Di musim kampanye seperti sekarang, apa pun memang bisa dijual juga agama. Yang tidak biasa akan dibiasakan. Yang tidak rajin ke masjid akan dibuat agar duduk di barisan paling depan jemaah. Yang biasanya tidak memperhatikan pers, akan menjadi pelindung pers.

oleh Rusdi Mathari
MEDAN kembali membuat isu agama. Dulu pada musim pilpres 2004, isu Ani Yudhoyono beragama Kristen muncul saat Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Jusuf Kalla akan berkampanye di Ibu Kota Sumatra Utara itu. Ketika itu, isu agama Ani beredar melalui pesan singkat, SMS.

Lalu pada musim kampanye pilpres kali ini, dari Medan pula soal isu agama itu mencuat. Obyeknya adalah Herawati Boediono,  yang disebut-sebut beragama Katolik. Isu itu muncul ketika Kalla berkampanye di Asrama Haji Medan, Rabu silam. Entah dari mana asal-usulnya, saat Kalla berkampanye dan membuka dialog dengan peserta kampanye, selebaran yang menyebutkan Bu Hera beragama Katolik lalu beredar di antara peserta.

Seolah memang sudah menunggu-nunggu, selebaran itulah yang lantas diterkam oleh kubu SBY-Boediono sebagai kampanye super negatif. Juru bicara tim kampanye nasional SBY-Boediono, Rizal Mallarangeng bahkan bukan hanya mengancam akan melaporkan kasus selebaran ke Bawaslu melainkan menuntut Kalla meminta maaf. Ada pun kubu JK-Wiranto menuduh Rizal telah salah alamat, karena selebaran itu sama sekali tidak berhubungan dengan JK-Wiranto.

Hulu selebaran itu sebetulnya adalah Laporan Utama tabloid Indonesia Monitor berjudul “Nada Sumbang Jelang Pelaminan.” Sumber utamanya ditulis sebagai Prof Dr Suparman, yang katanya mantan konsultan Bappenas saat Boediono menjabat di kementerian itu. “Ya, memang Katholik,” ujar Suparman kepada Indonesia Monitor, Kamis (28/5). Begitulah tabloid itu menulis.

Pernyataan Suparman menurut tabloid yang sama diperkuat oleh pernyataan Habib Husein Al-Habsy. Dikutip secara langsung, Husein mengatakan dengan kalimat bertanya, “Apa PKS tidak tahu istri Boediono Katolik?”

Dalam tulisan itu, menurut saya, Indonesia Monitor sebetulnya ingin terlihat sudah menjalankan prinsip jurnalistik yang tidak berat sebelah, cover both side itu. Di tulisan itu misalnya juga ada bantahan, antara lain dari bekas staf ahli Boediono saat menjabat Menko Perekonomian, Agam Embun  Sunarpati, dan H Yaqub Chudori, kolega Boediono di kampus UGM  Yogyakarta. Tak lupa ada sanggahan dari Boediono, yang kelihatannya hanya dicopot oleh Indonesia Monitor dari berita di internet.

Namun yang aneh, redaksinya sama sekali tak melakukan pengecekan langsung kepada Bu Hera, yang di dalam artikel mereka justru menjadi obyek berita. Hal lain yang juga tidak jelas, adalah latar belakang tabloid itu yang tiba-tiba mengangkat isu agama dari salah satu pasangan capres.

Meragukan Blog
Kamis siang, saya mencoba mengontak Mulia Siregar, Pemimpin Redaksi Indonesia Monitor tapi menurut suara perempuan yang menerima telepon saya, Mulia belum ada di kantor hingga pukul 14.30. Saya kemudian meminta untuk berbicara dengan Sudarto, yang menjabat Redaktur Pelaksana.

Kepada Sudarto saya menanyakan, apa latar belakang redaksi Indonesia Monitor mengangkat isu agama dari salah satu capres dan mengapa tidak melakukan pengecekan langsung kepada Bu Hera. Tak lupa sebelumnya saya mengenalkan diri: Rusdi Mathari wartawan blog yang menulis di Politikana dan Kompasiana.

Sudarto sayangnya termasuk wartawan yang mementingkan nama media meski media tempat dia bekerja menurut saya, juga tak termasuk media cetak yang terkenal. Selain mengaku belum tahu persoalannya, status saya yang mengaku sebagai wartawan blog menghalangi dia memberikan keterangan. Ketika saya lanjutkan, seandainya saya mengenalkan diri sebagai wartawan dari media resmi, apakah dia bersedia memberikan keterangan, Sudarto malah ragu. “Blog itu kan catatan harian,” kata Sudarto.

