Parpol atau siapa pun boleh menggunakan lembaga survei untuk kepentingan politik asal sanggup membayar.

oleh Rusdi Mathari
Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia atau LSI tentang penurunan suara Partai Demokrat , menimbulkan pro-kontra.

Mereka yang setuju menyebut, hasil survei itu sah-sah saja dan harus dihormati. Mereka yang menolak, mempertanyakan penyebutan tiga kader Demokrat yakni Muhammad Nazaruddin, Andi Mallarangeng, dan Angelina Sondakh oleh survei LSI. Sebagian menggugat metodologi survei LSI, yang lainnya, mengembangkan tuduhan bahwa ada pihak tertentu yang membiayai survei LSI.

Survei LSI yang diumumkan Ahad kemarin sebetulnya tak berbeda dengan survei-survei lain tentang partai politik, yang sudah diumumkan sebelumnya. Hanya kali ini disebutkan, Demokrat mengalami penurunan jumlah pemilih, dari 20,5 persen [Januari 2011] menjadi 15,5 persen [Juni 2011]. Penurunan jumlah dukungan untuk Demokrat itu, menurut hasil survei LSI, disebabkan oleh kasus dugaan korupsi di Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Dari 1.200 responden yang disurvei, sebagian besar menyatakan pernah mendengar kasus dugaan korupsi itu. Mereka juga menyatakan, berlarut-larutnya penanganan korupsi, menjadi pertimbangan, untuk memilih atau tidak memilih Demokrat. Pendiri LSI, Denny J.A mengatakan, penurunan perolehan suara untuk Demokrat itu adalah yang pertama sejak 2009.

Denny juga mengatakan, gara-gara kasus dugaan korupsi yang melibatkan kader-kader Demokrat itu, bukan tidak mungkin, Demokrat akan menjadi partai gurem. Tentu ini pernyataan yang mengejutkan, tapi mungkin juga sesuatu yang biasa saja.

Lompatan
Masalahnya, Denny sejauh ini dikenal memiliki hubungan dekat dengan SBY, dan hasil survei LSI sejauh ini cenderung “mendukung” Demokrat. Januari silam, LSI mengumumkan, dukungan untuk Demokrat masih mengungguli dukungan untuk partai-partai lain.

Jauh sebelum itu, pada Pilpres 2009, Denny pula yang mengiklankan “Pilpres Satu Putaran Saja”. Saat itu dia memakai bendera Lembaga Studi Demokrasi. Lewat iklan itu, Denny jelas berusaha menggiring publik untuk percaya: SBY-Boediono akan menang satu putaran.

Lalu saat deklarasi iklan “Pilpres Satu Putaran Saja”18 Juni 2009, Denny menampilkan hasil survei LSI yang tentu saja mengunggulkan popularitas pasangan SBY-Boediono, ketimbang pasangan capres lain.

Siapa yang membayar Denny itu? Sulit untuk tidak menyebut, Denny dibayar oleh Demokrat, atau setidaknya tim sukses SBY-Boediono. Sebelum mengeluarkan iklan “Pilpres Satu Putaran Saja”, Denny mengaku memang bertemu SBY di Cikeas, dan pertemuan itu, tentu saja mengejutkan.

Mengapa?

Karena Denny dan LSI, sebelum itu adalah konsultan politik untuk kubu Megawati. Mengapa Denny cepat “melompat?” Denny bilang, karena menyangkut reputasi. Reputasi siapa? Kata Denny, jawabannya bukan untuk konsumsi publik.

Kontroversi
Survei tentang [partai] politik di Indonesia, memang menarik dan kerap mengundang kontroversi. Bukan karena soal metodologinya, melainkan karena survei itu memang selalu dibiayai oleh partai, orang, atau kelompok tertentu dan untuk kepentingan tertentu.

Akhir Mei silam, LSI yang lain [Saiful Mujani] juga mengeluarkan hasil survei terbaru soal tingkat keterpilihan Demokrat. Hasilnya: jika pemilu digelar akhir Mei lalu itu, suara Demokrat akan turun tapi tetap unggul dibanding partai lain. Tak ada protes dari pendukung dan simpatisan SBY dan PD terhadap hasil survei LSI [Saiful].

Hampir sama dengan yang dilakukan oleh Denny, di musim Pilpres 2009, LSI [Saiful] juga pernah mengeluarkan hasil survei soal dukungan publik untuk setiap pasangan capres. Hasilnya: Sebagian besar [70%] dari 2.999 responden disebut mendukung pasangan SBY-Boediono.

Saat itu, Jusuf Kalla dan Prabowo mencak-mencak menanggapi hasil survei LSI [Saiful]. Kata Prabowo: LSI mestinya menyebut SBY-Boediono didukung 99% responden

Saiful pernah berterus-terang, surveinya saat itu diongkosi Fox Indonesia, milik Mallarangeng Bersaudara. Fox kala itu memang dikenal luas sebagai konsultan politik pasangan SBY-Boediono. Tapi Saiful tak menjelaskan, berapa LSI dibayar oleh Fox.

Kata Saiful saat itu, ongkos survei tergantung berapa banyak jumlah responden yang dikehendaki. Semakin banyak, semakin mahal. Ancar-ancarnya: Untuk 1.500 responden, ongkosnya mencapai Rp 500 jutaan.

Dengan patokan itu, berarti dibutuhkan ongkos sekitar Rp 350 ribuan untuk setiap responden. Jika respondennya 3 ribu, ongkosnya tinggal dikali dua. Dengan demikian ongkos dari Fox untuk LSI [Saiful] pada musim Pilpres 2009 bisa dihitung.

Berpatokan pada keterangan Denny dan Siaful, mestinya orang juga tahulembaga survei adalah juga lembaga bisnis. Apalagi kebanyakan dari lembaga survei di Indonesia, kemudian juga membuka “sampingan”: Konsultan politik.

Parpol dan siapa saja, boleh “membeli” survei lembaga survei untuk kepentingan politik asal sanggup membayar, seperti dulu ramai dilakukan di musim Pilpres 2009. Soal apakah metodenya benar ilmiah & hasilnya benar bisa dipercaya, tentu hanya pengelola dan pelaksana survei itu yang tahu. Selain Tuhan, tentu.