Hanya BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid, presiden Indonesia yang tidak pernah menangkap dan memenjarakan para pengritik dan penghinanya dengan dalil pencemaran nama baik. Dan dalam soal pasal-pasal penghinaan semacam itu, Indonesia kalah selangkah dengan Timor Leste yang menghapuskan seluruh pasal penghinaan kepada kepala negara.
oleh Rusdi Mathari
DALAM film Fahrenheit 911, Michael Moore menggambarkan George W Bush, Presiden Amerika yang berkuasa ketika itu sebagai orang tolol, pendusta dan tidak kompeten. Film yang diedarkan beberapa bulan sebelum pemilu presiden Amerika 2008 itu, niscaya mendapat bantahan sengit dari pihak Bush meskipun bantahan mereka tidak sanggup mencegah penurunan ketenaran Bush di musim kampanye dan merosotnya pamor Partai Republik.
Tentu saja film Moore tak bisa dilihat dari hitam putih, benar dan salah. Film itu, jika pun harus dianggap sebagai fakta yang dikemas fiksi, tak lebih hanya sebuah ungkapan kekecewaan seorang warga negara terhadap presidennya. Namun memang akan selalu ada alasan untuk menempatkan kepala negara sebagai lembaga yang tak bebas nilai, termasuk di negara ini.
Human Rights Watch Divisi Asia pernah mengungkapkan fakta, pemerintahan Presiden Megawati adalah rezim yang paling sering menjerat musuh politiknya dengan pasal penghinaan kepala negara. Selama Indonesia merdeka, ada 46 kasus penghinaan kepala negara dan 39 kasus di antaranya adalah penghinaan terhadap anak perempuan Bung Karno itu.
Dulu sekali, Sri Bintang Pamungkas dibui 10 bulan penjara setelah hakim memutus dirinya bersalah karena dianggap menghina kepala negara. Bintang dituduh melecehkan Presiden Soeharto dalam sebuah ceramah di Technische Universitet Berlin pada 9 April 1995. Lalu ada Fachrul Rachman, mahasiswa UIN Jakarta yang juga dipersalahkan oleh rezim Susilo Bambang Yudhoyono dengan tuduhan yang sama: menista presiden. Demikian seterusnya.
Tentang penghinaan terhadap kepala negara itu, Mahkamah Konsitusi sebetulnya sudah mencabut pasal 154 dan pasal 155 tentang penghinaan terhadap kepala negara yang tercantum di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Raden Panji Utomo yang mengajukan permohonan uji materi terhadap dua pasal tadi, dua tahun silam. Dia seorang dokter yang dijatuhi kurungan penjara tiga bulan karena dianggap menghina kepala negara di penghujung 2006 menyusul aksi unjuk rasa di depan Kantor BRR di Banda Aceh.
Sebelum permohonan Panji itu, dua pasal itu kerap digunakan pemerintah kolonial untuk menangkap musuh politiknya. Bersama lima pasal lainnya dalam Bab V KUHP yang mengatur ”Kejahatan Mengenai Ketertiban Umum” pasal-pasal itu dijuluki sebagai pasal penabur kebencian (hatzaai artikelen). Sejumlah aktivis pergerakan Indonesia pernah jadi korban pasal ini termasuk Soekarno, Gatot Mangkupradja, Maskun, dan Supriadinata.
Setahun setelah Indonesia merdeka, pasal 153 bis, yang digunakan menjerat Soekarno dan rekan-rekannya dicabut pemerintah meskipun pasal-pasal ”penabur kebencian” yang lain tetap hidup. Lantaran sifatnya yang lentur dan multitafsir itu pula, kedua pasal ini juga dijuluki pasal karet.
Lalu pekan silam polisi bergerak super cepat ketika menangani kasus pengaduan politik uang di Ponorogo. Karena yang dituduh adalah Edhie Baskoro, anak presiden— oleh polisi, pelapor politik uang lalu dianggap melecehkan presiden, menganiaya kepala negara. Dua jenderal polisi berbintang dua langsung ikut turun tangan meskipun soal pengaduan pelanggaran dalam pemilu mestinya cukup ditangani polisi di tingkat sektor.
Maka seandainya Moore hidup di Indonesia dan membuat film semacam Fahrenheit 911 yang dimaksudkan untuk mencela presiden, dia mungkin hanya akan terbebas dari tuduhan menghina kepala negara di zaman Presiden B.J. Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid –yang tak sekalipun menggunakan pasal penghinaan kepala negara untuk membui para pengkritiknya. Dan fakta semacam itu sungguh memalukan, karena bahkan Timor Leste, negara yang oleh banyak orang disebut sebagai negara gagal, menghapus pasal-pasal penghinaan terhadap kepala negara dari KUHP-nya. Seluruhnya tanpa terkecuali.
Tinggalkan Balasan