Inilah sebagian pengusaha yang berada di belakang masing-masing para kandidat pasangan presiden dan wakil presiden yang bertarung di Pemilu Presiden 2009. Yudhoyono paling banyak ditopang pengusaha?

oleh Rusdi Mathari
NEGARA ini konon dikendalikan oleh hanya segelintir orang. Mereka bisa siapa saja. Pengusaha, tukang lobi, petualang, istri, mertua dan sebagainya. Namun siapa pun orang-orang yang sedikit jumlahnya itu; arah politik, ekonomi, sosial dan sebagainya bisa sangat tergantung kepada mereka.

Mereka karena faktor keberuntungan tentu saja, memiliki kemampuan genial menggunakan “akal budi.” Suatu kemampuan subjektif yang disulap menjadi seolah objektif. Itulah yang kemudian dikenal sebagai “the creative minority,” sekelompok orang yang memiliki “daya kreatif” berpikir dan bertindak.

Menjelang Pemilu Presiden 2009, menarik mengetahui, siapa orang-orang yang tidak banyak itu, yang berdiri di belakang masing-masing kandidat, terutama sosok pengusaha dan kelompok usahanya. Hal itu mungkin penting diketahui, karena mustahil, masing-masing pasangan kandidat itu maju ke Pemilu Presiden 2009 tanpa dukungan dana dari para pengusaha.

Karena politik adalah abu-abu, keterlibatan para pengusaha itu niscaya juga tak akan tampak terang-terangan. Yang bisa terlihat hanya gejalanya, simpton. Bisa jadi gejala itu juga tak menunjukkan “apa yang terjadi” yang sebetulnya, karena publik memang tak pernah tahu kesepakatan yang telah dirancang meskipun bukan tak mungkin gejala itu juga mencerminkan yang sesungguhnya terjadi. Saat deklarasi di Sabuga, Bandung, misalnya, terlihat jelas pengusaha mana yang berdiri di belakang pasangan kandidat SBY-Boediono. Salah satunya adalah Chairul Tanjung.

Bos besar Bank Mega itu, hadir beberapa jam sebelum acara deklarasi, 15 Mei 2009.  Dia menjadi “perantara” PKS, partai yang sehari sebelum deklarasi menolak keras pencalonan Boediono sebagai pendamping Susilo Bambang Yudhoyono pada Pemilu Presiden 2009. Chairul hadir di Hotel Sheraton, Bandung menemani Ketua Majelis Syuro PKS, Hilmi Aminuddin untuk bertemu dengan petinggi Partai Demokrat dan Yuhdoyono.

Hilmi adalah pendiri Tarbiyah, organisasi Islam, yang dianggap sebagai salah satu cikal bakal PKS. Tokoh ini, sebelumnya disebut-sebut memiliki kedekatan dengan Ali Moertopo, mantan kepala intelijen dan asisten pribadi Presiden Soeharto.

Sesaat sebelum bertemu Yudhoyono, kepada wartawan Hilmi menyebutkan, pertemuan mereka sebagai peristiwa genting. Presiden PKS Tifatul Sembiring dan Sekjen PKS Anis Matta juga ikut terlihat. Usai pertemuan itu, PKS melalui Tifatul menyatakan kepastian partainya mendukung kandidat SBY-Boediono.

Pertemuan senja hari di Sheraton itu, merupakan kelanjutan dari kegagalan “negoisasi” antara PKS dengan Demokrat. Malam Jumat 14 Mei 2009, para petinggi kedua partai melakukan pertemuan tertutup di Gedung Bank Mega, Jakarta Selatan. Pertemuan yang berlangsung selama dua jam itu difasilitasi Chairul. Turut hadir dalam pertemuan itu, Ketua Umum Partai Demokrat Hadi Utomo, Menteri Sekteraris Negara Hatta Rajasa dan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi.

Gedung Bank Mega malam itu dijaga ketat. Seluruh akses menuju tempat pertemuan, ditutup.

Karena tak menemui kata sepakat, tim dari Demokrat langsung meninggalkan Gedung Bank Mega. Oleh PKS; penjelasan Hadi, Hatta dan Sudi tentang alasan Yudhoyono memilih Boediono menjadi kandidat wakil presiden dianggap tak menjelaskan apa pun. Para petinggi PKS karena itu menginginkan penjelasan langsung dari Yudhoyono.

Sebelum kemudian bertemu dengan Yudhoyono di Sheraton, Bandung, itu, sempat ada rencana petinggi PKS akan menemui presiden di Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma, Jumat siang. Itu adalah sepulang Yudhoyono dari Manado, Sulawesi Utara. Rencana itu batal, dan pertemuan akhirnya terjadi di Sheraton, menjelang maghrib.

Para Grup
Chairul adalah pengusaha yang oleh majalah Forbes Asia dicatat memiliki kekayaan  US$ 450 juta. Dia dianggap memiliki hubungan khusus dengan Keluarga Salim, salah satu konglomerat yang pernah berjaya di Indonesia. Bernaung di bawah bendera Para Inti Holdindo (Grup Para), bisnis Chairul yang terpenting adalah di sektor keuangan (Para Global Investindo), properti (Para Inti Propertindo), dan multi media (Para Inti Investindo).

