Dituduh melakukan korupsi, pemilik dan Presiden Komisaris Samsung Grup, Kun Hee Lee memilih untuk mengundurkan diri Selasa kemarin. Enam tahun silam, Presiden Korea Selatan Kim Dae Jung meminta maaf atas kasus suap dan korupsi yang melibatkan dua anaknya. Kapankah para pengusaha dan pejabat Indonesia melakukan hal serupa?
oleh Rusdi Mathari
PENGUNDURAN diri Lee dilakukan Selasa kemarin menyusul terungkapnya kasus yang oleh kejaksaan Seoul disebut sebagai praktik akuntansi ilegal: menghindari pajak dan penyalahgunaan kepercayaan.
Dalam pernyataan pengunduran dirinya, Lee antara lain menyampaikan permintaan maaf karena telah menimbulkan masalah bagi negaranya dan mengaku bertanggung jawab penuh atas semua yang terjadi, secara moral dan hukum. Belum ada penunjukan, siapa yang akan menggantikan posisi Lee tapi aparat hukum Korea tidak menahan lelaki yang berusia 66 tahun itu.
Tuduhan korupsi pada Lee secara resmi dilakukan oleh pihak penuntut di Seoul pada Kamis pekan lalu. Aparat hukum di Seoul mengatakan, Samsung memiliki banyak masalah struktural termasuk “perpindahan kontrol manajemen secara tidak sah.” Lee dan eksekutif Samsung yang lain dituduh menggunakan teknik akuntansi yang ilegal untuk menutupi pemindahan penguasaan bisnis kepada anaknya.
Lee adalah putra dari Byung-Chull Lee, pendiri Samsung Grup dan menjabat presiden komisaris sejak 1987 menyusul kematian ayahnya. Sejak tahun itu, Lee kemudian melakukan perombakan besar-besar di tubuh Samsung lewat kredo “Fondasi Kedua.” Program “Manajemen Baru” dilakukan Lee pada 1993 dan menempatkan Samsung menjadi merek ternama di dunia.
Selain dikenal sebagai produsen elektronik, Samsung juga merambah ke bisnis pembiayaan, sekuritas, asuransi dan industri keuangan lainnya. Di elektronik, Samsung terkenal terutama karena menjadi produsen mikro chip terbesar di dunia.
Ketika krisis ekonomi menimpa Korea Selatan di pertengahan pengujung 1997, Samsung termasuk salah satu konglomerasi Korea Selatan yang kinerja keuangannya paling parah terkena dampak krisis. Tak hanya mengurangi 50 ribu pekerjanya di seluruh dunia, Samsung saat itu berusaha keras mengurangi rasio utang perusahaan yang pada waktu itu mencapai 365 persen. Dari laporan keuangan Samsung 2006 disebutkan, perusahaan itu hanya mengantongi pendapatan US$ 90.892 juta atau berkurang sebesar 35,7 persen dibandingkan pendapatan pada tahun sebelumnya.
Pihak kejaksaan sengaja tidak menahan Lee karena khawatir dapat menimbulkan kekacauan besar di tubuh Samsung yang bisa berdampak secara negatif bagi Korea Selatan dalam situasi perekonomian yang penuh tantangan saat ini. Meskipun Lee membantah telah melakukan apa yang dituduhkan oleh pihak kejaksaan, dia menyatakan tetap bertanggung jawab atas semua yang terjadi.
Apa yang dilakukan Lee pada hari Selasa, mengingatkan orang pada kasus korupsi yang dilakukan Kim Hong Up dan Kim Hong Gul, anak-anak dari Kim Dae Jung, Presiden Korea Selatan. Dalam sebuah pidato yang disiarkan televisi, Kim dengan nada rendah menyampaikan permintaan maaf sebesar-besarnya kepada publik Korea Selatan atas kasus suap dan korupsi yang melibatkan kedua putranya itu.
”Malam ini saya berdiri di depan segenap bangsa, rasanya saya tidak bisa mengangkat kepala karena menahan malu. Saya malu dan merasa bersalah karena tidak mampu mengawasi putra-putra saya secara tepat.”
Kasus korupsi dan suap, memang bisa terjadi di perusahaan mana saja dan di negara apa saja. Dalam beberapa kasus, praktik suap yang terjadi di negara maju skalanya bisa lebih luas dan menyangkut nilai besar. Skandal kolutif yang melibatkan Enron dengan Partai Republik adalah salah satu contohnya.
Perusahaan raksasa di bidang energi itu sejak 1999 telah mengontribusikan US$ 5,95 juta kepada partai George W. Bush itu. Sebagai imbalannya, Enron bisa menikmati koneksi erat dengan pembuat kebijakan di dalam pemerintahan Bush. Belakangan Enron terlibat dalam penipuan lewat rekayasa akuntansi yang melibatkan Akuntan Publik Arthur Andersen.
