Perlu nyali dan keberanian besar untuk mencegat seorang perwira tinggi seperti Muchdi yang pernah memimpin Kopassus kesatuan elit yang dimiliki TNI-AD, apalagi dengan harus menyentuh dada si perwira.

oleh Rusdi Mathari
SEBENTAR pak, Suciwati mau berbicara,” kata Usman Hamid kepada seorang lelaki tegap yang berjalan di depannya. Usman berusaha meletakkan tangannya ke dada lelaki itu agar dia berhenti sejenak tapi yang diajak bicara tak sedikit pun mengeluarkan kata-kata dan terus berjalan meninggalkan Usman. Usman yang lalu berada di belakang lelaki itu tetap berupaya mencegah lelaki itu meninggalkan ruangan. “Pak ada yang mau bicara,” Usman mengulangi permintaannya.

Lelaki itu sempat menoleh ke arah Usman tapi tetap tak mengeluarkan sepatah kata pun. Reaksi terhadap tindakan Usman justru datang dari beberapa orang yang berjalan mengelilingi lelaki itu: Usman didorong untuk menjauh. “Hei jangan main kasar ya?” suara Usman mulai meninggi kepada beberapa orang berambut cepak itu, yang ternyata adalah para pengawal si lelaki itu. Keributan mulai terjadi.

Suciwati yang disebut Usman, yang saat itu berjalan di belakang Usman mulai berteriak, “Pembunuh. Anda Pembunuh suami saya,” tapi orang yang diteriaki oleh Suciwati tetap bergeming dan terus keluar dari ruang sidang di lantai dua, menuruni tangga dan melenggang menuju kendaraannya bersama para pengawal. Usman, Suciwati, dan beberapa aktivis lainnya kemudian hanya bisa menyaksikan mobil yang ditumpangi oleh lelaki itu meninggalkan areal parkir.

Usman Hamid adalah Koordinator Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS dan lelaki yang dicegatnya adalah Muchdi Purwopranjono, pensiunan tentara berpangkat mayor jenderal.

Tak Mau Menatap
Siang itu 17 November 2005 bersama Suciwati istri mendiang Munir— dan para aktivis HAM, Usman sengaja datang ke PN Jakarta Pusat bukan hanya untuk melihat dan mendengarkan persidangan kasus pembunuhan Munir dengan terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot senior Garuda Indonesia. Usman, melainkan juga kebagian tugas mencegat Muchdi yang dijadwalkan hadir untuk memberikan kesaksian sebagai mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) di depan majelis hakim. Tujuannya untuk mengajak berbicara Muchdi dan kalau mungkin dia bersedia mendengarkan lalu menjawab pertanyaan dari Suciwati.

Ketika sidang usai, Usman benar-benar mendekati Muchdi yang sudah bersiap-siap meninggalkan ruangan sidang. Sebelum Muchdi benar-benar keluar dari ruangan, Usman berdiri di depan Muchdi sambil memajukan tangan kanannya ke dada Muchdi dan kemudian terjadilah keributan kecil itu. “Dia tak mau menatap saya, tepatnya saya tidak tahu apakah dia menatap saya atau tidak, karena dia tak melepaskan kacamata hitamnya,” kata Usman.

Perlu nyali dan keberanian besar untuk mencegat seorang perwira tinggi seperti Muchdi yang pernah memimpin Kopassus apalagi dengan harus menyentuh dada si perwira. Akan tetapi sarjana hukum dari Universitas Trisakti Jakarta yang berperawakan kecil dan berpenampilan sederhana itu adalah orang yang punya nyali dan keberanian besar. Sebuah sikap yang sesungguhnya telah menjadi watak dari sebagian besar penggiat KontraS, sebuah lembaga yang sejak awal didedikasikan untuk menolak kekerasan dan merawat kebebasan. Dalam banyak hal, keberanian sikap semacam yang dilakukan para aktivis KontraS termasuk Usman sering kali berbuah ketidaknyamanan bagi pribadi aktivisnya dan juga para keluarganya.

