Laporan terbaru Amnesty International menyebutkan, sepanjang tahun lalu  pemerintahan Indonesia telah terus-menerus membatasi kebebasan berekspresi secara ketat. Jumlah orang yang ditangkap dan ditahan karena mengekspresikan pendapat mereka secara damai meningkat setidaknya menjadi 32 orang. Di luar itu ada 85 orang yang dipenjarakan di tahun sebelumnya dan masih tetap berada di penjara.

oleh Rusdi Mathari
GEGAP gempita kasus Prita Mulyasari rupanya telah mengesampingkan kasus yang kurang lebih serupa yang menimpa Khoe Seng Seng, yang sudah berlangsung hampir tiga tahun. Khoe adalah seorang pedagang yang membeli salah satu kios di ITC Mangga Dua, Jakarta. Kawasan belanja itu dibangun oleh PT Duta Pertiwi Tbk. Pengembang yang bernaung di bawah bendera Grup Sinar itu, dikendalikan oleh Muktar Widjaja, anak dari Ekta Tjipta Wijaja, konglomerat yang besar di zaman Orde Baru.

Bersama dengan sejumlah pedagang lain, Khoe belakangan merasa ditipu oleh Duta Pertiwi. Mereka mengira ketika membeli kios dari Duta Pertiwi akan memperoleh sertifikat hak guna bangunan (HGB) murni dan bukan menerima sertifikat HGB di atas hak pengelolaan lahan. Karena merasa dirugikan itulah, Khoe bersama Fiti Tanang, Kwee Meng Luan alias Winny, dan Pan Esther berinisiatif menulis surat pembaca ke beberapa media.

Kompas memuat keluhan Khoe, 21 September 2006, dan Suara Pembaruan, 26 November 2006. Maksudnya agar kasus pedagang dengan pemilik ITC mendapat perhatian dari pihak yang berwenang. Dalam surat pembaca tersebut, Khoe sebagai pedagang di ITC Mangga Dua menganggap Duta Pertiwi sebagai pengembang ITC  telah melakukan penipuan kepada para pedagang.

Surat pembaca Khoe itulah, yang belakangan menyulut amarah manajemen Duta Pertiwi. Mereka menganggap surat pembaca dari Khoe sebagai pencemaran nama baik dan mereka karena itu memerkarakan Khoe. Persidangan kasusnya sudah berlangsung sejak dua tahun lalu ketika Duta Pertiwi menggugat Khoe secara perdata pada 6 Juli 2007 ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Dalam sidangnya, Selasa 6 Mei 2008, majelis hakim menjatuhkan hukuman kepada Khoe berupa denda Rp 1 miliar tapi Khoe menolaknya. Melalui LBH Pers, Khoe menyatakan banding. Pan Esther juga dituntut serupa. “Keputusan itu belum berkekuatan tetap,” kata Hendrayan, pengacara Khoe dari LBH Pers (lihat “Raja Petra dan Khoe Seng Seng,” Rusdi Goblog, 7 Mei 2009)

Memenangkan tuntutan itu, akan tetapi belum memuaskan pihak Duta Pertiwi. Mereka melaporkan para pedagang itu termasuk Khoe ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, 24 November 2006 dengan tuduhan telah mencemarkan nama baik. Hari ini, Kamis 4 Juni 2009, Hendraya mengirimkan pesan singkat, SMS, jaksa yang menangani perkara itu di PN Jakarta Timur menuntut Khoe dengan kurungan penjara setahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun.

Kasus yang menimpa Khoe dkk. berawal saat dia membeli kios di lantai blok B42 ITC Mangga Dua pada 2003 seharga Rp 421 juta. Tiga tahun kemudian, saat Khoe hendak memperpanjang HGB, pengelola menyatakan tanah tempat pusat perbelanjaan itu milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sehingga pemilik kios dikenakan biaya sewa lahan Rp 3 juta lebih.

