Ketua DPR, Marzuki Alie dan Ketua Mahkamah Agung, Harifin A. Tumpa adalah orang-orang yang paham dengan sistem dan proses hukum. Keduanya, lalu mengusulkan sesuatu yang aneh: sumpah pocong. Apa kata SpongeBob SquarePants?
oleh Rusdi Mathari
Setelah mengusulkan agar koruptor dimaafkan dan pembubaran KPK [yang belakangan juga disuarakan oleh Fahri Hamzah dari PKS], Marzuki Alie kembali melontarkan usulan baru yang tak kalah kontroversial: sumpah pocong. Usul itu disampaikan Marzuki, Kamis pekan lalu untuk menanggapi kesimpulan Komite Etik KPK sehari sebelumnya yang menyatakan, empat pejabat KPK tidak melakukan pelanggaran etika sehubungan dengan tuduhan Muhammad Nazaruddin, eks bendahara Partai Demokrat, rekan satu partai dengan Marzuki.
Nazaruddin kini ditahan karena dugaan terlibat kasus korupsi dan suap proyek pembangunan Wisma Atlet Sea Games di Palembang. Sebelum ditangkap polisi Kolombia, Agustus silam, dia melontarkan banyak tuduhan termasuk kepada sejumlah pejabat KPK. Antara lain dia menuduh Wakil Ketua KPK, Chandra M Hamzah bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum untuk membicarakan kasus suap Wisma Atlet. Nazaruddin juga menuding Chandra menerima suap pembuatan baju Hansip. Untuk meyakinkan tuduhannya tidak mengada-ada, Nazaruddin menyatakan bersedia melakukan sumpah pocong.
Karena tuduhan Nazaruddin itu, Komite Etik lalu memeriksa semua pejabat KPK yang dituduh terlibat. Hasilnya: hampir semua tuduhan Nazaruddin dinyatakan tidak terbukti meskipun tiga dari tujuh anggota Komite Etik menyatakan berbeda pendapat untuk putusan terhadap Chandra, Haryono Umar [Wakil Ketua KPK], dan Sekjen KPK, Bambang S. Praptomo. Untuk putusan terhadap Ade Rahardja [eks wakil Chandra di KPK], dua anggota Komite Etik menyatakan berbeda pendapat.
Tapi keputusan Komite Etik itu tampaknya tidak memuaskan Marzuki. Dia karena itu lantas mengusulkan agar dilakukan sumpah pocong. Kata dia, kalau proses hukum di negara ini sulit dipercaya, sebaiknya dilakukan sumpah pocong dan meminta hukum Allah yang berlaku. Belum jelas benar, Marzuki yang ketua DPR itu mengusulkan sumpah pocong untuk siapa: Nazaruddin, Chandra dan para pejabat KPK yang lain termasuk anggota Komite Etik, atau untuk anggota DPR seperti dirinya.
Satu hal yang agak terang, usulan semacam itu sebetulnya tak hanya keluar dari mulut Nazaruddin dan Marzuki. Agustus silam, Harifin Andi Tumpa menantang pengurus Kongres Advokat Indonesia [KAI] untuk melakukan sumpah pocong. Ketua Mahkamah Agung itu rupanya kesal karena dituduh oleh pengurus KAI telah merekayasa pembentukan wadah tunggal advokat.
Organisasi advokat itu adalah tandingan dari organisasi advokat lainnya, yaitu Perhimpunan Advokat Indonesia atau Peradi. Dua bulan sebelum muncul tuduhan kepada Harifin, Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan Nomor 89 Tahun 2010, yang isinya, hanya mengakui Peradi sebagai satu-satunya organisasi resmi advokat di Indonesia. Alasan di balik keputusan MA itu: telah diteken kesepakatan antara pengurus Peradi dan KAI untuk melebur dalam wadah tunggal Peradi. Tapi pengurus KAI berang dan menuduh Harifin merekayasa pembentukan wadah tunggal advokat itu.
Dan ini yang menggelikan: tantangan Harifin dilayani oleh Indra Sahnun Lubis, Presiden KAI. Indra setuju melakukan sumpah pocong dengan sejumlah syarat. Antara lain dilakukan bersama dengan Harifin dan dilakukan di pengadilan. Tak ada jawaban dari Harifin, dan tidak terdengar kabar, apakah Indra maupun Harifin benar-benar melakukan sumpah pocong, atau persoalan di antara mereka sudah diselesaikan di balik mimbar yang lain.
