Orang berkorupsi, pertama-tama bukan lewat pengetahuan bagaimana bisa melakukan korupsi tapi karena dia tahu, lingkungan di sekitarnya juga korup dan tidak dihukum.

oleh Rusdi Mathari
SERUAN Peter Eigen ini mungkin akan kedengaran usang, karena berkali-kali diserukan banyak orang dan lembaga. Ketika meluncurkan Laporan Korupsi Global (GCR) 2003, di Berlin, Jerman, Eigen yang pernah menjabat sebagai ketua Transparency Internastional itu menyerukan pentingnya pemerintah di semua negara maju untuk turun tangan menghentikan perilaku suap dari pelaku-pelaku bisnis kepada aparat pemerintah.

Pemerintahan negara maju juga diminta menekankan pentingnya keterbukaan informasi soal alokasi bantuan ke negara berkembang, melaksanakan Konvensi Organisasi Kerjasama dan Pembangunan untuk Ekonomi (OECD) tentang Anti-Suap, dan menuntut perusahaan multinasional untuk membeberkan jumlah pajak dan royalti yang dibayarkan pada pemerintahan di  tempat berusaha.

Sebagaimana diyakini Eigen, suap memang bukan saja merontokkan  etika dan moral melainkan juga membahayakan persaingan usaha. Karena perilaku suap, banyak perusahaan yang tidak efisien akibat ekonomi biaya tinggi yang tidak perlu. Survei yang dikeluarkan Bank Dunia pada Februari 2002 menunjukkan, bahwa praktik suap telah menelan sebanyak 50% dari semua nilai kontrak bisnis di sektor pemerintahan di Kolombia, Amerika Latin. Lembaga itu juga menemukan bahwa biaya korupsi menelan dana sebesar US$ 2,6 juta setiap tahun, dengan nilai akumulasi yang telah setara 60% dari total utang negara Kolombia.

Praktik suap celakanya bukan hanya melibatkan perusahaan lokal dan aparat di negara-negara kecil dan miskin tapi juga melibatkan banyak perusahaan multinasional. Alasan yang paling rasional dari praktik suap yang melibatkan perusahaan dunia itu adalah untuk mendapatkan konsesi atau proyek dari rezim yang berkuasa.

Sejumlah perusahaan konstruksi multinasional, termasuk dari Inggris, Prancis, Jerman, Italia, dan Swiss pernah melakukan hal itu. Mereka tujuh tahun lalu menghadapi tuntutan karena kasus Lesotho Highlands Development Authority, di Lesotho menyusul tuduhan menyuap pemerintah untuk memenangkan kontrak bisnis proyek pengadaan air bersih dan pembangunan dam ke Afrika Selatan senilai US$ 8 miliar.

Karena sangat jarang terjadi, berita soal itu kemudian menjadi berita utama di sejumlah media terkemuka Lesotho. Bukan saja mengadili para penerima dan pemberi suap tapi untuk pertamakalinya perusahaan Barat diadili karena kasus suap berdasarkan hukum di negara berkembang.

81 Teknik
Di Indonesia, kasus suap, sogok-menyogok itu sudah meruap ke berbagai sektor, termasuk di jagad media. Sudah bukan rahasia lagi, sebuah media dengan bangga melarang para wartawannya menerima apalagi meminta imbalan (apa pun) dari sumber. Namun realitasnya wartawan yang menerima imbalan, jumlahnya tidak malah berkurang. Mereka memungut amplop dari berbagai acara jumpa pers dan sebagainya, bersetubuh dengan PR, Humas atau penyelenggara acara, kemudian memolesnya menjadi berita.

Lalu para bos media yang melarang para wartawan mereka menerima recehan itu, diam-diam mencairkan rekening yang ditransfer oleh mereka yang berkepentingan dengan arus berita dari medianya. Tidak semua tentu saja tapi bos-bos media semacam itu juga tidak sedikit jumlahnya. Kadang-kadang mereka mendapatkan konsesi ekonomi atau politik dan sebagainya sebagai imbalan dari pemberitaan yang telah dipesan sebelumnya, begini begitu itu, termasuk dalam hal pemberitaan soal korupsi.

Dalam buku The Art of Corruption: Seni Korupsi di Perusahaan, Sam Santoso Ferry Suswandi dan Anton Muljono, mengungkapkan ada 81 teknik, modus atau pola korupsi dan suap yang terjadi di banyak perusahaan. Modus itu dibagi sesuai departemen atau bagiannya. Misalnya  penjualan, distribusi/gudang, pembelian, perbaikan/perawatan, logistik, produksi, keuangan, pemasaran, SDM, jajaran manajer, serta bidang umum/lain-lain. Mulai dari teknik yang sangat sederhana sampai yang agak ruwet.

Contoh modus korupsi yang sepele, misalnya menaikkan biaya fotocopy, manipulasi biaya perjalanan dinas, merekayasa diskon seperti di awal tulisan, menjual kertas faktur atau kolusi seputar klaim. Ada juga dengan cara menukar jenis barang atau mengurangi jumlahnya dan sebagainya. Buku yang terbit Oktober 2003 itu juga memaparkan praktik korupsi yang biasanya dilakukan jajaran direksi, baik secara sendiri maupun bersama-sama untuk menggerogoti aset atau keuntungan sebuah perusahaan.