Selain Bank Mega (sebelumnya bernama Bank Tugu), dia juga memiliki perusahaan sekuritas, asuransi jiwa dan asuransi kerugian. Di sektor  properti, Chairul sukses membangun Bandung Supermall. Di bisnis multimedia, Chairul dikenal sebagai pemilik Trans TV dan Trans 7. Dia dikabarkan juga akan merambah ke media cetak, mengelolah stasiun radio, media online atau satelit.

Selain dengan Grup Salim, Chairul juga dikenal dekat dengan Yudhoyono. Dia misalnya pernah ikut dalam rombongan presiden ketika berkunjung ke Amerika Serikat, Meksiko, Brasil dan Lima, selama dua pekan. Itu pertengahan November 2008. Ketika PKS menobatkannya sebagai salah satu dari “100 Pemimpin Muda Indonesia” di Sabuga, Bandung, 20 November 2008, Chairul karena itu tak hadir.

Dengan PKS, Chairul memang memiliki hubungan khusus. Namanya bahkan pernah disodorkan oleh PKS kepada Yudhoyono sebagai calon wakil presiden. Pencalonan Chairul itu, kabarnya merupakan kompensasi atas sumbangan Chairul yang membangun gedung baru kantor PKS, di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan.  Gedung bercat putih berlapis kuning itu, belum sepenuhnya ditempati oleh PKS.

Para petinggi PKS sudah membantah dua hal itu: pencalonan Chairul sebagai wakil persiden, dan sumbangan Gedung PKS. Tifatul misalnya membantah Chairul merupakan kandidat wakil presiden yang diajukan kepada Yudhoyono. Anggota Tim Pemenangan Pemilu Nasional PKS Mahfudz Shiddiq juga menampik tudingan gedung baru PKS merupakan sumbangan Chairul (lihat “PKS: Gedung di Simatupang Markas Dakwah,” inilah.com, 23 Maret 2009).

Keluarga Murdaya
Yang menarik adalah Keluarga Murdaya. Saat deklarasi pasangan SBY Boediono di Sabuga, Bandung, Siti Hartati Murdaya termasuk salah satu pengusaha yang terlihat di sana, selain Anindya Bakrie (putra dari Aburizal Bakrie).

Hartati adalah Ketua Walubi. Bersama suaminya, Murdaya Widyawimarta Poo, Hartati terkenal karena memproduksi sepatu Nike lewat dua perusahan, PT Naga Sakti Paramashoes dan PT Hardaya Aneka Shoes Industri. Keduanya juga dicatat oleh Forbes sebagai orang terkaya ke-13 di Indonesia dengan nilai kekayaan US$ 900 juta.

Perusahaan lain milik mereka adalah Central Cipta Murdaya, yang bergerak di bidang pengolahan kayu, properti, produksi baja, konferensi, dan minyak kelapa sawit. Konferensi yang dimaksud, termasuk International Expo Kemayoran, Jakarta (Pekan Raya Jakarta).

Di gedung itulah, suami-istri itu menggelar pesta pernikahan anak mereka, Prajna Murdaya dengan Irene Tedja, 27 April 2008. Irene adalah puteri kedua pasangan Alexander Tedja-Melinda. Tedja adalah pemilik Grup Pakuwon, kelompok usaha usaha properti.

Selain kolega bisnis, tamu yang diundang ke resepsi itu tentu adalah pejabat negara. Yudhoyono dan Ani Yudhoyono adalah salah satu tamu penting yang diundang, juga beberapa menteri di Kabinet Indonesia Bersatu dan sejumlah pejabat tinggi negara lainnya. Lalu hadir pula Megawati dan Taufiq Kiemas yang datang setengah jam setelah rombongan Yudhoyono berpamitan ke tuan rumah.

Di resepsi itu Keluarga Murdaya mendatangkan 100 koki dari berabagai hotel dan restoran di Jakarta, 70 orang koki didatangkan khusus dari Thailand. Sejumlah pesohor dari Ibukota dibayar untuk ikut menghibur tamu. Pembawa acaranya Tantowi Yahya, yang tarifnya bisa mencapai Rp 70 juta sejam. Rinduku Padamu, lagu ciptaan Yudhoyono tak lupa juga dinyanyikan oleh Baim.

Kalau Hartati lebih memilih Yudhoyono (Demokrat) maka Poo lebih condong ke Megawati (PDIP). Di PDIP, Poo bahkan tercatat dengan nomor keanggotaan 364.

Pada musim Pemilu Kepala Daerah Jawa Timur, tahun lalu, Poo pula yang menjadi penyumbang dana terbesar bagi pasangan Sutjipto-Ridwan Hisjam kandidat gubernur dan wakilnya yang diusung oleh PDIP. Lalu pada Pemilu Legislatif 2009, Poo merupakan kandidat anggota DPR-RI dari Daerah Pemilihan Jawa Timur I.

