Penolakan Yudhoyono yang dikaitkan dengan gerakan Pilpres Satu Putaran Saja, mestinya memang dianggap sebagai bukan sebuah kebohongan. Tapi pernyataan Kalla, yang menganggap iklan gerakan itu sebagai iklan ilegal, mestinya juga diyakini sebagai sesuatu yang serius.

oleh Rusdi Mathari
“MAAF Pak SBY, iklan bapak agar pilpres satu putaran karena berbiaya 4 triliun, itu artinya memandang demokrasi dengan uang. Demokrasi itu berdasarkan program, kekokohan, bukan kemenangan. Saya khawatir sekali kalau ini terjadi, pada tahun 2014 nanti ada iklan ‘Lanjutkan terus tanpa pilpres’,” kata Jusuf Kalla

“Iklan yang Bapak (Jusuf Kalla) maksud, bukan iklan Pak SBY,” kata Susilo Bambang Yudhoyono.

“Saya berterima kasih Pak SBY. Jadi yang beriklan bukan peserta, kalau begitu iklannya ilegal,” kata Kalla.

Dialog antara Kalla dan Yudhoyono dalam Debat Capres di Balai Sarbini, Jakarta, Kamis malam, telah membuka kotak Pandora tentang gerakan Pilpres Satu Putaran Saja yang diiklankan di banyak media, di banyak tempat, oleh seorang pria bernama  Denny Januar Ali. Dengan pernyataannya “bukan iklan Pak SBY” Yudhoyono telah berlepas diri, iklan itu tak ada sangkut-paut dengan dirinya dan Boediono sebagai capres-cawapres. Tapi benarkah memang seperti itu?

Iklan gerakan Pilpres Satu Putaran Saja ala Denny, sebetulnya bagus andai niatnya memang untuk kepentingan bangsa. Namun dari iklan itu pula bisa dibaca, gerakan Denny tidak berdiri sendiri. Terbaca di iklan itu, Denny jelas-jelas telah menganggap SBY-Boediono sebagai pasangan capres-cawapres yang jika terpilih kelak, akan menghasilkan pemerintahan yang kuat dan bisa menumbuhkan ekonomi.

Yang paling terang benderang, iklan Denny itu juga menampilkan gambar SBY-Boediono lengkap dengan nomor urut mereka dalam Pilpres kali ini. Di iklan yang dipasang media cetak, di bawah gambar SBY-Boediono itu tertulis ajakan untuk menggunting gambar tersebut lalu membagikannya kepada orang banyak. Di iklan-iklan di media online diserukan untuk meneruskannya ke handai taulan.

Iklan gerakan Pilpres Satu Putaran ala Denny itu, dengan kalimat lain, sebetulnya telah berkelindan dengan kepentingan salah satu capres, SBY-Boediono, betapa pun hal itu kemudian dibantah oleh Yudhoyono dalam acara Debat Capres dan sebelumnya juga oleh orang-orang di tim suksesnya.

Pertemuan di Cikeas
Rubrik Politik, majalah Tempo edisi Khusus, No. 3819/29 Juni -5 Juli 2009, halaman 128-129 menuliskan soal gerakan Denny itu. Berjudul “Putar-putar Satu Putaran, artikel  Tempo mengungkapkan ide gerakan itu berasal dari Denny yang ditawarkan kepada Hatta Radjasa, Ketua Tim Sukses SBY-Boediono dalam Pilpres 2009. Untuk tidak menimbulkan kesan arogan maka  gerakan itu (diusulkan) untuk tidak dibuat oleh tim sukses resmi SBY-Boediono. Denny lantas menawarkan Lembaga Studi Demokrasi, sebagai operator. Lembaga itu didirikan Denny pada 2003. Dan ini yang terjadi kemudian menurut Tempo: Denny meminta waktu untuk mempresentasikan idenya itu kepada Yudhoyono.