Tentu saja Khoe dan pembeli yang lain tak puas. Mereka lantas melaporkan kasus itu ke Polda Metro Jaya. Namun di kemudian hari, kata Khoe, kasus ini dihentikan penyidikannya. Khoe karena itu berinisiatif menulis surat pembaca yang lalu direspons oleh Duta Pertiwi dengan tuntutan perdata dan pidana.

Fifi juga bernasib sama dengan Khoe. Perempuan itu, dijatuhi hukuman enam bulan penjara dengan masa percobaan selama satu tahun oleh majelis hakim PN Jakarta Selatan dalam sidang 8 Mei 2009. Majelis menganggap Fifi terbukti mencemarkan nama baik Duta Pertiwi melalui surat pembaca di harian Investor Daily pada 2-3 Desember 2006.

Padahal menurut Fifi, dirinya sama sekali tak mengirimkan surat pembaca ke Investor Daily kecuali ke harian Warta Kota pada 4 November 2006. Surat pembaca Fifi berjudul “Hati-hati terhadap Modus Operandi Penipuan PT Duta Pertiwi Tbk.”

Dan inilah yang menggelikan dan kemudian terbukti dalam persidangan: saksi dari Investor Daily mengaku memperoleh “surat pembaca” itu dari internet. Tuntutan lain pada Fifi adalah gugatan perdata sebesar Rp 17 miliar.

Satu-satunya pembeli kios ITC yang diputus bebas adalah Winny. Hendrayana mengatakan, meski sama-sama di sidang di PN Jakarta Utara, tapi hakim yang menangani perkara Khoe berbeda dengan hakim yang menangani perkara Khoe dan Pan Esther.

Iwan dan Bersihar
Sebelum heboh kasus Prita, ada pula kasus Narliswandi Piliang atau Iwan Piliang dan Bersihar Lubis. Dua nama terakhir adalah wartawan profesional. Iwan dikenal sebagai wartawan freelancer yang banyak menulis di blog dan milis, sementara Bersihar wartawan eks Tempo dan kini tercatat sebagai Pemimpin Redaksi Medan Bisnis, Medan.

Kasus Iwan bermula dari tulisan berjudul “Hoyak Tabuik Adaro dan Soekanto.” Dalam tulisannya itu, Iwan menyebut anggota DPR-RI Alvin Lie diduga menerima sejumlah uang agar terhindar dari hak angket pembatalan penerbitan saham perdana Adaro. Alvien tak terima, dan melaporkan kasus Iwan ke Satuan Cyber Crime Polda Metro Jaya. Oleh Alvin, Iwan dituduh telah mencemarkan nama baiknya.

Alvin mendasarkan laporannya pada UU ITE yang ancaman pidananya 6 tahun dan denda 1 miliar rupiah (pasal 27 UU No.11/2008 tentang Informasi dan transaksi Elektronik). Profil Adaro bisa dilihat di “Manuver Adaro.”

Sebelumnya, Bersihar juga diadukan oleh Kejaksaan Agung karena dianggap mencemarkan nama baik lewat tulisannya yang dimuat di Koran Tempo 17 Maret 2007 berjudul “Kisah Interogator yang Dungu.” Tulisan itu merupakan refleksi Bersihar dari kasus pemusnahan 1.247 buku sejarah kurikulum 2004. Secara demonstratif buku-buku itu dibakar oleh Kepala Kejaksaan Negeri Depok Bambang Bachtiar, Walikota Depok Nurmahmudi Ismail, dan Kepala Dinas Pendidikan Depok Asep Roswanda. Buku itu disita dari lima SMP dan tiga SMA di wilayah Depok.

Lewat tulisan opini di Koran Tempo, Bersihar memandang pembakaran buku sebagai perbuatan orang bodoh dan tulisan itulah yang menyinggung pihak Kejaksaan Agung. Dia diadukan ke pengadilan karena dianggap melakukan pencemaran nama baik.