Anti-Peluru
Usman misalnya, sudah kenyang dengan teror. Mulai dari ancaman pembunuhan, penculikan, dan sebagainya. Di jalan, dia dan istrinya sudah berkali-kali hendak ditabrak atau dicelakakan orang. Pernah pada suatu hari Munir memberitahu Usman, bahwa dia menjadi incaran target pembunuhan seorang petinggi tentara sehingga Munir karena itu meminta Usman mengenakan rompi jaket anti-peluru.

“Kalau soal teror sebenarnya tak terhitung tapi Cak Munir pernah berpesan, agar semua teror yang kita alami tidak diceritakan atau diungkapkan ke publik, agar mereka juga tidak terteror dengan ketakutan,” kata Usman terkekeh.

Munir yang disebut oleh Usman adalah salah satu pendiri dan kemudian menjadi pelopor KontraS, yang mati di dalam pesawat Garuda Indonesia yang membawanya dari Jakarta ke Belanda pada 7 September 2004. Meskipun Pollycarpus sudah dihukum sebagai pembunuh Munir, namun pelaku utama yang merancang atau menjadi otak utama dari pembunuhan tersebut hingga kini masih belum terungkap atau tidak diadili. Dalam beberapa hal, kasus pembunuhan Munir menjadi semakin berlarut-larut salah satunya karena memang tidak ada keberanian dan kemauan politik pemerintah untuk menuntaskannya.

Sebelumnya, pemerintah karena desakan sejumlah aktivis HAM dan atas draft usulan dari KontraS dan Imparsial, pernah membentuk TPF Munir. Tim ini dibentuk pada 23 Desember 2004 melalui Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004 setelah ditemukan sejumlah bukti awal bahwa Munir tewas dibunuh. Salah satunya adalah hasil otopsi medis pada 11 November 2004 yang menemukan bukti bahwa terdapat sebanyak 465 mgr. arsen (arsenicum) di lambung Munir.

Tak Cukup Polisi
Alasan lain, pembunuhan Munir termasuk dalam kategori pembunuhan tingkat tinggi sehingga penanganan kasusnya dianggap tidak cukup hanya dilakukan oleh polisi. Anggota TPF Munir karena itu terdiri atas sejumlah lembaga seperti Polri, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung, dan sejumlah aktivis seperti Usman, Asmara Nababan, Hendardi, dan Kamala Chandrakirana.

Tugasnya adalah membantu kepolisian dalam melakukan penyelidikan secara bebas, cermat, adil dan tuntas terhadap peristiwa meninggalnya Munir. Ketua TPF Munir adalah Brigjen Pol Marsudhi Hanafi, dan Usman menjadi sekretaris.

Sejak dibentuk hingga dibubarkan pada 23 Juni 2005, TPF Munir sudah meminta keterangan kepada paling sedikit 13 orang. Mulai dari awak maskapai Garuda Indonesia, hingga orang-orang yang berada di lingkaran pejabat BIN. Mereka antara lain adalah bekas Sekretaris Utama BIN, Nurhadi Djazuli, dan penggantinya, Soeparto. Juga Kepala Biro Umum Sekretaris Utama BIN, Sumarno, bekas Kepala Biro Personalia BIN Sofyan dan penggantinya, Suwirto, serta penjaga gudang senjata Supriyatna. Nurhadi Djazuli bahkan disebut-sebut sebagai salah satu pejabat yang diduga tahu banyak mengenai skenario menghabisi Munir dan dianggap sebagai atasan Pollycarpus.

Hasil pemeriksaan TPF terhadap Nurhadi Djazuli – diperiksa selama 2 jam dengan sekitar 20 pertanyaan— bahkan menunjukkan indikasi kuat bahwa Nurhadi Djazuli adalah pejabat BIN yang menandatangani surat pemilikan senjata Pollycarpus. Sedangkan bekas stafnya, Kepala Biro Umum Sekretaris Utama BIN, Sumarno, diperiksa karena telah melenyapkan data keberadaan Pollycarpus di BIN.

