Seperti kentut yang baunya bisa tercium oleh hidung tapi tidak bisa terlihat mata, hukum di zaman demokrasi anomali seperti yang terjadi di Indonesia sekarang, telah telanjur menghamba kepada kekuasaan dan juga uang. Mereka yang berkuasa dan punya banyak uang, bisa melakukan apa pun. Demokrasi kemudian hanya menjadi stempel. Politik kiss ass, kata seorang pengusaha.
oleh Rusdi Mathari
Pekan depan, KPK akan memeriksa Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar untuk perkara dugaan korupsi. Ini adalah kali ketiga, seorang menteri aktif di pemerintahan SBY diperiksa oleh KPK. Sebelum Muhaimin, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, Andi Mallarangeng dan Menko Perekonomian, Hatta Rajasa juga [pernah] diperiksa oleh KPK.
Selain dikenal sebagai menteri, mereka bertiga [Hatta, Andi, dan Muhaimin] sejauh ini dikenal sebagai orang-orang yang dekat dengan SBY. Muhaimin, misalnya, dianggap berjasa kepada SBY karena sukses mendepak [mendiang] Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dari PKB. Gus Dur adalah paman Muhaimin. Berkat Gus Dur, Muhaimin mendapat kesempatan terjun ke dunia politik melalui PKB dan namanya kemudian mentereng seperti sekarang.
Di bawah Gus Dur, PKB adalah partai oposisi atau setidaknya tidak selalu mengangguk pada kebijakan pemerintahan SBY. Di tangan Muhaimin, PKB menjadi penyokong setia utama pemerintahan SBY. Barangkali, itu sebab, Muhaimin percaya diri tidak akan didepak dari posisinya sebagai menteri, andai terjadi perombakan kabinet. Tapi para pendukung Gus Dur menyebut Muhaimin lupa asal-usul.
Muhaimin sekarang ramai diberitakan media tersangkut perkara korupsi di kementeriannya. Menjelang Lebaran tahun ini, petugas KPK menangkap basah dua stafnya dengan seorang pengusaha dan duit kontan di dalam kardus durian bernilai Rp 1,5 miliar, akhir bulan lalu. Duit itu diakui oleh si pemberi untuk keperluan Pak Menteri Muhaimin berlebaran. Pendukung Gus Dur menyebut Muhaimin mendapat “tulah” akibat perbuatannya kepada pamannya.
Hatta juga orang dekat SBY. Bahkan bisa dibilang sangat dekat dengan SBY dibandingkan menteri atau tokoh politik mana pun. Di musim Pemilu 2009, Hatta ditunjuk sebagai ketua tim sukses pemenangan SBY. Dalam waktu dekat, dia akan menjadi besan SBY. Siti Ruby Aliya, putri Hatta dipinang Edhi Baskoro alias Ibas, anak bungsu SBY. Staf Khusus Presiden, Daniel Sparinga menyebut Hatta sebagai menteri andalan SBY.
Sama seperti Muhaimin, Hatta juga terlilit perkara dugaan korupsi. Namanya disebut-sebut dalam kasus dugaan korupsi pengadaan kereta rel listrik atau KRL bekas dari Jepang bernilai Rp 48 miliar menyusul “nyanyian” eks anak buahnya, Sumino Eko Saputro. Nama terakhir pernah menjabat sebagai dirjen Perkeretapian Departemen Perhubungan, sewaktu Hatta menjadi menterinya. Dia kini menjadi tersangka utama kasus ini menyusul penggeledahan oleh petugas KPK di kantor perwakilan Sumitomo Corporation di Jakarta, 31 Oktober 2010.
Sumitomo adalah perusahaan yang meneken kontrak pengadaan KRL bekas dari Jepang dengan Satuan Kerja Pengembangan Sarana Kereta Api Departemen Perhubungan, 30 November 2006. Kesepakatannya, Sumitomo akan mendatangkan 60 unit kereta listrik tipe 5.000 milik Tokyo Metro dan tipe 1.000 milik Toyo Rapid senilai ¥ 9,9 juta termasuk untuk ongkos angkut dari Tokyo ke Jakarta berikut asuransinya. Namun menurut ICW, dua tipe kereta api yang didatangkan dari Jepang itu tergolong tua, dan karena itu pengadaannya diduga bermasalah dan merugikan negara hingga ¥ 570 juta.
