Anggota DPR yang dulu memilih Antasari Azhar sebagai Ketua KPK, kini berbalik arah menyerang KPK. Antasari dianggap sebagai orang yang memiliki banyak musuh, dianggap tidak tahu diri, dan “memilih-milih” kasus.

oleh Adiyanto, Ezra Sihite, Kristian Ginting, Rangga Prakoso dan Teguh Nugroho
SUASANA gaduh mewarnai rapat dengar pendapat Komisi III DPR-RI yang membidangi hukum dengan jajaran pengurus Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK, Kamis lalu. Pengunjung sidang menyoraki anggota DPR karena terus menyerang KPK.

Pada awal rapat, Komisi Hukum sebetulnya hanya mencecar pengurus KPK dengan tiga pertanyaan: Alasan KPK menonaktifkan Antasari Azhar, dasar hukumnya pimpinan menunjuk pelaksana harian Ketua KPK secara bergiliran, dan bagaimana pelaksanaan kinerja KPK pasca Antasari nonaktif.

Belakangan pertanyaan demi pertanyaan yang menyudutkan terus dilontarkan anggota parlemen. Tiga anggota Fraksi PDI Perjuangan, Nadrah Izahar, Panda Nababan, dan Dewi Asmara, misalnya, terus mempertanyakan alasan pimpinan KPK menonaktifkan Antasari.
Anggota lainnya, hampir seluruhnya mempertanyakan mengenai keabsahan keputusan KPK sepeninggal Antasari.

Menurut mereka, berdasarkan undang-undang, jumlah pimpinan KPK harus ada lima. Dan setiap keputusan KPK karena itu harus diambil oleh lima pimpinan.

Semula pertanyaan-pertanyaan itu juga dijawab santai oleh empat pimpinan KPK yang hadir, yakni M. Yasin, Chandra M. Hamsyah, Bibit Samad, dan Haryono Umar. Namun, rupanya anggota DPR kembali menyoal jawaban KPK. Respons balik anggota dewan itulah yang lalu mengundang reaksi pengunjung sidang. “Huu…,” sorak pengunjung setiap mendengar anggota dewan mengajukan pendapat.

“Tenang-tenang, ini bukan pertunjukan,” kata Ketua Komisi Hukum, Trimedya Panjaitan, yang menjadi pemimpin rapat. Trimedya adalah anggota dewan dari Fraksi PDI Perjuangan.

Menurut Wakil ketua KPK M Yasin, langkah DPR menyalahkan tindakan Wakil Ketua KPK yang bergiliran memimpin adalah keliru. Wakil Ketua KPK hanya mempertahankan eksistensinya. “Kalau proses hukum berjalan bisa sampai 8 bulan, saya rasa tidak tepat menunggu surat presiden. Apakah kita harus berhenti dulu selama 8 bulan?” kata Yasin membela diri.

Walhasil rapat yang dimulai pukul 10.00 pagi hingga tengah malam itu tak menemui titik temu. dari hasil rapat internal komisi hukum yang dihadiri pimpinan komisi dan fraksi, hanya disepakati, KPK tetap melaksanakan tugas dan fungsinya seperti biasa. “Dengan tetap memperhatikan UU KPK pasal 21 ayat (1) dan (2),” ujar Trimedya.

Patra M Zen, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menuding ada upaya pihak-pihak tertentu yang sengaja ingin “membunuh” KPK pada saat ini. Tindakan beberapa oknum anggota DPR pada rapat Kamis lalu itu, menurutnya bisa dikategorikan sebagai upaya menghalangi pemberantasan korupsi. Jika terus mendesak KPK untuk berhenti, Patra mengancam akan melaporkan pihak-pihak tersebut.

“Tidak ada satu pun yang boleh menghentikan proses pemberantasan korupsi,” kata Patra Jumat lalu ketika berbicara untuk mendukung KPK.

Seruan moral itu didukung sejumlah LSM antara lain Masyarakat Transparansi Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Publik, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Indonesia Corruption Watch, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan Indonesian Center for Environment Law.

Dukungan serupa juga datang dari sejumlah orang yang pada hari yang sama mendatangi KPK. Dari sekitar 30 orang yang datang, separuhnya perempuan muda yang berdandan cantik, sebagian berkacamata hitam dan berkaus seragam putih berlengan biru dengan tulisan besar-besar, “Gerakan Lanjutkan SBY.” Pemimpinnya Alex Asmasoebrata, mantan pembalap yang juga pernah menjadi anggota DPR-RI.

“Saya pikir KPK selama ini sudah bagus, jangan sampai kepemimpinan yang sekarang ini menjadi ciut. Rakyat ada di belakang KPK untuk tetap terus menangkap koruptor. Pimpinan KPK sekarang nggak perlu takut. Lawan terus!” tegas Alex.

Tagihan Suap
Betulkah ada upaya menggoyang KPK pasca tertangkapnya Antasari? Menurut Boyamin Saiman anggota tim advokasi Nasrudin, Antasari memang banyak memiliki musuh terutama karena saat terpilih sebagai Ketua KPK, Antasari juga melakukan kongkalikong. Sigid Haryo Wibisono ditunjuk ketua tim” kampanye” untuk pemenangan Antasari. “Banyak partai besar yang terlibat. Semua orang sudah tahu itu,” kata Boyamin.