Bukti Percakapan
Pada tanggal 8 dan 9 Juni 2005 TPF Munir sebetulnya juga mengagendakan pemeriksaan berturut-turut terhadap Muchdi dan Letjen Abdullah Makhmud Hendropriyono, mantan Kepala BIN. Pemeriksaan terhadap Muchdi dan Hendropriyono dianggap penting karena beberapa hal.

Pertama Henderopriyono adalah Kepala BIN dan karena itu seharusnya adalah orang paling utama di BIN yang bertanggung jawab terhadap segala aksi-aksi petugas badan tersebut. Kedua TPF Munir menemukan bukti berupa sejumlah kontak melalui telepon seluler dan telepon kantor Muchdi dengan telepon seluler milik Pollycarpus.

Bukti-bukti percakapan itu terungkap dalam dokumen-dokumen dari PT Telkom Tbk., perusahaan telekomunikasi Indonesia, yang berhasil dikumpulkan oleh TPF Munir. Kontak itu diketahui dilakukan sebelum dan setelah Munir meninggal. Hendropriyono dan Muchdi akan tetapi tak pernah datang memenuhi panggilan atau undangan dari TPF Munir.

Sebelum mengagendakan pemeriksaan terhadap Hendropriyono dan Muchdi, TPF Munir telah mengirimkan beberapa surat kepada dua orang pensiunan jenderal itu, masing-masing pada tanggal 31 Mei, 7 Juni dan 9 Juni 2005. Hubungan telepon juga dilakukan pada tanggal 6 Juni, 9 Juni dan 16 Juni 2005 tapi semua upaya tersebut diabaikan oleh keduanya. Muchdi beralasan sedang bertugas di Papua sementara Hendropriyono beralasan bertugas ke luar negeri. “Saya yang kebagian tugas menghubungi Muchdi lewat HP-nya,” kata Usman.

Salah Sambung
Dalam kontak pertama, Usman berhasil berbicara dengan Muchdi. Menjawab telepon Usman, Muchdi mendahului dengan ucapan “Assalamualikum” dan berbicara dengan nada ramah. Namun ketika Usman mengenalkan diri dari TPF Munir, Muchdi mulai bereaksi. “Siapa?” tanya Muchdi.

Usman menjawab sekali lagi dengan nada yang lebih jelas tentang identitasnya tapi setelah sekali lagi mendengar penjelasan Usman, Muchdi malah langsung menutup sambungan telepon. “Salah sambung,” kata Usman menirukan ucapan Muchdi.

Padahal menurut Usman, dia tak mungkin salah sambung atau salah nomor karena nomor telepon seluler Muchdi diperoleh oleh TPF Munir. Usman lalu mencoba mengontak sekali lagi nomor HP Muchdi, tapi telepon seluler itu sudah tak pernah diangkat lagi oleh Muchdi.

“Saya lantas menitipkan pesan di kotak suara HP itu, dan mengatakan bahwa saya tidak mungkin salah sambung atau salah nomor, Anda pasti Muchdi Pr. dan saya menyampaikan undangan TPF Munir kepada Anda,” kira-kira seperti itulah menurut Usman, pesan yang dia sampaikan di kotak suara HP Muchdi.

Hingga TPF Munir dibubarkan pada 23 Juni 2005, Hendropriyono dan Muchdi tidak pernah diperiksa oleh tim. Sebagai ketua TPF Munir, Marsudhi sempat menyatakan kekecewaan dengan tidak bersedianya dua petinggi di BIN itu untuk diperiksa oleh TPF Munir mengingat timnya sejauh itu sebetulnya sudah mengikuti protokol BIN. Presiden SBY lalu memberikan pernyataan bahwa penyidikan kasus Munir dikembalikan pada mekanisme yang normal. Artinya tidak lagi dilakukan oleh TPF Munir.

