Kuda Lumping
Kuda Lumping

Yang kemudian bisa disaksikan dan dibaca adalah sebuah atrakasi kuda lumping yang berbeda.Partai tertentu yang mencatat rekor dunia karena meraup kemenangan hingga 300 persen. Sosok yang satu memaksakan untuk dianggap dan mengumpulkan puluhan orang yang katanya disebut dan dianggap tokoh. Para petinggi partai berputar-putar kata membangun sekutu.

Oleh Rusdi Mathari

SABTU siang awal April silam satu kelompok kesenian kuda lumping ikut diundang untuk meramaikan kampanye PNBK di Prabumuli, Sumatera Selatan. Itu hari terakhir kampanye dari partai yang didirikan dan diketuai oleh Erros Djarot. Massa datang berjubel.

Lalu ketika sejumlah penari kuda lumping mulai menari-nari sambil memakan beling—salah seorang juru kampanye bernama Syaiful tiba-tiba melepas baju dan meloncat. Dia keluar dari arena kampanye dan seperti para penari kuda lumping lantas pula dia berputar-putar. Sejurus Syaiful menemukan batang pisang, mencabutnya lalu membawanya ke arena kampanye, tempat atrakasi kuda lumping sedang berlangsung.

Selanjutnya inilah yang terjadi: Syaiful melumat habis batang pisang yang dibawanya. Massa berteriak-teriak mengelu-elukan Syaiful, bukan karena dia dicalonkan sebagai anggota parlemen yang hebat tapi karena lelaki itu kesurupan.

Kuda lumping sejak dulu memang makan beling. Penarinya selalu berputar-putar, diiringi tetabuhan yang nadanya seolah meminta kematian. Mulut mereka berbusa, tatapanya nanar dengan bola mata memerah. Penonton jarang ada yang berani mendekat karena entah sejak kapan, penari kuda lumping yang seolah tak sadarkan diri itu dianggap bisa menularkan kesurupan. Menimbulkan bala.

Pada masa kampanye yang lalu, atraksi berbau mistis itu laku ditanggap banyak partai, terutama di Jawa dan Sumatera bagian selatan. Tarifnya nisacaya tak semewah ketika partai-partai itu harus mendatangkan The Changcuter, Tiga Diva, atau para pesohor lain dari Ibukota— ke panggung kampanye meski untuk urusan menyedot massa, atraksi kuda lumping bisa lebih masif.

Dan itulah luar biasanya para seniman kuda lumping: Mereka jarang sekali menampik diajak untuk meramaikan hajatan termasuk kampanye oleh partai apa saja. Bagi mereka pilihannya bukan semata untuk mempertahankan hidup melainkan juga karena pada tradisi harus ada kesetiaan yang bekelindan.

Namun kini seusai musim kampanye, tak ada lagi yang memerhatikan mereka. Partai yang meraih suara terbanyak atau partai yang menjadi pencundang pada pemilu kali ini bahkan sejak selesai musim kampanye sudah melupakan mereka. Pembayaran pentas mereka sudah dianggap lunas oleh panitia kampanye dan sekarang adalah waktu untuk mengalkulasi hasil perolehan suara.

Di layar televisi, halaman depan koran dan majalah, yang kemudian bisa disaksikan dan dibaca adalah sebuah atrakasi kuda lumping yang berbeda. Partai tertentu yang mencatat rekor dunia karena meraup kemenangan hingga 300 persen. Sosok yang satu memaksakan untuk dianggap dan mengumpulkan puluhan orang yang katanya disebut dan dianggap tokoh. Para petinggi partai berputar-putar kata membangun sekutu. Semua katanya adalah untuk kebaikan bangsa dan negara, demi rakyat termasuk juga untuk para seniman kuda lumping itu meski yang sebetulnya, para “tokoh” itu sedang berhitung untuk kepentingan partai dan kelompoknya, siapa akan mendapatkan apa.

Terselip di antara atraksi partai-partai itu, kabar tentang dua jaksa penjual barang bukti yang melenggang bebas karena Kejaksaan Agung lembaga yang terhormat itu hanya menganggapnya soal kecil. Ada jenderal polisi yang menuntut wartawan hingga 10 miliar rupiah. Kematian David Hartanto yang bahkan tak dilirik sebelah mata oleh negara. Otak pembunuh Elen yang “kesulitan” diungkap oleh polisi. Anak presiden dianggap raja, yang salah-benar tetap harus dibela. Indeks persepsi korupsi Indonesia yang ternyata tertinggi di Asia, dan sebagainya.

Siapa sebetulnya yang kini kesurupan kuda lumping? Syaiful, calon anggota parlemen dari Prabumuli yang pernah merasakan mengunyah dan menelan batang pisang, barangkali bisa ditanya soal itu meski belum tentu bisa menjawab.