Ceritanya, Sigid sebagai penyandang dana untuk Antasari dalam proses pencalonannya sebagai Ketua KPK. Padahal waktu itu, jangankan masuk dalam lima besar, posisi Antasari hanya berada di urutan ke-10. Di atasnya di nomor 9 ada Saut Situmorang, dosen UI yang disebut-sebut sebagai anggota BIN, yang belakangan mengundurkan diri. Agar Antasari masuk dalam lima besar, dibutuhkan suara bulat dari anggota DPR. Melalui Suripto dari Fraksi PKS, suara itu lalu benar-benar diberikan kepada Antasari sehingga terpilih menjadi Ketua KPK, 5 Desember 2007.

Belakangan, Suripto dinilai menggunakan sendirian uang dari Antasari itu. Dihubungi via telepon, Sabtu kemarin, Suripto yang mengaku berada di Solo, Jawa Tengah menghadiri peluncuran buku, menjelaskan, dirinya tidak tahu persis perkara itu. “Saya tidak tahu siapa operator yang membagi uang, lalu siapa saja yang mendapat dan jumlah uangnya,” kata Suripto.

Suripto mengaku memang mendengar ada suap-menyuap dalam pencalonan Antasari sebagai Ketua KPK. Namun kata dia, itu tak hanya terjadi pada Antasari. Ketika Mahkamah Agung mengajukan usul agar usia pensiun hakim agung diperpanjang hingga 70 tahun, kata Suripto juga beredar uang di Komisi III. Lalu benarkah Suripto menerima uang terbanyak ketika Antasari mencalonkan sebagai Ketua KPK? “Saya tidak menerima. Lagi pula calon dari Fraksi kami bukan Antasari,” kata Suripto.

Tiga Serangkai
Cuma ketika benar-benar terpilih sebagai Ketua KPK, sepak terjang Antasari malah mengejutkan orang-orang yang dulu memilihnya termasuk kalangan DPR, yang sebagian anggotanya justru dicokok oleh KPK, yang dipimpin Antasari. Sepak terjang seperti itulah, yang lantas menimbulkan ketidaksukaan banyak pihak terhadap Antasari.

Ketika Agus Prayitno Condro melaporkan kasus suap pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, Miranda Swaray Goeltom ke KPK, misalnya ketidaksukaan banyak pihak semakin menjadi-jadi. Antasari bahkan diancam segala. “Kenapa kasus itu nggak dibongkar KPK karena orang-orang PDIP juga mengancam. ‘Kalau kamu membongkar kasusnya Agus Condro, kasus kamu juga akan kami bongkar saat pemilihan Ketua KPK’,” kata Boyamin.

Panda Nababan yang disebut-sebut ikut mengancam Antasari, menolak memberikan tanggapan. Menurut Anggota Komisi III dari Fraksi PDIP itu, dirinya tidak mau berkomentar tentang kasus itu. “Nanti malah bikin masalah, ini makin simpang siur. Kita serahkan saja ke kepolisian. Biar mereka yang mengusut. Itu saja komentar saya,’’ kata Panda.

Seorang sumber yang dekat dengan Sigid menuturkan, Antasari, Sigid dan Nasrudin Zulkarnaen merupakan tiga serangkai. Sigid kata dia, adalah pemain di proyek-proyek Departemen Sosial. “Dia juga politikus, pernah di Golkar pernah di PKB. Makanya kemarin ada omongan dari PKB bahwa kasus ini menghentikan pencak silatnya Sigid,” kata sumber tadi.

Dalam hubungannya dengan Antasari sebagai Ketua KPK, Sigid jugalah yang menurut dia, bertindak sebagai perantara. “Sigid tukang pungutnya,” katanya.

Pangkalnya adalah perkara yang ditangani oleh KPK. Menurutnya beberapa perkara orang-orang tertentu yang ditangani KPK, diselesaikan melalui kesepakatan tertentu. Kalau disetujui, mereka menggunakan rekening Nasrudin dan kelak kemudian diambil oleh Sigid.

“Kalau tidak salah penyelesaian kasus di Departemen Sosial juga ditutup dengan nilai Rp 75 miliar,” kata dia.

Dari sana itulah perselisihan antara Antasari dan Nasrudin bermula. Pasalnya uang yang diambil Sigid dan disetor ke rekening Nasrudin ternyata tidak dibayarkan kepada Antasari. Nasrudin sejak itu dikabarkan terus menghindar termasuk lari ke Kendari.

Di kota itu, Nasrudin pernah dijebak untuk kasus narkoba, tapi bisa lolos. Terakhir KPK di bawah Antasari dikabarkan membuat kesepakatan dengan salah satu menteri yang terlibat dalam penerimaan pajak.
Itulah yang kemudian membuat banyak orang yang pernah berhubungan dengan Antasari termasuk anggota DPR, merasah gerah dan berupaya agar Ketua KPK nonaktif tersungkur. Setidaknya agar dia tidak menjabat sebagai Ketua KPK.

Tulisan ini dimuat di Koran Jakarta Minggu 10 Mei 2009 Halaman 5 dengan judul “Menggusur Pak Ketua, Menggoyang KPK”