adapun Hatta dan Sutan Syahrir lebih menekankan sisi kemanusiaan dengan menggunakan nilai-nilai demokrasi untuk penyelesaian masalah Papua.
Dalam pandangan Hatta, Papua merupakan sebuah ras negroid, entitas bangsa dengan kebudayaan Melanesia yang dominan dan karena itu tidak seharusnya Indonesia mengabaikan begitu saja fakta sosiologis itu. Sebagai sebuah entitas bangsa, rakyat Papua juga punya hak untuk menentukan masa depannya sendiri sama seperti Indonesia.
Sebulan kemudian, ketika Sukarno dan Hatta melakukan pertemuan dengan pimpinan militer Jepang di Saigon, Vietnam, perdebatan soal Papua antara dua tokoh nasional itu juga tak terhindarkan. Hatta masih memegang teguh prinsipnya mengenai masa depan bangsa Papua begitu juga Sukarno.
Hatta belakangan kalah suara ketika anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI melakukan voting untuk menentukan apa yang disebut sebagai Indonesia. Dari 66 anggota, 39 suara mendukung opsi bahwa yang disebut Indonesia adalah Hindia Belanda, Malaka, Borneo Utara, Papua, Timor Portugis, dan kepulauan sekitarnya.
“Kami berbeda”
Sekitar 29 tahun kemudian, Papua dinyatakan oleh PBB sebagai bagian dari wilayah kedaulatan RI. Isu Papua sejak itu berganti kulit, menyusul dikeruknya bumi Papua oleh Freeport McMoran [Freeport Indonesia]. Orang-orang Papua, yang menyatakan protes lalu dicap sebagai anggota separatis, sebuah predikat yang sudah dianggap bahaya sejak dalam pikiran.
Bulan lalu, puluhan polisi dan tentara membubarkan paksa, acara yang disebut sebagai Kongres Rakyat Papua. Mereka menangkapi peserta dan pemimpin kongres. Sebagian ditendang dan dipukuli, meski terlihat sudah tidak berdaya. Aparat menyebut, acara itu adalah perbuatan makar dari kelompok separatis yang ingin membentuk Negara Papua Barat.
Celakanya, Jakarta yang punya tafsir tunggal tentang NKRI, negara kesatuan itu, tak pernah serius mengurus orang-orang Papua. Jutaan ton emas dan tembaga yang dikeruk dari Papua sejak awal 70-an oleh Freeport, tak pernah benar-benar memberikan kesejahteraan pada orang-orang Papua.
Dikutip majalah the Economist edisi 3 Juni 2010, seorang anggota OPM berbicara, bahwa semua bisnis formal di Papua dijalankan oleh orang-orang luar Papua, sementara orang Papua hanya duduk di tepi jalan berdagang pinang dan buah. Orang Papua yang ucapannya ditulis the Economist itu tentu saja berlebihan. Tapi kemiskinan di Papua diukur dari apa pun adalah yang paling buruk dan paling menyedihkan di Indonesia.
Lalu di tengah kemiskinan dan isu kekerasan di Papua yang kembali memanas selama dua bulan terakhir, muncul iklan tentang kemungkinan Papua merdeka di Facebook.
Seperti halnya perbedaan pendapat antara Sukarno dan Hatta, tentu tidak semua orang Indonesia setuju dengan iklan di Facebook itu.
Tapi dengarlah ucapan seorang OPM di tengah hutan rimba Papua itu: “Otonomi khusus yang diberikan kepada kami hanyalah lelucon. Hanya dengan melihat kulit, rambut, bahasa, dan budaya, kami berbeda dari orang-orang Indonesia. Kami tidak memiliki kesamaan dengan mereka.”
Atau haruskah urusan Papua diserahkan kepada Tuhan, seperti kata Menko Polhukam, Djoko Suyanto, dan sementara menunggu keputusan Tuhan itu, kita biarkan orang-orang Papua terus hidup dengan menyedihkan?
Tinggalkan Balasan