Sabtu 6 Juni 2009, waktu itu benar-benar tersedia untuk Denny. Ditemani mantan Panglima TNI Marsekal (Purnawirawan) Djoko Suyanto, Sekjen Partai Demokrat Marzuki Alie, Yudhoyono sebagai tuan rumah menerima Denny di kediaman pribadinya di Cikeas, Bogor. Hatta tak ikut, karena sedang mantu.

Dikonfirmasi majalah yang sama, Marzuki mengelak tapi Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Ahmad Mubarok membenarkan pertemuan 6 Juni di Cikeas itu. Ada pun Denny, tak membantah atau membenarkan. “Dari mana Anda tahu saya bertemu SBY?” Begitulah keterangan Denny yang ditulis Tempo.

Sebelum tulisan di Tempo itu, Denny kepada saya, malah membenarkan telah bertemu dengan SBY. “He…he…he…saya jumpa SBY benar tapi angka surveinya tidak seperti itu. Maklum gosip, he…he…” (lihat “Gosip Satu Putaran ala Denny,” Rusdi GoBlog, 18 Juni 2009).

Tapi ini bukan soal pengakuan Denny melainkan soal bantahan SBY yang dalam acara Debat Capres, Kamis malam, menolak dikaitkan dengan iklan gerakan Pilpres Satu Putaran dari Denny. Dengan asumsi penolakan Yudhoyono itu bisa dianggap benar, maka ada beberapa hal yang mestinya memang tidak jelas dengan gerakan Pilpres Satu Putaran Saja ala Denny.

Pertama, ide gerakan itu yang ditawarkan Denny hanya kepada Hatta, sebagai Ketua Tim Sukses SBY-Boediono. Dari yang bisa dibaca di artikel Tempo, Denny menawarkan ide gerakan Pilpres Satu Putaran Saja, setelah dia gagal melakukan beberapa hal. Antara lain menyandingkan Prabowo Subianto dengan Puan Maharani sebagai pasangan capres-cawapres, dan menggabungkan PDIP dengan Demokrat dalam sebuah koalisi.  “Kakakmu belum setuju. Tunda dua rencana itu,” kata Taufiq Kiemas kepada Denny.

Setelah Denny mengajukan dua skenario itu, menurut Tempo Mega ngambek. Denny yang menjadi konsultan PDIP dalam Pemilu Legislatif 2009, sejak itu tidak dilibatkan dalam rapat-rapat yang dipimpin Mega. Denny pun mundur teratur dan menawarkan konsep gerakan Pilpres Satu Putaran Saja kepada Hatta.

Kedua, pertemuan di Cikeas, 6 Juni 2009. Anggaplah Denny memang hanya mempresentasikan idenya dan Yudhoyono menyempatkan waktu mendengarkan presentasi Denny, lalu dari mana ongkos memasang iklan gerakan Pilpres Satu Putaran Saja berasal?. Mungkinkah ongkosnya berasal dari uang pribadi Denny, yang karena heroik demi kepentingan bangsa, dia lalu bersedia mengucurkan puluhan atau bahkan ratusan juta rupiah?

Penolakan Yudhoyono yang dikaitkan dengan gerakan Pilpres Satu Putaran Saja, mestinya memang dianggap sebagai bukan sebuah kebohongan. Tapi pernyataan Kalla, yang menganggap iklan gerakan itu sebagai iklan ilegal, mestinya juga diyakini sebagai sesuatu yang serius.

Ilegal berarti tidak sah, bisa juga dianggap liar karena tidak menurut hukum. Mengherankan sekali karena itu, gerakan-gerakan dan iklan-iklan liar semacam gerakan Pilpres Satu Putaran Saja ala Denny menjelang Pilpres kali ini, terus didiamkan menyelinap ke ruang-ruang publik seolah teror, oleh mereka yang mengaku selalu taat asas dan tertib hukum.

Tulisan ini juga bisa dibaca di Politikana dan Kompasiana.