Iring-iringan mobil
Ketika diperiksa KPK, Sumino menyebutkan keterlibatan sejumlah orang termasuk Hatta. Dia mengaku hanya menjalankan perintah dari Hatta sebagai pimpinannya. Juli silam, Hatta sempat diperiksa KPK, juga Bendahara DPP PAN, Jon Erizal. Tapi Achmad Hafiz Tohir, adik kandung Hatta yang juga “digigit” oleh Sumino hingga saat ini belum diperiksa oleh KPK. Kini, kasus dugaan KRL bekas dari Jepang mulai meredup, dan hanya Sumino yang meringkuk di penjara.
Ada pun Andi adalah salah satu kader utama Partai Demokrat, partai “milik” SBY yang mendominasi kursi di Senayan. Dalam Kongres Partai Demokrat di Bandung tahun lalu, Andi dikabarkan sebagai calon ketua umum yang [paling] direstui oleh SBY, meski akhirnya Anas Urbaningrum yang terpilih sebagai ketua umum partai.
Beberapa bulan terakhir, nama Andi kembali ramai diperbincangkan khalayak karena kasus dugaan korupsi pembangunan proyek Wisma Atlet Sea Games di Palembang. Awalnya petugas KPK menangkap Wafid Muharram [Sekretaris Menpora] dengan Mindo Rosa Manullang alias Rosa dan Mohammad El Idris berikut uang suap bernilai Rp 3,2 miliar. Belakangan, [karena antara lain pengakuan Rosa] kasus ini menyeret Muhammad Nazaruddin, eks bendahara umum Partai Demokrat. Dia sekarang meringkuk di tahanan setelah dipecat sebagai bendahara umum Demokrat, melarikan diri, bermanuver dan kemudian ditangkap polisi Kolombia, Amerika Latin.
Sebelum ditangkap, Nazaruddin dengan terang menyebut nama Andi, juga Angelina Sondakh dan Choel Mallarangeng [adik Andi] kecipratan duit proyek pembangunan Wisma Atlet Sea Games di Palembang. Dia juga “bernyanyi” Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum menerima Rp 70 miliar dari proyek Ambalang senilai Rp1,2 triliun. Dari proyek Wisma Atlet SEA Games, Anas disebut kebagian jatah Rp 7 miliar.
Uang itu digunakan Anas untuk keperluan tim pemenangan dirinya saat Kongres Demokrat di Bandung termasuk untuk membayar jasa konsultan untuk mempersiapkan dirinya menjadi calon presiden tahun 2014. Uang itu, dikirim dengan iring-iringan mobil dari Jakarta ke Bandung.
Politik kiss ass
Benar, orang-orang dekat SBY baik di pemerintahan maupun di partainya, kini banyak berurusan dengan kasus korupsi. Tapi jauh sebelum berbagai kasus dugaan korupsi yang menyeret para menterinya, SBY sebetulnya sudah terlebih dulu direpotkan oleh kasus Bank Century bernilai Rp 6,7 triliun. Nama Boediono [Wakil Presiden] dan Sri Mulyani [eks menteri keuangan, yang kini menjadi pejabat di Bank Dunia] ramai diberitakan terlibat dalam skandal ini.
Dari skandal Century itu muncul beberapa spekulasi. Antara lain, sebagian dana bail out ke bank itu telah digunakan untuk pemenangan sebuah partai dan seorang calon presiden. Kini kasus ini mengambang dan tidak jelas meski publik berharap KPK bisa mengusutnya.
Semua hiruk-pikuk yang menimpa orang-orang dekat SBY itu, lalu mengingatkan orang pada kisah Watergate. Skandal itu melibatkan orang-orang dekat Richard Nixon, presiden Amerika Serikat di era 70-an, dan terbongkar berkat laporan investigasi dua reporter The Washington Post, Carl Bernstein dan Bob Woodward. Tulisan mereka kemudian dijadikan buku dan laris, lalu difilmkan dengan judul sama: “All the president’s men” [Semua orang presiden].