Dalam sidangnya 20 Feberuari 2008, PN Depok  menjatuhkan vonis bersalah kepada Bersihar. Majelis hakim menghukum jurnalis senior itu satu bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan tanpa harus menjalani penahanan. Alasan majelis, Bersihar melanggar Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penghinaan terhadap penguasa atau pejabat negara. Hakim juga menilai Bersihar telah menghina Kejaksaan Agung melalui tulisan opininya.

Kasus teranyar menimpa wartawan Upi Asmaradhana di Makasar, Sulawesi Selatan. Upi dilaporkan pidana karena menggalang koalisi yang menentang pernyatan Kapolda Sulawesi Selatan Sisno Adhiwinoto yang menyatakan wartawan bisa langsung dipidanakan tanpa harus menempuh mekanisme penyelesaian sengketa pers. Dalam gugatannya, Sisno meminta PN Makassar untuk menghukum Upi dengan membayar ganti rugi materiil Rp 25 juta , menyita rumah milik Upi, menuntut ganti kerugian imateriil Rp 10 miliar dan uang paksa Rp 100 per hari. Oleh LBH Pers, tuntutan Sisno dianggap sebagai bentuk nyata represi yang dilakukan pemerintah untuk mengekang kemerdekaan pers.

Sisno adalah jenderal polisi yang kontroversial. Pernyataan-pernyataannya sering tak mencerminkan bahwa dia adalah pejabat publik.

Pasal Karet
Laporan terbaru Amnesty International menyebutkan, sepanjang tahun lalu (2008) pemerintahan Indonesia telah terus-menerus membatasi kebebasan berekspresi secara ketat. Jumlah orang yang ditangkap dan ditahan karena mengekspresikan pendapat mereka secara damai meningkat setidaknya menjadi 32 orang. Di luar itu ada 85 orang yang dipenjarakan di tahun sebelumnya dan masih tetap berada di penjara.

Pernyataan dari Amnesty International itu melengkapi laporan laporan serupa yang pernah dikeluarkan oleh Aliansi Jurnalis Independen AJI, dan LBH Pers. AJI mencatat selama kurun 2008 kekerasan terhadap jurnalis terus terjadi di Indonesia. Di dalamnya termasuk 60 kasus kekerasan meliputi serangan fisik (21 kasus), ancaman (19 kasus), pengusiran dan larangan meliput (9 kasus), tuntutan hukum (6 kasus), sensor (3 kasus), demonstrasi (1 kasus), dan penyanderaan (1 kasus).

Tahun ini, kekerasan terhadap jurnalis itu menimpa Anak Agung Gede Prabangsa, wartawan Radar Bali (Grup Jawa Pos). Prabangsa ditemukan tewas  dalam kondisi mengapung di tengah laut Pelabuhan Padang Bai, Karangasem, 16 Februari 2009. Ditemukan luka berat di bagian kepala dan wajahnya. Di tubuhnya ditemukan  sejumlah titik. Diketahui belakangan, pembunuh Prabangsa adalah Nyoman Susrama, adik Bupati Bangli.

Polda Bali memastikan kasus kematian Prabangsa sebagai pembunuhan berencana. Latar belakangnya  sakit hati,  terutama karena  rangkaian pemberitaan tentang penyimpangan sejumlah proyek di Dinas Pendidikan Kabupaten Bangli, Bali, senilai lebih dari Rp 40 miliar yang ditulis Prabangsa di Radar Bali.

Yang kemudian juga sering terjadi, kebebasan berekspresi itu pada gilirannya tak hanya dianggap sebagai pencemaran nama baik. Dalam beberapa kasus, ketika berhadapan dengan penguasa, misalnya, sering kali pula kebebasan mengungkapkan pendapat warga dianggap sebagai penghinaan kepada kepala negara.

