BoedionoTerlepas dari perdebatan apakah Boediono penganut neoliberalisme dan sebagainya, kesantunan dan kesederhanaannya tak harus menutupi, peran lain Boediono sebagai pejabat publik. Tak pula karena alasan kursi-kursi di rumahnya, sudah banyak yang bolong seperti yang kemudian juga ditulis oleh Faisal.

oleh Rusdi Mathari
Pekan lalu, Boediono melaporkan kekayaannya kepada KPK. Catatan lembaga itu menyebutkan, ada kenaikan harta sebesar Rp 3,4 miliar atau 18,3 persen dari posisi kekayaan Boediono per 31 Mei 2008. Jika pada akhir Mei tahun lalu itu, harta Boediono masih tercatat sekitar Rp 18,6 miliar kini sudah menjadi Rp 22,06 miliar.

Usai verifikasi, Deputi Pencegahan KPK Eko Tjiptadi mengatakan, harta Boediono meliputi harta bergerak dan harta tidak bergerak. Yang tidak bergerak berupa tanah dan bangunan yang per 24 Februari 2006 mencapai Rp 2,2 miliar. Harta ini setahun lalu sudah naik dua kali lipat menjadi Rp 5,8 miliar.

Boediono diketahui juga memiliki alat transportasi dan mesin senilai Rp 646 juta meski dalam laporan pekan lalu, nilai hartanya itu turun menjadi Rp 512 juta. Selain logam mulia bernilai Rp 83 juta, Boediono tercatat juga memiliki surat berharga senilai Rp 600 juta, giro dan setara kas Rp 11,5 miliar, dan US$ 10 ribu. Tak ada utang yang dilaporkan oleh Boediono. Dia juga tak memiliki tanggungan utang (piutang).

Lahir di Blitar (Jawa Timur), 25 Februari 1943, dengan kekayaannya itu Boediono memang dikenal sebagai sosok yang santun dan tak banyak bicara. Barangkali itulah yang menjadi salah satu alasan Yudhoyono, menunjuknya sebagai menko perekonomian 5 Desember 2005, menggantikan Aburizal Bakrie yang digeser menjadi menko kesra. Jabatan itu sebetulnya warisan Soeharto dan dianggap sebagai posisi bergengsi di kabinet.

Sesuai Pasal 8 Keputusan Presiden RI No. 100 Tahun 2001, tugas menko perekonomian adalah membantu Presiden dalam mengkoordinasikan dan menyinkronkan penyiapan dan penyusunan kebijakan serta pelaksanaannya di bidang perekonomian. Kewenangannya meliputi  penetapan kebijakan secara makro untuk keterpaduan dan sinkronisasi seluruh kebijakan lembaga pemerintah di bidangnya; perumusan dan penetapan agenda dan prioritas kebijakan secara makro di bidangnya; penyusunan rencana makro untuk menyinkronkan rencana dan program lembaga pemerintah di bidangnya; penandatanganan perjanjian atau persetujuan internasional berdasarkan pelimpahan wewenang dari Presiden di bidangnya; dan penetapan putusan hasil koordinasi (lihat “Keputusan Presiden No.100 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara Koordinator”).

Beras dan CPO
Belum setahun menjabat menko perekonomian, Boediono dan tim ekonominya kemudian memutuskan untuk mengimpor beras. Itu terjadi pada 4 September 2006. Saat itu pemerintah melalui Departemen Perdagangan, menerbitkan surat persetujuan impor beras melalui Surat Menteri Perdagangan Nomor 760/M-DAG/9/2006 perihal Impor Beras untuk Cadangan Beras Pemerintah. Jumlahnya mencapai 210 ribu ton beras putih.

Pemerintah waktu itu beralasan, impor beras itu disebabkan oleh harga beras di dalam negeri pada bulan berjalan (September) yang sudah sangat tinggi yaitu Rp 5.091 per kilogram atau naik 58,23 persen dibandingkan dengan harga rata-rata pada Agustus 2005. Perhitungan itu diketahui dari 614 transaksi yang terjadi di 16 provinsi.

Soal impor itu, jika menggunakan alasan pemerintah bahwa harga beras di dalam negeri memang lebih mahal daripada harga beras di luar negeri, mestinya dana untuk impor beras itu bisa digunakan untuk membeli beras dari petani di dalam negeri.  Dengan demikian, para petani di Indonesia menikmati hasil kerja mereka dan bukan sebaliknya “diberikan” kepada petani luar negeri. Namun rupanya Jakarta, tak berkehendak mengelap keringat para petani, meski sebelumnya mereka sudah dipaksa hidup dengan harga BBM yang membubung.

Akibat kenaikan itu, harga beras lokal langsung turun. Di Pasar Cipinang, Jakarta, harga beras langsung turun hingga Rp 200 per kilogram. Di sentra produksi beras, seperti di Cimalaya, Cikampek, harga beras rontok hingga Rp 3.850 per kilogram. Padahal harga beras pada September 2006 mencapai Rp 5.091 per kilogram atau  naik sekitar 68 persen dibanding harga beras rata-rata pada bulan September tahun 2005, yang mencapai Rp 3.500 per kilogram.