Putus asa
Sumpah pocong adalah sumpah yang diucapkan seseorang sementara seluruh tubuhnya [kecuali bagian wajah] dibungkus sedemikian rupa dengan kain kafan, menyerupai pocong itu. Orang itu lantas direbahkan di depan mimbar di masjid dan mengucapkan sederet kalimat sumpah [di bawah Quran dan atas nama Allah] yang intinya bersedia menerima risiko atau laknat Allah jika keterangan yang diucapkannya tidak benar. Saksinya orang banyak.
Sumpah semacam itu tidak dikenal oleh ajaran Islam maupun sistem hukum di Indonesia. Ia hanya semacam tradisi yang dilakukan oleh sebagian umat Islam tradisional di Indonesia. Tujuannya untuk memberikan dampak psikologis kepada orang yang bersumpah maupun orang-orang yang menyaksikan proses sumpah pocong, untuk mengatakan yang sebenarnya dan tidak sembarangan menuduh, atau mereka akan mendapat azab.
Di Madura, sumpah pocong disebut sebagai sumpah mimbar karena lazim dilakukan di masjid, persis di depan mimbar. Di sana, sumpah pocong terutama dilakukan oleh mereka yang telah menuduh orang lain sebagai tukang teluh. Karena sulit membuktikan dengan kasat mata, apakah orang yang dituduh benar sebagai tukang santet atau tidak, maka si penuduh [baik dengan sukarela atau terpaksa] melakukan sumpah pocong bahwa yang dikatakan atau dituduhkan adalah benar dan bukan fitnah.
Setelah acara sumpah selesai, perselisihan akan dianggap berakhir dan diharapkan tidak ada lagi fitnah di antara warga karena urusannya sudah diserahkan kepada Allah. Dengan kata lain, sumpah pocong sebetulnya menyangkut soal kepercayaan. Ia juga bisa dibaca sebagai sebuah keputusasaan dan ketidakberdayaan atau mungkin malah sebuah pemberontakan, karena sistem dan proses hukum yang ada dinilai tidak mampu mengatasi dan dianggap tidak bisa lagi menumbuhkan kepercayaan.
Lalu Marzuki Alie dan Harifin Andi Tumpa mengusulkan dilakukannya sumpah pocong itu. Keduanya, tentu punya alasan tersendiri. Marzuki misalnya mengatakan, yang harus dilakukan untuk hal aneh di negara yang aneh dan manusianya aneh adalah cara yang aneh [sumpah pocong]. Tapi dari alasan mereka itulah, yang justru terdengar dan terasa adalah sesuatu yang lebih aneh.
Seperti halnya Harifin, Marzuki bukan orang-orang yang tidak paham dengan sistem dan proses hukum. Sebaliknya, mereka adalah orang-orang pintar, yang dengan jabatannya ikut membuat dan menentukan sistem hukum di negara ini. Sayangnya, mereka sebagai pejabat, kini juga sudah tidak memercayai sistem hukum yang dibuat dan ditentukan sendiri oleh mereka, dan malah mendorong dilakukannya cara-cara aneh, sumpah pocong itu.
Mungkin inilah ironi. Tapi yang lebih tepat adalah ironi di atas ironi. Itu istilah yang diucapkan oleh SpongeBob SquarePants, tokoh kartun dalam serial animasi dengan judul yang sama buatan Nickelodeon.
Dalam satu episode, dikisahkan SpongeBob mendapati bosnya yakni Eugene H. Krabs alias Mister Krabs yang terkenal karena resep rahasia pembuatan burger Krabby Patty, justru hendak mencuri resep burger dari Plankton yang dikenal selalu ingin mencuri resep rahasia burger milik Mister Krabs. Plankton yang digambarkan sebagai tokoh jahat di serial itu tertawa. Mister Krabs yang dikenalkan sebagai tokoh tua yang selalu memberi nasihat dan kikir, tampak kebingungan. SpongeBob yang polos dan jujur, terlihat bersedih.
Marzuki dan juga Harifin tentu saja bukan Mister Krabs atau Plankton dalam cerita kartun SpongeBob SquarePants. Mereka juga bukan penjual burger. Tapi usulan mereka soal sumpah pocong itu, sulit untuk tidak dikatakan sebagai salah satu puncak dari semua ironi yang pernah terjadi di republik ini.
Tinggalkan Balasan