Selamat jalan Gus. Saya tidak akan membela sampean, karena kalau sampean saya bela, itu berarti bukan sampean, kiai yang membela semua orang.

oleh Rusdi Mathari
GUS Dur saya jumpai di pelataran Bandara Juanda, Surabaya, suatu hari di musim kemarau sekitar 15 tahunan lalu. Dia sendirian, menunggu taksi atau mungkin jemputan. Saya mendekatinya, menyebutkan nama, dan mencium tangannya. “Rusdi siapa?” kata Gus Dur.

“Rusdi Situbondo Gus, Zachrawi Musa,” saya menyebutkan nama seorang tokoh NU di Situbondo, yang pernah lama menjadi sekretaris pribadi almarhum KH As’ad Syamsul Arifin. Nama terakhir adalah pendiri Ponpes Assyafi’iyah Salafiah, Sukorejo, Stibubondo dan salah satu kiai yang disegani Gus Dur, meski keduanya pernah berbeda pendapat soal ucapan assalamualaikum.

Saya bertanya ke Gus Dur, hendak ke mana.  Dia menjawab, mau ke Jombang. “Ini anak-anak kok tidak ada yang menjemput,” katanya.

Saya lalu menawarkan padanya untuk mencegat taksi yang mau mengantarkannya ke Jombang dan Gus Dur setuju. Ketika sudah berada dalam taksi, Gus Dur menyempatkan diri bertanya sekali lagi nama saya dan saya menyerahkan kartu nama. Waktu itu saya adalah reporter majalah bulanan perbankan. “Terima kasih ya,” katanya.

Setahun atau dua tahun setelah pertemuan di Juanda itu, saya kembali bertemu dengan Gus Dur. Kali ini memang sengaja untuk tujuan wawancara. Ketika saya mengenalkan nama saya, Gus Dur langsung mengingat saya. “Rusdi yang di Juanda?”

Saya mengiyakan, dan Gus Dur menjawab pertanyaan saya sambil tidur-tiduran. Dia memakai celana pendek, kaus garis-garis merah, berkerah.

Semula saya menyangka Gus Dur tak paham soal perbankan, tapi dugaan saya salah. Dia fasih menjelaskan seluk-beluk perbankan sefasih pengetahuannya tentang bola. Dia menjelaskan pola hidup bankir, bankir hitam dan bankir putih, dan sebagainya. Tentu saja dengan guyonan khasnya. “Mestinya para bankir itu lulusan pesantren, agar mereka selalu ingat dengan kiainya. Lah ini para bankir kiainya siapa?”

Saya tertawa. Waktu itu Soeharto masih berkuasa dan perbankan di bawah kontrol Dewan Moneter selain tentu saja di bawah Bank Indonesia.

Setelah itu saya tak pernah bertemu dengan Gus Dur kecuali hanya mengikuti kabarnya dari berita media: Gus Dur yang menentang Soeharto, Gus Dur yang membela kaum minoritas, Gus Dur yang dekat dengan beberapa tokoh Israel dan sebagainya. Suatu hari,  saya mendengar Gus Dur membuat pernyataan yang niscaya ditentang oleh arus besar orang Islam di Indonesia.

Waktu itu Israel menyerang Palestina dan beberapa ormas Islam berteriak dan atas nama Tuhan mengutuk negara Yahudi itu. Membela Allah hukumnya wajib, kata mereka. Saat-saat seperti itulah, biasanya Gus Dur muncul dengan pernyataan yang oleh orang lain dianggap kontroversial. Salah satunya adalah pernyataannya bahwa Tuhan tidak perlu dibela. Banyak orang Islam menentang ucapan Gus Dur itu, tapi mantan Ketua PBNU itu bergeming.

Gus Dur yang oleh beberapa kalangan Islam dianggap sebagai sufi, beralasan, kalau Tuhan dibela, maka Tuhan bukan Tuhan. Lalu Gus Dur dianggap tak pernah membela orang Islam, meski menurut saya, pendapat seperti itu terlalu berlebihan.

Gus Dur adalah salah satu tokoh Islam yang dimiliki oleh banyak orang, termasuk mereka yang nonmuslim. Justru karena dia tahu Islam rahmat untuk seluruh alam, dia karena itu selalu menunjukkan Islam adalah agama yang ramah bahkan kepada mereka yang dianggap selalu memusuhi orang Islam. Dia ingin merangkul semua.

Suatu hari setahun lalu, saya bersama beberapa reporter koran ini menemuinya di kantornya PBNU. Dia bercerita soal pendirian dan pembangunan Gedung NU dan kenapa dia bertahan berkantor di sana. “Saya yang bikin gedung ini. Kalau mau bayari, saya pergi. Enggak berani. Sini bayar empat miliar dan saya akan pergi,” katanya.

Kemarin sore, saya bertemu dengan Muslim Abdurrahman, dan saya menanyakan perkembangan kesehatan Gus Dur. “Alhamdulillah mas, sudah baikan,” kata Muslim. Sekitar dua jam setelah itu, saya mendengar kabar, Gus Dur meninggal dunia. Saya mengontak mas Muslim dan janji bertemu di RSCM meski kami kemudian tidak pernah bertemu. Ratusan pelayat menyesak di sana.

Selamat jalan Gus. Saya tidak akan membela sampean Gus, karena kalau sampean saya bela, itu berarti bukan sampean: kiai yang membela semua orang.

Tulisan ini dimuat Koran Jakarta, 31 Desember 2009. Di koran itu, di paragraf awal tulisan ini, saya menulis “…suatu hari di musim kemarau sekitar 12 tahun lalu” mestinya “15 tahunan lalu.”

Iklan