Dulu sekali, Sri Bintang Pamungkas dibui 10 bulan penjara setelah hakim memutus dirinya bersalah karena dianggap menghina kepala negara. Bintang dituduh melecehkan Presiden Soeharto dalam sebuah ceramah di Technische Universitet Berlin pada 9 April 1995. Lalu ada  Fachrul Rachman, mahasiswa UIN Jakarta yang juga dipersalahkan oleh rezim Susilo Bambang Yudhoyono dengan tuduhan yang sama: menistakan presiden. Demikian seterusnya.

Tentang penghinaan terhadap kepala negara itu, Mahkamah Konstitusi sebetulnya sudah mencabut pasal 154 dan pasal 155 tentang  penghinaan terhadap kepala negara yang tercantum di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Raden Panji Utomo yang mengajukan permohonan uji materi terhadap dua pasal tadi, dua tahun silam. Dia seorang dokter yang dijatuhi kurungan penjara tiga bulan karena dianggap menghina Yudhoyono di pengujung 2006 menyusul aksi unjuk rasa di depan Kantor BRR di Banda Aceh.

Sebelum permohonan Panji itu, dua pasal itu kerap digunakan  pemerintahan  kolonial untuk menangkap musuh politiknya. Bersama lima pasal lainnya dalam Bab V  KUHP yang mengatur ”Kejahatan Mengenai Ketertiban Umum” pasal-pasal itu dijuluki sebagai pasal penabur kebencian (hatzaai artikelen). Sejumlah aktivis pergerakan Indonesia pernah jadi korban pasal ini termasuk Soekarno, Gatot Mangkupradja, Maskun, dan Supriadinata.

Setahun setelah  Indonesia merdeka, pasal 153 bis, yang digunakan menjerat Soekarno dan rekan-rekannya dicabut pemerintah meskipun pasal-pasal ”penabur kebencian” yang lain tetap hidup. Lantaran sifatnya yang lentur dan multi tafsir itu pula, kedua pasal ini juga dijuluki pasal karet.

Lalu pada masa kampanye Pemilu Legislatif 2009, polisi bergerak super cepat ketika  menangani kasus pengaduan politik uang di Ponorogo. Karena yang dituduh adalah  Edhie Baskoro, anak presiden— oleh polisi, pelapor politik uang itu dianggap telah  melecehkan keluarga presiden. Dua jenderal polisi berbintang dua perlu langsung ikut turun tangan meski soal pengaduan pelanggaran dalam pemilu mestinya cukup ditangani polisi di tingkat sektor. Tak ada kabar kelanjutan soal kasus yang melibatkan nama Ibas –panggilan untuk Edhie Baskoro itu.

Dengan semua kejadian itu, saya teringat dengan Fahrenheit 911, film karya Michael Moore. Di film itu Moore menggambarkan George W Bush, Presiden Amerika yang berkuasa  ketika itu sebagai seorang yang bodoh, pembohong dan tidak kompeten. Film yang diedarkan beberapa bulan sebelum pemilu tahun lalu di negara itu niscaya memang mendapat bantahan sengit dari pihak Bush meski mereka tak sanggup mencegah penurunan ketenaran Bush di musim kampanye dan juga kubu Partai Republik.

Adakah Moore kemudian dituntut karena tindakannya itu? Tidak. Pihak Bush sebaliknya juga membuat film tandingan. Alasannya sederhana, film Moore  jika pun harus dianggap sebagai fakta yang dikemas fiksi, tak lebih hanya sebuah ungkapan kekecewaan seorang warga negara terhadap presidennya. Dan itu sah menurut undang-undang.

Soalnya sekarang, di sini, di Indonesia memang akan selalu ada alasan untuk menempatkan kepala negara sebagai lembaga yang tak bebas nilai. Juga akan selalu ada alasan untuk mendahulukan pasal-pasal pencemaran nama baik, seperti yang dilakukan RS Omni International terhadap Prita dan Duta Pertiwi kepada Khoe, itu.

Tulisan ini juga bisa dibaca di Politikana.com dan Kompasiana.com