Lain-lain
Gatot Mudiantoro Suwondo Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk. kemungkinan besar adalah orang yang juga menyokong Yudhoyono.  Gatot adalah suami dari adik perempuan Ani Yudhoyono.

Majalah Trust menulis, ketika menjadi direktur Bank Danamon, Gatot pernah dijadikan tersangka oleh polisi dalam skandal pembobolan bank itu sebesar Rp 110 miliar. Skandal itu melibatkan Edi Karsanto (pejabat di departemen keuangan).

Oleh majalah yang sama disebutkan, sebagian dana itu disumbangkan untuk kepentingan pencalonan Yudhoyono pada Pemilu Presiden 2004 (lihat “Misteri Rekening Edi Karsanto,” Trust, 16-23 Agustus 2004). Namun sesuai catatan KPU, pada putaran pertama Pemilu Presiden 2004, Gatot “hanya” menyumbang Rp100 juta kepada pencalonan kakak iparnya itu.

Kelompok bisnis yang juga menyokong Yudhoyono adalah Prajogo Pangestu (Barito Group), Alim Markus (Maspion), Trihatma Haliman (Agung Podomoro Group) dan Ted Siong. Nama terakhir dikenal sebagai pelobi ulung di kalangan pengusaha Cina. Mereka disebut-sebut berada pada  lapisan atas di kiri dan kanan lingkaran Yudhoyono.

Selain pada pasangan SBY-Boediono, para pengusaha juga ada yang berdiri di belakang pasangan presiden dan wakil presiden yang lain. Sofyan Wanandi misalnya, berada di kubu pasangan Jusuf Kalla-Wiranto. Sofyan mengaku, pilihannya kepada JK-Wiranto keran pasangan itu dinilai bisa membuat terobosan kebijakan untuk memecahkan berbagai masalah.

Sofyan adalah pemilik Grup Gemala dan juga dicatat sebagai salah satu orang terkaya oleh Forbes.  Ada beberapa perusahaan yang berkibar di bawah bendera Gemala. Antara lain PT Gemala Kempa Daya yang memproduksi frame chassis dan press parts. Keluarga Sofyan tercatat juga memiliki saham di Arvin Industries Inc., perusahaan pembuat peralatan otomotif di Amerika Serikat. Kelompok ini juga mendirikan usaha patungan dengan investor Jepang, Yuasa.

Menurut Sofyan masyarakat Cina di Indonesia memiliki potensi 10 juta suara. “Itu merupakan suara yang signifikan,” katanya setelah pelantikan komunitas Cina pendukung JK-Wiranto di Makassar, Sulawesi Selatan. Ketua komunitas itu di Sulawesi Selatan adalah pengusaha Wilianto Tanta.

Selain Sofyan, pasangan JK-Wiranto niscaya juga didukung oleh Aksa Mahmud, adik ipar Kalla yang memegang kendali Grup Bosowa. Ini kelompok usaha keluarga, yang bergerak di beberapa bidang seperti semen, transportasi, dan pembangkit tenaga listrik.

Lalu di belakang pasangan Megawati-Prabowo, selain Poo, ada mantan menteri, Rini Soewandi. Rini dikenal sebagai pemilik PT Semesta Citra Motorindo yang memproduksi sepeda motor jenis bebek berkekuatan 110 cc, Kanzen Taurus. Mantan Direktur Utama PT Astra International itu adalah adik kandung Ari Sumarno, mantan Direktur Utama PT Pertamina

Ari dicopot dari jabatannya oleh pemerintahan Yudhoyono 5 Februari 2009, atau sekitar 13 hari sebelum kedatangan Menteri Luar Negeri Amerika, Hillary Clinton ke Jakarta. Pengganti Ari adalah Karen Agustiawan.

Pada kubu Megawai-Prabowo juga ada pengusaha Hashim Djojohadikusumo. Dia adalah adik kandung Prabowo, yang kini menjadi pemilik PT Kiani Nusantara (Kiani Kertas). Hashim dulu juga dikenal memiliki saham di Bank Papan, dan Bank Pelita. Dua bank ini, sudah ditutup oleh pemerintah.

Dari semua gejala itu, pernyataan yang pernah diucapkan Sofyan Wanandi mungkin menarik untuk diingat. Kata dia, pola hubungan pengusaha dengan penguasa di masa sekarang, digambarkannya sudah tidak sedekat seperti masa Orde Baru lalu.

Pengusaha karena itu tidak bisa lagi berhubungan dengan penguasa dengan gaya blind date (kencan buta) karena mereka  juga menuntut hubungan yang lebih pasti, dan kompensasi yang lebih pasti. “Kalian bisa menjanjikan apa, baru akan kami bantu,” kata Sofyan (lihat “Menggandeng Koalisi, Menyambut 2004,” Kompas, 2 Februari 2003).

Entahlah kini, ucapan Sofyan itu yang menarik untuk diingat itu, masih relevan atau tidak.

Tulisan ini juga bisa dibaca di politikana.com dan kompasiana.com.