Harga eceran minyak goreng curah setelah itu juga terus merambat naik. Semula pada Juli 2006 harganya baru bertengger Rp 5.026 per kilogram. Lalu terus naik setiap bulan, hingga menjadi Rp 8.787 per kilogram pada Juni 2007. Di beberapa tempat harganya saat itu ada yang mencapai Rp 10 ribu. Di Bandung, pada Maret 2008, harga eceran itu bahkan mencapai Rp 15.000 per kilogram.

Menurut Fahmy Radhi, Dosen FEB UGM dan Direktur Eksekutif Mubyarto Institute, dalam upayanya meredam kenaikan harga minyak goreng tampak sekali kegamangan Boediono sebagai menko perekonomian melakukan intervensi pasar.  Boediono seolah tidak ingin mengorbankan penghambaan pada mekanisme pasar.

Bandingkan kenyataan itu dengan luas kebun kelapa sawit Indonesia yang mencapai 6,4 juta hektar dan memproduksi 16 juta ton CPO (bahan baku minyak goreng) per tahun. Dengan produksi sebesar itu, kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap minyak goreng hanya sekitar 4 juta ton per tahun.

Salah satu penyebab tingginya harga minyak goreng itu adalah karena kenaikan harga CPO di pasar dunia yang dipicu oleh penggunaan bahan bakar nabati. Di awal tahun 2007 harga CPO dunia masih sekitar US$ 550  per ton lalu naik menjadi US$ 940 per ton pada akhir tahun. Harga tinggi itulah yang menggiurkan para pengusaha perkebunan kelapa sawit untuk menjual CPO mereka ke luar negeri.

Ada beberapa perusahaan yang tercatat menekuni bisnis perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Salah satunya adalah  PT Bakrie Sumatra Plantations Tbk. Perusahaan di bawah bendera Grup  Bakrie ini milik Aburizal Bakrie, salah sati menteri Yudhoyono yang juga menyumbang cukup besar dalam pencalonan Yudhoyono pada Pemilu Presiden 2004.

Perusahaan ini disebut-disebut meraup keuntungan besar akibat kenaikan harga CPO di pasar dunia.  Tujuh tahun silam pendapatan Bakrie Sumatra Plantations tercatat sekitar Rp 400 miliar dengan laba bersih Rp 76 miliar. Tiga tahun lalu, pendapatannya itu naik menjadi Rp 1,18 triliun dengan laba bersih Rp173 miliar. Lalu pada tahun 2007 pendapatan perusahaan ditaksir menjadi Rp1,7 triliun dengan laba bersih Rp 210–220 miliar.

Beberapa nama lain di bisnis ini adalah Anthony Salim (Grup Salim). Melalui PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Anthony mengakuisisi 64,4 persen saham perusahaan perkebunan kelapa sawit PT PP London Sumatra Indonesia Tbk. senilai Rp 8,4 triliun di tahun 2007. Lalu ada Sukanto Tanoto. Selain menjadi pemilik APRIL, salah satu produsen pulp & paper terbesar di Asia, melalui Asian Agri, Sukanto tercatat sebagai salah satu di antara lima produsen minyak kelapa sawit terbesar di Indonesia.

Di bawah judul “Kisah Pembobol” majalah Tempo edisi 21 Januari 2007 pernah menulis, Asian Agri terlibat penggelembungan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun, mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar, mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat ketiga modus itu, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.

Skandal keuangan ini sempat menyeret-nyeret sejumlah nama pejabat, termasuk nama Yudhoyono. Meski berstatus buronan dan dicekal, Sukanto misalnya diberitakan pernah bertemu dengan Yudhoyono, sebelum Lebaran tahun 2006. Tahun lalu berkas penggelapan pajak Asian Agri dilimpahkan oleh Dirjen Pajak ke Kejaksaan Agung, tapi hingga kini, belum ada keputusan apa pun terhadap Asian Agri.

Rapor Ekonomi dan BBM
Tentu saja yang menghebohkan di masa Boediono menjadi menko perekonomian adalah kenaikan harga BBM, Sabtu 24 Mei 2008. Dalam pengumuman yang dibacakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, kenaikan itu berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No.16 Tahun 2008.

Sejak itu harga minyak tanah menjadi Rp 2.500 per liter meski di tingkat eceran kemudian bisa melonjak Rp 6.000 per liter. Harga bensin premium dipatok sebesar Rp 6.000 per liter dan minyak solar menjadi Rp 5.500 per liter. Harga baru itu berlaku untuk konsumsi rumah tangga, usaha kecil, transportasi, dan pelayanan umum.

Menurut Pak Menteri, ketentuan itu diambil berdasarkan pertimbangan pemerintah yang harus memberikan subsidi BBM dalam APBN Perubahan tahun 2008 sebesar Rp135,1 triliun. Pemerintah selanjutnya akan mengatur dana Bantuan Langsung Tunai kepada masyarakat sebagai langkah untuk mengantisipasi gejolak yang ditimbulkan oleh kenaikan harga tersebut.

