Dengarlah kemudian pengakuan Saifullah Yusuf, Wakil Gubernur Jawa Timur itu: mur dan baut Jembatan Suramadu bukan raib oleh pencurian melainkan memang belum dipasang karena peresmiannya yang diminta dipercepat.

oleh Rusdi Mathari
PADA waktunya saya akan mengenang kata-kata Anas Urbaningrum. Dalam sebuah acara di sebuah stasiun televisi, mantan Ketua Umum HMI itu pernah mengajarkan sebuah kebajikan:  setiap kali satu jari seseorang menunjuk orang lain, empat jari lainnya sebetulnya sedang mengarah kepada dirinya.

Lalu di Jembatan Suramadu yang diresmikan dua pekan silam, mur dan juga baut pengencang tiang-tiang jembatan dikabarkan telah banyak yang hilang. Ada puluhan mur, empat puluhan penerangan jalan dan rambu-rambu lalu lintas yang dilaporkan raib di jembatan sepanjang kurang lebih 5 kilometer itu yang semua katanya dicuri orang. Dan ini yang terjadi kemudian,  orang ramai tersenyum sinis sambil mengarahkan telunjuk ke orang-orang Madura.

Entah dari mana muasalnya, entitas Madura terutama yang bermukim di kota-kota besar, sejauh ini memang dikenal sebagai puak yang berdagang besi tua dan logam bekas. Mereka tinggal di sudut-sudut kota, memadati ruang dengan aroma karat dan bau sampah. Banyak di antara mereka yang lantas menjadi saudagar, menjadi bandar tukang loak itu, dan menjadi pemasok untuk pusat peleburan logam.

Namun tentu tak semua juga tahu, kesuksesan orang Madura, jika memang itu yang harus dikatakan, tak didapatkan dengan percuma: orang-orang itu mendapatkan semuanya dari jual-beli. Juga rumah-rumah sumpek yang mereka tempati di banyak sudut kota tak ditempati tanpa membayar upeti ke sejumlah oknum aparat, di kelurahan, kecamatan, polisi, tentara dan PLN. Tak ada yang gratis, dan itu telah menjadi alasan kuat bagi mereka untuk memilih mati ketimbang apa yang telah mereka anggap sebagai hak kemudian dirampas sewenang-wenang, tanpa pergantian.

Kesalahan dan kebodohan sebagian orang Madura terutama karena mereka tak paham, bangunan yang mereka tempati berdiri di atas tanah-tanah yang disebut milik negara. Dan perilaku aparat itu hanya kehendak oknum bukan resmi. Maka ketika negara dengan aparat yang resmi berkehendak dengan kekuasaan, orang-orang Madura lantas dianggap penyerobot, tak berpendidikan, dan cenderung mau menang sendiri.

Kasus penembakan di Alas Tlogo, Pasuruan, beberapa tahun silam semakin menguatkan sinisme sebagian orang, bahwa mereka orang Madura adalah kelompok yang tak tahu diuntung itu. Hanya sedikit yang berusaha mengerti, orang-orang di persil tandus itu, telah menghuni turun-temurun di sana sejak zaman Sakera menjadi mandor tebu. Sebagian dari mereka tinggal dengan jaminan Presiden Abdurrahman Wahid yang iba karena mereka terusir dari tanah konflik.

Sungguh pada orang-orang Madura, semuanya, berlaku sebuah ajaran hidup: tentang agama (keyakinan), wanita (keluarga) dan tanah. Bagi mereka tiga hal itu adalah kehormatan diri yang bisa menempatkan mereka pada posisi untuk lebih memilih poteh tolang atembang poteh mata (lebih baik mati daripada menanggung malu).

Jangan pernah kepada orang Madura dikatakan mereka bukan Islam kendati tak pernah menjalankan syariat kalau tak hendak bersentuhan dengan celurit kemarahan mereka. Tak usah mengganggu wanita dan keluarga mereka, kalau tak mau berhadapan dengan kenekatan mereka. Tragedi di Alas Tlogo dan juga di sudut-sudut kota itu terjadi, kurang lebih karena orang-orang Madura merasa kehormatan (atas tanah) mereka telah diganggu dan dirampas.

Kini atas raibnya mur dan baut di Jembatan Suramadu itu, hampir semua telunjuk telanjur mengarah kepada mereka. Sebuah tudingan yang sebetulnya niscaya telah ditolak keras oleh orang Madura, dan juga kemudian dua petinggi di Jawa Timur, Gubernur dan Kapolda. Dengarlah kemudian pengakuan Saifullah Yusuf, Wakil Gubernur Jawa Timur itu: mur dan baut Jembatan Suramadu bukan raib oleh pencurian melainkan memang belum dipasang karena peresmiannya yang diminta dipercepat.

Lalu kemarin seorang sahabat di Sumenep berkirim rasa gundah. Kata dia, bagaimana mungkin jembatan yang menjadi impian mereka sekian waktu, kemudian tidak akan mereka jaga dan lantas dirusakkan, hanya beberapa hari setelah jembatan itu diresmikan penggunaannya. Dalam suratnya yang sedih sahabat tadi mengakhiri dengan sebuah usulan yang terasa tak berdaya: agar di bentangan Jembatan Suramadu segera dituliskan pengumuman, “Jembatan ini milik NU.”

Seperti halnya Anas yang percaya untuk tidak mudah menunjuk jari kepada orang lain, saya juga sudah sejak lama meyakini, sebagian besar orang telah merasa berhak memonopoli kebenaran, dan juga ketidakbenaran.

Tulisan ini juga bisa dibaca di Politikana dan Kompasiana.