Budaya Kebal Hukum
Dari Mabes Polri, sebelumnya keluar pernyataan dari Kadispenum Mabes Polri Bambang Kuncoko bahwa kasus Munir akan dihentikan apabila tidak ada bukti-bukti baru yang diperoleh dari persidangan. Sebuah pernyataan yang menurut Usman terlalu aneh dan menimbulkan tanda tanya besar karena seharusnya pihak kepolisian tidak tergantung, atau tidak menunggu proses persidangan. Meskipun pada 27 Juni 2005, Marsudhi ditunjuk sebagai ketua tim penyidik yang baru untuk kasus Munir, belakangan diketahui, Marsudhi dimutasi dari Bareskrim Polri menjadi staf ahli Kapolri pada 10 Desember 2005.

“Fakta-fakta ini menghasilkan satu bentuk culture of impunity (budaya kebal hukum, red.) yang terus berlangsung dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Dan saya kira orang bisa saja menyimpulkan bahwa siapa pun yang berani menyelidiki kejahatan orang-orang kuat akan mengalami nasib seperti ini,” kata Usman.

Ke Belanda, Munir hendak melanjutkan kuliah S-2 di bidang hukum humaniter di Universitas Utrecht setelah dia mendapat beasiswa dari Interchurch Organization for Development Co-operation (ICCO) atau Organisasi Antargereja untuk Kerja Sama Pembangunan. Dia berangkat dari Jakarta Senin 6 September pukul 21.55 menggunakan pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-974 via Singapura. Penerbangan menuju Amsterdam menempuh waktu 12 jam tapi tiga jam setelah pesawat take off dari Singapura, senior awak kabin bernama Najib melaporkan kepada pilot Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama Munir yang duduk di kursi nomor 40 G menderita sakit dan bolak balik ke toilet. Pilot meminta Najib terus memonitor kondisi Munir dan Munir kemudian dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan berprofesi dokter yang juga berusaha menolongnya.

SMS dari Changi
Sebelum Najib mendapati Munir sakit, Munir sebetulnya telah mengirim SMS dari Bandara Changi, Singapura bahwa perutnya mulas dan dia mengabarkan hanya duduk di ruang tunggu. Informasi lain megatakan selama di Changi, Munir buang air berkali-kali hingga dia hampir terlambat melakukan boarding.

Saksi lain melihat di Changi itu wajah Munir sudah “pucat”. Seorang dokter bernama Tarmizi yang berjumpa Munir ketika boarding mengatakan kondisi Munir “biasa biasa saja”. Dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam, pada pukul 8.10 waktu setempat atau 13.10 WIB, Munir ditemukan tewas.

Menurut kalangan medis di Belanda, arsen tersisa sebanyak 465 mg di lambung Munir merupakan kasus arsen akut, yang bekerja sejak setengah jam sampai 3-4 jam kemudian. Dengan kalimat lain, peracunan atas diri Munir diduga hanya mungkin terjadi selama perjalanan Jakarta- Singapura. “Arsen bekerja cepat, dalam setengah jam terserap ke badan,” kata Dr. Lily Djojoadmodjo seperti dikutip oleh Radio Nederland, “Jelajah Nusantara” 7 Desember 2004.

Kematian Munir pada akhirnya hanya menghadirkan dan mendakwa Pollycarpus sebagai pelaku tunggal pembunuhan melalui sidang pertama 9 Agustus 2005. Dalam kesaksiannya pada persidangan 17 Desember 2005 itu, Muchdi antara lain mengatakan mengaku tidak kenal dan tidak pernah berhubungan dengan Pollycarpus terdakwa kasus pembunuhan Munir, aktivis hak asasi manusia dan koordinator KontraS. Namun, Muchdi tidak menolak data hasil print out seperti disebut dalam Berita Acara Pemeriksaan yang menunjukkan adanya 27 kali hubungan komunikasi dari nomor telepon seluler miliknya dengan nomor telepon seluler milik Pollycarpus.