Lalu kenapa orang korupsi? Atau kenapa korupsi bisa terjadi dan bahkan marak? Jawabnya karena kebiasaan dan tiadanya sanksi hukum. Orang berkorupsi, pertama-tama bukan lewat pengetahuan bagaimana bisa melakukan korupsi tapi karena dia tahu, lingkungan di sekitarnya juga melakukan korupsi dan mereka tidak dihukum.

Ada sebuah contoh bagaimana pemerintah Inggris memberantas korupsi dan praktik suap yang terjadi di sana.  Suatu hari, CEO dari perusahaan Hobsons (pembuat makanan olahan) diadili atas tuduhan mencuri £ 2,4 juta dari rekening anak perusahaan Hobson. Itu merupakan skandal suap terbesar di Inggris dalam dua dekade terakhir.

Dana itu dialokasikan ke pihak lain dengan tujuan agar Hobson bisa memperpanjang kontrak bisnis menggiurkan dengan Cooperative Wholesale Society untuk bidang pemasaran produk. Didukung media massa dan kerja keras pengadilan, CEO Hobsons, akhirnya mendekam dalam tahanan, selain didenda sejumlah uang.

Dari kasus itulah, pemerintahan Inggris akhirnya meluncurkan undang-undang antisuap, yang bertujuan menyesuaikan hukum Inggris agar sejalan dengan Konvensi Organisasi Kerjasama dan Pembangunan untuk Ekonomi (OECD) soal anti suap. Tak seperti undang-undang negara anggota OECD, undang-undang yang disahkan pada Februari 2002 itu, juga menyerang facilitation payments (uang pelicin).

Hong Kong dan Lopa
Di dalamnya termasuk  pembayaran berskala kecil untuk memuluskan urusan dengan pejabat pemerintah, juga si pemberi jasa. Kalangan industri Inggris, sempat mengkritik pelarangan uang pelicin ini, tapi pemerintahannya tetap pada keputusan, karena salah satu tujuan dari undang-undang ini, agar perusahaan Inggris bisa memiliki daya saing atau bebas dari ekonomi biaya tinggi akibat uang pelicin.

Keberhasilan Hong Kong menekan angka korupsinya terutama di kalangan aparat penegak hukum, juga bisa menjadi contoh lain. Ketika  masih di bawah Inggris, gubernur Hong Kong membentuk Komisi Independen Anti Korupsi (ICAC) yang anggotanya diambil dari masyarakat dan diketuai seorang bekas direktur telekomukinasi. Saat itu tahun 1974, di Hong Kong sebagian besar  aparat kepolisian dan kejaksaan di sana menjadi bagian dari lingkaran penggarongan keuangan negara, lewat perjudian, prostitusi, pemalsuan surat izin, penyuapan  dan sebagainya.

Kewenangan komisi ini antara lain berhak melakukan penyidikan berdasarkan azas pembuktian terbalik. Hasilnya luar biasa, setelah mantan kepolisian Hong Kong yang sempat lari ke Inggris dipenjara, ratusan perwira polisi lainnya berhasil diseret ke penjara.  Dilengkapi  payung hukum yang kuat, dana memadai, dan kemampuan untuk menyidik perkara korupsi dari tahap penyelidikan (intelijen) hingga pemberkasan untuk dibawa ke pengadilan, komisi ini akhirnya menggantikan tugas polisi dan jaksa dan menjadi predator bagi koruptor di tubuh aparat hukum.

Hingga 1998, komisi ini menerima 63 ribu pengaduan korupsi. Dari jumlah itu, 36 ribu kasus telah diinvestigasi dan 8.600 di antaranya diajukan ke meja hijau.

Dulu, ketika  menjabat Jaksa Agung, mendiang Baharuddin Lopa sebetulnya punya gagasan  untuk menyeret mereka yang dituduh melakukan pidana korupsi ke pengadilan dengan menerapkan metode pembuktian terbalik seperti yang dilakukan ICAC: seorang terdakwa korupsi harus membuktikan bahwa hartanya diperoleh bukan dari hasil korupsi. Mereka yang oleh masyarakat dituntut untuk diajukan ke pengadilan, tidak boleh dipandang para penegak hukum dari kedudukan yang “istimewa” seperti presiden atau mantan presiden, para menteri atau pejabat penting lainnya. Sayang, Lopa keburu meninggal.

Kini di tengah isu pengkerdilan dan pembusukan KPK, pemerintah mestinya berkehendak untuk meniru apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Inggris dan Hong Kong. Sebagai lembaga yang untuk sementara paling diharapkan oleh banyak orang dalam pemberantasan korupsi, KPK karena itu sudah seharusnya dijadikan predator bagi para koruptor termasuk di tubuh para aparat hukum. Kalau tidak, maka seruan Eigen, sebetulnya belum kedengaran usang.