Pada skandal keuangan yang pernah terjadi di Jepang, manajemen Citibank langsung meminta maaf kepada publik Jepang dan memecat semua eksekutif mereka yang dianggap bertanggungjawab. Tapi di Indonesia?

oleh Rusdi Mathari
Sanksi dari Bank Indonesia kepada Citibank yang diumumkan Jumat kemarin, mengingatkan saya kepada kasus yang kurang lebih sama yang pernah terjadi di Jepang Oktober 2004, meski tentu ada perbedaannya.

Perbedaan itu: ketika otoritas keuangan Jepang menyatakan Citibank telah melakukan serangkaian pelanggaran keuangan termasuk praktik pencucian uang dan terlibat transaksi ilegal yang merugikan pemerintah dan masyarakat Jepang, manajemen bank asal Amerika Serikat itu lantas menyatakan permintaan maaf kepada publik Jepang.

Kantor pusat mereka di New York, secara khusus bahkan mengirim CEO Citigroup Inc., Charles Prince ke Tokyo untuk menyampaikan langsung permintaan maaf Citibank ke masyarakat Jepang. Di acara konferensi pers yang diliput oleh hampir seluruh media di Tokyo, Prince membungkuk ala Jepang cukup lama.

Keputusan Price selanjutnya adalah menutup unit trust banking Citibank di Jepang selama setahun, dan memecat tiga eksekutif Citigroup di New York yang dianggap bertanggung jawab terhadap semua “kejadian” di Jepang. Mereka adalah Deryck Maughan [Kepala Operasional Perbankan Internasional], Thomas Jones [Kepala Manajemen Aset Citigroup], dan Petrus Scaturro [Kepala Bank Swasta Citigroup].

Kepada wartawan, Prince mengatakan, karyawan yang lebih “membicarakan tentang nilai-nilai” jauh lebih penting artinya bagi kelangsungan perusahaan dibanding karyawan dengan perilaku yang merugikan. Apalagi kasus memalukan itu terjadi di sebuah negara, yang masyarakatnya menjunjung rasa tanggung jawab yang tinggi seperti Jepang.

Apa yang dilakukan Prince di Tokyo akhir Oktober itu kemudian mendapat perhatian luas dari media massa Jepang dan Asia. Dia terutama dipuji karena dianggap mengambil langkah-langkah yang tepat untuk memastikan bisnis Citibank selanjutnya di Jepang, dan karena itu Prince pantas mendapat semua kata hormat.

Prince paham, semua keputusan yang diambilnya, memang pahit bagi Citibank dan mungkin juga bagi dia sendiri tapi Prince sadar harus mengambil keputusan pahit itu, justru untuk menyelamatkan Citibank. Tanpa keputusan keras, mungkin saja citra Citibank akan semakin melorot tajam di mata publik Jepang.

Benar, tak lalu semua yang dilakukan Prince berakibat seketika bagi pemulihan citra Citibank. Bagaimanapun merek Citibank di Jepang telanjur tak lagi kalis sebagai jaminan, sebuah bank berkelas internasional yang bisa dipercaya itu. Douglas Peterson, CEO Citibank Jepang yang hadir menemani Prince dalam konferensi pers di Tokyo itu menduga reputasi Citigroup sudah melorot akibat skandal keuangan di Jepang. Paling tidak sektor private banking yang dikelola Citibank akan sulit untuk kembali mendapat kepercayaan publik Jepang.

Di Jepang pada masa itu, sektor privat banking  memang menyumbang pendapatan yang cukup besar bagi keuangan Citibank Jepang. Dari laba bersih Citibank Jepang sampai triwulan ketiga tahun itu sebesar US$ 264 juta, dua per tiganya disumbang oleh pendapatan dari private banking. Namun Prince bergeming.

Masalahnya, jika Prince tak mengambil semua keputusan penting tadi [menutup unit trust banking dan memecat tiga eksekutif Citigrop] bisa jadi “nama baik” Citibank akan semakin teruk. Nasabah mereka di Jepang bukan saja akan menarik uangnya beramai-ramai (rush), tapi Citibank bahkan bisa menjadi bank yang sama sekali tak direkomendasikan untuk dipercaya.

Jika itu terjadi, masa depan Citibank di Jepang jelas tak bisa bertahan lama. Pundi-pundi perusahaan seperti pendapatan laba yang selama ini selalu dibukukan, juga akan semakin menjauh. Dan Prince rupanya, memang tipe pemimpin yang tahu, kapan dan bagaimana harus mengambil keputusan untuk menyelamatkan perusahaannya.

Ada-tidak ada sanksi, bukan itu masalahnya
Kemarin itu, Bank Indonesia menyatakan Citibank [Indonesia] setidaknya melanggar dua peraturan dari BI: soal penerapan manajemen risiko dan penyelenggaraan kartu kredit.

Citibank karena itu kemudian dilarang menerima nasabah untuk prioritas [Citigold] selama setahun, dan memberhentikan pegawai di bawah pejabat eksekutif yang terlibat langsung dengan layanan tersebut. Sanksi lainnya, bank itu juga dilarang menerbitkan kartu kredit kepada nasabah baru dan dilarang menggunakan jasa tukang tagih utang atau debt collector selama dua tahun.

Orang bisa berdebat tentang sanksi dari BI kepada Citibank itu, tapi bukan soal sanksi dari BI itu benar yang seharusnya menjadi persoalan.

Hampir sepekan sebelum BI mengumumkan sanksi kepada Citibank, anak dan istri mendiang Irzen Okta mendatangi Istana untuk mengadukan nasib mereka kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meski kemudian “ditolak” pihak Istana.

Maksud mereka, agar kasus Irzen yang tewas karena diduga dianiaya oleh para tukang tagih utang kartu kredit yang bekerja untuk Citibank, juga mendapat perhatian dari SBY. Dari pengakuan pihak keluarga, sejak Irzen Okta tewas 29 Maret silam, tidak ada permintaan maaf dan tidak ada perhatian dari manajemen Citibank kepada keluarga.

Sikap yang sama juga dilakukan Citibank untuk kasus dugaan pembobolan uang nasabah [yang konon mencapai puluhan miliar rupiah itu] oleh salah satu manajer senior mereka, Malinda Dee. Padahal manajemen Citibank di Jakarta, jauh-jauh hari sudah mengetahui dan menganggap apa yang dilakukan Malinda Dee sebagai transaksi mencurigakan. Beberapa orang menyebut apa yang dilakukan Malinda Dee mengarah kepada praktik pencucian uang di Citibank.

Namun hingga kini, tak sepatah pun ada kata permintaan maaf dari manajemen Citibank, untuk kasus Malinda Dee itu.

Belum ada penjelasan dari manajemen Citibank di Jakarta dan juga dari kantor pusat mereka di New York, mengapa mereka mengambil sikap untuk belum meminta maaf kepada keluarga Izen Okta, dan juga publik Indonesia. Mereka hanya tampak lebih sibuk dan lebih mementingkan panggilan rapat dari DPR, kendati tidak jelas benar, apa hasil dan keputusan dari rapat dengan DPR itu.

Lalu benar pentingkah, sanksi BI kepada Citibank itu? Atau tidak pentingkah Indonesia, di mata Citibank?

Andai Prince belum mengundurkan diri dari Citibank [menyusul kegagalan Citigroup menepis krisis hipotek di Amerika Serikat, tiga tahun lalu], barangkali dia akan bisa menjelaskan skandal Citibank di Indonesia, dan mungkin, dia juga akan terbang dari New York ke Jakarta untuk menyampaikan permintaan maaf kepada publik Indonesia.