Mengaku Tidak Kenal
Kata Muchdi, memang benar nomor itu adalah miliknya sejak tahun 1995 tapi nomor itu bukan atas namanya dan siapa saja boleh atau biasa memakai nomor itu termasuk sopir, ajudan, asisten, atau teman-temannya. Ketika majelis hakim bertanya apakah Muchdi pernah memperingatkan Munir karena terlalu vokal terhadap pemerintah, seperti disebut dalam BAP, Muchdi menjawab tidak kenal Munir dan hanya tahu bahwa Munir dari KontraS.

Pada persidangan 20 Desember 2005, Pollycapurs akhirnya dijatuhi hukuman penjara 14 tahun atau jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum: seumur hidup. Oleh majelis hakim, Pollcarpus dinilai terbukti turut melakukan pembunuhan berencana terhadap aktivis HAM, Munir, dan memalsukan sejumlah surat.

Istri Pollycarpus, yang pada saat sidang berlangsung duduk di kursi belakang tak kuasa menahan tangis. Setelah mampu menguasai diri, dia beranjak dari tempat duduk lalu berdiri dan menatap majelis hakim Majelis hakim yang terdiri dari Cicut Sutiyarso (ketua), Sugito, Liliek Mulyadi, Agus Subroto dan Ridwan Mansyur juga meminta agar anggota komplotan pembunuh Munir disidik lebih lanjut karena selain Pollycarpus, ada pihak lain yang juga menginginkan kematian Munir.

Hampir setahun setelah itu, Mahkamah Agung menyatakan Pollycarpus tidak terbukti melakukan pembunuhan berencana. Dalam putusan kasasi yang dibacakan di Jakarta pada 4 Oktober 2006, MA hanya menghukum terdakwa Pollycarpus dua tahun penjara karena terbukti menggunakan surat palsu. Putusan kasasi terhadap terdakwa Pollycarpus itu diambil dalam rapat musyawarah majelis hakim yang terdiri atas hakim ketua Iskandar Kamil dan hakim anggota Atja Sondjaya serta Artidjo Alkostar.

Dalam putusan kasasi itu, Artidjo memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) karena menilai bahwa dakwaan pertama atas Pollycarpus terbukti, dan karena itu dia seharusnya dijatuhi hukuman seumur hidup sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum. Artidjo mengatakan setuju dengan pertimbangan hukum PN Jakarta Pusat yang menggunakan metode “aposteriori”, yaitu dari suatu akibat, dicari petunjuknya, untuk menemukan sebabnya. Ada bukti-bukti yang saling menguatkan posisi Pollycarpus sebagai pembunuh Munir.

Gelar Perkara
Pada tanggal 25 Januari 2008 pukul 23:00 tim dari kejaksaan menjemput Pollycarpus di rumahnya. Penjemputan ini merupakan lanjutan dari putusan MA yang mengabulkan Peninjauan Kembali dari tim pengacara Munir. Dalam putusannya MA lalu memvonis Pollycarpus 20 tahun penjara karena terbukti dengan meyakinkan melakukan pembunuhan terhadap Munir dan dipenjara.

Sejak Mei silam, Pollycarpus dipindahkan ke penjara LP Sukamiskin Bandung dan pada 3 Juni 2008, Pollycarpus dijemput oleh tim polisi untuk didatangkan ke Jakarta. Mmenurut beberapa keterangan, pilot Garud itu “dipinjam” untuk gelar perkara guna mengumpulkan bukti-bukti terakhir keterlibatan Muchdi. Malam ini Muchdi benar-benar ditangkap oleh sebuah tim kepolisian yang melibatkan sati peleton anggota Brimob di sebuah hotel di Jakarta Selatan.

Baca juga: Dalam Waktu Dekat

Berdasarkan wawancara dengan Usman Hamid, untuk penulisan buku “Bakti Untuk Indonesia: Enam Ikon Pembawa Tradisi Baru”
Keterangan Gambar: Usman Hamid dan Suciwati-Radio Nederland
Artikel ini juga bisa dibaca di www.jakartapress.com