Rekayasa itu bisa dilakukan, berdasarkan peran dari rekanan swasta dan anak perusahaan Enron, dan sanggup menutupi utang perusahaan serta mempertahankan harga saham Enron agar tetap tinggi. Arthur Andersen mengakui bahwa pihaknya memang secara sengaja telah memalsu sejumlah dokumen.
Bedanya dengan negara berkembang seperti Indonesia, para petinggi di negara maju segera mengambil pelajaran dari pengalaman masa lalu yang merugikan dan bersedia secara politik untuk mengikis praktik memalukan itu lewat antara lain undang-undang dengan peradilan yang independen dan sungguh-sungguh. Misalnya akibat kasus Enron, Kongres Amerika Serikat kemudian menerapkan reformasi keuangan pertama dan besar-besaran dalam 25 tahun terakhir, sejak Maret 2002.
Undang-undang bernama McCain-Feingold itu melarang kontribusi uang sekecil apa pun terhadap partai-partai nasional dan melarang kampanye tentang calon tertentu oleh pihak luar (outside groups). Kongres AS dan Gedung Putih juga bergerak cepat untuk memulihkan kepercayaan dengan meloloskan corporate fraud bill berjudul Sarbanes-Oxley Act of 2002 pada Juli 2002.
Regulasi itu dipuji sebagai perombakan peraturan bisnis di Amerika Serikat karena menciptakan hukuman baru bagi pelaku penipuan lewat rekayasa keuangan dan menuntut para pemilik, komisaris dan dewan direksi untuk mengambil tanggung jawab langsung atas akurasi pernyataan keuangan perusahaan.
Hal yang kurang lebih sama juga pernah dilakukan oleh pemerintahan federal Jerman pada April 2002 ketika mengajukan indikator kepada parlemen yang memungkinkan terciptanya pendaftaran perusahaan yang unreliable. Daftar itu akan mencantumkan perusahaan yang ketahuan memberikan suap, menggunakan tenaga ilegal, dan terlibat aktivitas berbau korupsi. Proposal itu sayangnya kandas karena mendapatkan perlawanan dari para anggota parlemen Jerman.
Bagaimana dengan Indonesia?
Kasus dugaan penggelapan pajak PT Asian Agri hingga kini terkatung-katung sementara media dan wartawan yang mengungkapkan dugaan penggelapan pajak itu malah diseret ke pengadilan. Gubernur Bank Indonesia, yang menjadi tersangka dugaan suap tak sepatah pun mengeluarkan kata permintaan maaf betapa pun kesalahannya hanya bisa dibuktikan kelak oleh pengadilan.
Jaksa Agung yang anak buahnya tertangkap tangan karena dugaan suap dan karena itu seharusnya menjadi hal yang memalukan bagi atasannya- tidak mau mengundurkan diri dan masih beralasan bahwa mengundurkan diri dari jabatan bukanlah budayanya. Nurdin Halid yang sudah dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena kasus korupsi tetap tak malu memegang erat jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI.
Benar kata penyair Arab, Syauqi Beik, sebuah bangsa akan hancur ketika moralitasnya hancur. Akan tetapi di sini, di negara yang bernama Republik Indonesia siapa yang peduli dengan moral yang hancur akibat korupsi?
Sumber The Washington Post, BBC, AP, Republika, Jawa Pos
April 23, 2008 at 11:19 am
setuju…!!!!
lama-lama bangsa kita ancur klo gak cepat benahi moralitasnya.
budaya malu kudu dibudayain sejak kecil.
ataw harrakiri aja..!!!
klo menteri perhubungan di negeri antah berantah gagal lantaran bayak pesawat jatuh..gimana tuch…
ahhaa…..jadi setneg aja
hahaha
April 24, 2008 at 8:01 pm
susah lah masyarakat kita untuk kek gitu
Mei 14, 2009 at 12:44 pm
haduh ,, jadi malu ma bangsa lain ,, pindah negara aja dah …….
September 22, 2010 at 11:46 pm
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar,,tapi tak mempunyai nyali yang besar buat mengakui kesalahan yang dilakukan para petinggi2nya,,yang paling aneh adalah jika sudah ada yang terbukti korupsi,mereka masih bisa tertawa lepas jika ada wartawan yang mewawancarainya,hebat kan???itulah kebesaran negeri ini dimana terus digerogoti oleh korupsi,,parahnya lagi para penegak hukum matanya sudah rabun untuk tegakkan keadilan,,karena penegak hukum bekerja sudah bukan untuk kehormatan bangsanya