Kenaikan itu memicu protes besar dari sejumlah kalangan termasuk mahasiswa. Antara lain mahasiswa Universitas Nasional, Jakarta. Protes di depan kampus itu, kemudian berujung pada kematian Maftuh Fauzi, mahasiswa di Akademi Bahasa Asing, Universitas Nasional. Beberapa jahitan diketahui ditemukan pada kepala Maftuh setelah penyerbuan dan pemukulan oleh polisi terhadap kampus itu.

Kenaikan itu merupakan yang ketiga yang dilakukan oleh pemerintahan Yudhoyono. Ketika naik menjadi presiden, harga bensin premium adalah Rp 1.800 per liter. Harga itu kemudian naik menjadi Rp 2.400 per liter atau sekitar 125 persen. Kenaikan kedua menjadi  Rp 4.500 per liter, lalu Rp 6.000 per liter tahun lalu. Benar pemerintah kemudian menurunkan harga-harga BBM itu. Namun itu hanya 10 persen atau kalah jauh dibandingkan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang telanjur naik dan tak bisa turun lagi.

Ketika harga BBM kali pertama dikerek oleh pemerintahan Yudhoyono, 1 Maret 2005, sepekan sebelumnya sejumlah tokoh yang dipelopori Freedom Institute  memasang iklan satu halaman penuh di harian Kompas. Freedom Institute adalah lembaga nirlaba yang didirikan oleh Keluarga Bakrie dan diawaki oleh antara lain Mallareng Bersaudara (Andi dan Rizal), M. Chatib Basri dan Mohamad Iksan.

Iklan yang dipublikasikan 26 Februari 2006 itu, antara lain berisi dukungan kepada pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM. Sejumlah nama yang tercantum antara lain Andi dan Rizal (pendiri Fox Indonesia, yang kini menjadi konsultan PR pasangan SBY Boediono), Goenawan Muhamad, Lin Che Wie, Iksan, Chatib Basri, Raden Pardede, Sofyan Wanandi dan Todung Mulya Lubis.

Sejumlah nama itu, sekarang merapat ke pasangan SBY Boediono.  Chatib mengaku diajak langsung oleh Boediono. Beberapa dari mereka termasuk Rizal, menurut ekonom Faisal Basri, juga mengajaknya tapi Faisal menolak ajakan untuk bergabung itu.

Bang saya berpikir Bang Faisal harus masuk ke dalam tim inti Pak Boed.” Begitulah sebagian isi pesan pendek, SMS, dari orang yang disebut Faisal sebagai “orang dalam,” yang ditunjukkan kepada Koran Jakarta (lihat “Faisal Basri,” Koran Jakarta, Minggu 24 Mei 2009).

Dalam tulisannya di Kompas 27 April 2009 berjudul “Menakar Kinerja SBY-JK,” Faisal mengkritik kinerja ekonomi pemerintahan Yudhoyono di mana Boediono adalah menko perekonomiannya. Menurut Faisal, kinerja pemerintahan SBY-JK bisa dinilai dengan mengacu pada Undang-Undang Rencana Pembangunan Jangka Menengah.

Untuk target pertumbuhan ekonomi, tercantum dalam rencana itu angka 6,6 persen untuk periode 2005-2009. Menurut Faisal, target itu sudah bisa dipastikan tidak akan tercapai karena pertumbuhan selama 2005-2008  hanya 5,9 persen. Dengan demikian, semua target untuk indikator ekonomi utama juga meleset. Yang paling terperosok adalah angka pengangguran dan kemiskinan. Untuk angka pengangguran pada tahun 2008 targetnya adalah 6,6 persen, kenyataannya menjadi 8,4 persen. Untuk penduduk miskin, ditargetkan 8,2 persen pada tahun 2009, sedangkan realisasi untuk 2008 (angka 2009 belum tersedia) adalah 15,4 persen.

Faktanya, selama tahun 2004-2008, anggaran untuk memerangi kemiskinan memang naik hampir empat kali lipat, tapi angka kemiskinan hanya turun 1 persen saja. Hingga tahun lalu, angka kemiskinan masih tercatat sebanyak  34,2 juta orang atau 17,3 persen dari total jumlah penduduk. Ada pun jumlah pengangguran masih sekitar 10,55 juta jiwa atau 9,75 persen dari total angkatan kerja.

Kini Boediono sudah ditetapkan menjadi kandidat wakil presiden oleh Yudhoyono. Terlepas dari perdebatan apakah Boediono penganut neoliberalisme dan sebagainya, kesantunan dan kesederhanaannya tak harus menutupi, peran lain Boediono sebagai pejabat publik. Tak pula karena alasan kursi-kursi di rumahnya, sudah banyak yang bolong seperti yang kemudian juga ditulis oleh Faisal. (selesai)

Tulisan ini juga bisa dibaca di politikana.com dan kompasiana.com