Saya tertawa mendengarnya meski saya sebetulnya juga ingin mengatakan, artikel yang ditulis wartawan Indonesia Monitor soal isu agama itu  tidak bermutu. Yang lalu terucap dari saya kepada Sudarto, “Tulisan soal agama Bu Hera di tablod Anda, sangat tendensius.” Saya mengucapkan terima kasih, sebelum menutup hubungan telepon dengan Sudarto.

Sebelumnya saya mencoba mengontak salah seorang anggota tim kampanye JK-Wiranto. Dia keberatan namanya disebutkan dalam tulisan saya. Kata dia, ketika berkampanye di Asrama Haji itu, baik Kalla maupun tim suksesnya sama sekali tidak tahu akan beredar selebaran itu. Kalla yang diberitahukan perihal itu usai kampanye, malah mengaku kaget. “Tidak mungkin, Kalla bersedia melakukan itu,” kata dia.

Saya bertanya bagaimana bisa yakin tidak mungkin? “Anda tahu, ketika berpasangan dengan SBY pada pilpres, isu semacam itu juga yang menghantam pasangan SBY-JK. Jadi bagaimana JK atau timnya sekarang, akan melakukan perbuatan, yang dulu pernah dilakukan orang terhadap dirinya dan tidak efektif?” kata dia.

Sebaliknya kata dia, isu agama Ani Yudhoyono waktu itu malah membuat banyak orang simpati, dan SBY-Kalla terpilih sebagai Presiden-Wakil Presiden. Orang itu kemudian juga bercerita, berdasarkan laporan yang dia terima, selebaran itu beredar setelah Kalla berkampanye dan bukan saat berkampanye. “Saya tidak menuduh, tapi bisa saja, itu juga pekerjaan dari tim-tim intelijen lawan Kalla,” katanya.

Tujuannya apalagi kalau bukan untuk menarik simpati seperti pada masa kampanye pilpres 2004. “Gila apa, kami akan membuat isu yang membuat lawan bisa menarik simpati?” katanya.

Intelijen? Saya tidak tahu soal-soal semacam itu.

Menarik Perhatian
Saya hanya tahu, dulu ketika bersaing dengan Barack Obama untuk meraih tiket sebagai kandidat presiden dari Partai Demokrat, Hillary Clinton juga dituding mengangkat isu soal agama Obama. Hasilnya suara untuk Obama malah tak terbendung dan Hillary kemudian harus puas menyaksikan Obama bersaing dengan John McCain dari Partai Republik, dalam pilpres November 2008. (lihat “Foto Obama dan Kegagapan Mayoritas,” Rusdi GoBlog, 26 Februari 2008).

Kepada jaringan kantor berita ABC News, Senin, 25 Februari 2008, Bu Clinton sempat menolak laporan dari situs DrudgeReport yang menyebutkan pihaknya telah dengan sengaja menyebarkan foto bergambar Obama yang mengenakan baju tradisional Somalia. Dan sebaliknya, dia menuduh Obama sengaja menciptakan kontroversi soal foto itu untuk menarik perhatian. “Saya tidak tahu apa pun tentang (foto) itu,” kata Hillary (lihat “Clinton on photo: ‘Why is anybody concerned about this?” ABC News, 25 Februari 2008).

Dari berita-berita situs internet, saya hanya tahu, isu agama Bu Hera kemudian juga menjadi komoditas paling manjur. Kemarin dia diberitakan mengunjungi sejumlah majelis taklim di kota Bogor dan melakukan salat zuhur berjemaah di Masjid Darussallam. Hari ini diberitakan, Bu Hera menghadiri pengajian majelis taklim Salimah se-Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Tentu saja Bu Hera tak lupa mengenakan kerudung.

Benar, di musim kampanye seperti sekarang, apa pun memang bisa dijual. Yang tidak biasa akan dibiasakan. Yang tidak rajin ke masjid akan dibuat agar duduk di barisan paling depan jemaah. Yang biasanya tidak memperhatikan pers, akan menjadi pelindung pers. Yang tidak pernah ke pasar menjadi sok akrab dengan pedagang. Seorang teman wartawan di majalah Tempo pernah menulis di status Facebook-nya kira-kira begini, “Andai kampanye pilpres berlangsung lima tahun, alangkah indahnya hidup ini.”

Lalu kepada seorang teman yang beragama Nasrani, yang duduk di samping saya sore ini, saya katakan, “Kalau awakmu kelak menjadi capres, jangan pernah tidak mengakui agamamu hanya karena ingin menjadi penguasa. Juga istrimu.” Dia menjawab, “Loh memangnya penting? Terus sing arep dadi capres iku sopo Cak?”

Tulisan ini juga bisa di Politikana dan Kompasiana.

Iklan