Bedanya, skandal Watergate melibatkan para pembantu utama Nixon dalam kasus penyadapan kantor Partai Demokrat di kompleks perkantoran Watergate, Washington. Di Amerika, Partai Demokrat adalah lawan utama Partai Republik, dan orang-orang dekat Nixon berusaha mengetahui “sepak terjang” orang-orang Demokrat dengan cara ilegal agar Nixon menang dalam pemilu presiden.
Ada pun orang-orang dekat SBY kini bermasalah karena kasus korupsi di kementerian masing-masing. Kasus yang melilit mereka memang tidak berhubungan dengan pemilihan presiden. Tapi juga terlalu naif, bila menganggap semua kehebohan yang terjadi di KPK saat ini, tak berhubungan dengan usaha mencari dana untuk membesarkan partai. Tidakkah Anas, Andi, dan juga Nazaruddin [sebelum dipecat sebagai bendahara umum Demokrat] adalah petinggi Demokrat? Begitu pula dengan Hatta, Jon Erizal adalah elit di PAN, dan Muhaimin adalah ketua umum PKB.
Beda yang lain lagi [akibat skandal Watergate itu], Nixon terpental dari jabatan presiden Amerika. Setelah impeachment dari Kongres, Nixon mengundurkan diri. Dia digantikan Gerald Rudolp Ford Jr. Para pembantu utama Nixon seperti pengacara John Dean atau H.R.Haldeman [kepala staf Gedung Putih saat itu] kemudian berurusan dengan hukum. Mereka divonis bersalah oleh pengadilan.
Di sini, SBY masih bertahan menjadi presiden RI, dan para pembantu utamanya seperti Hatta, Andi, Anas sejauh ini hanya “diperiksa” kendati juga tidak jelas kelanjutan dari hasil pemeriksaan terhadap mereka. Dan seperti halnya Andi, Hatta dan Anas yang sudah lebih dulu diperiksa petugas KPK, pemeriksaan terhadap Muhaimin pekan depan, dipastikan juga tak akan berujung pada penetapan Muhaimin sebagai tersangka apalagi dia akan terus ditahan.
Seperti kentut yang baunya bisa tercium oleh hidung tapi tidak bisa terlihat mata, hukum di zaman demokrasi anomali seperti yang terjadi di Indonesia sekarang, telah telanjur menghamba kepada kekuasaan dan juga uang. Mereka yang berkuasa dan punya banyak uang, bisa melakukan apa pun. Demokrasi kemudian hanya menjadi stempel. Politik kiss ass, kata seorang pengusaha.
Entah, kelak jika SBY sudah tidak berkuasa. Mereka, orang-orang dekat SBY itu, mungkin tidak akan lagi sekadar diperiksa oleh KPK, dan bisa jadi akan bernasib sama seperti Nazaruddin, yang tampaknya sengaja dikorbankan dan sudah lebih dulu meringkuk di sel tahanan.
Tulisan ini juga bisa dibaca di Skalanews.com
September 30, 2011 at 8:44 pm
Kang Rusdi, kalau yang kentut satu orang mungkin gak masalah, persoalannya, yang kentut sa ruangan….
korup memang dilakukan oleh penguasa, tapi penguasa saat ini tidaklah sama dengan penguasa jaman orde baru. penguasa saat bukan hanya partai berkuasa, melainkan semua pihak yang mendapatkan kursi kekuasaan, baik di eksekutif, maupun di legislatif.
coba mampir kesini
http://politik.kompasiana.com/2011/09/30/penyelewengan-anggaran-karena-politik-ditawan-pundi-pundi/
Oktober 1, 2011 at 4:26 am
Eaaaa ini namanya perjuangan melawan lupa. Tapi Hambalang jangan diganti Ambalang dong Kang. Hambalang kan nama tempat di Bogor, bukan seperti himbau jadi mengimbau atau pesona jadi memesona. Tapi esai ini cukup mempesona koq untuk melawan lupa
Januari 12, 2014 at 3:29 pm
andai bisa ketemu pak rusdi, saya ingin berguru sama mas rusdi….