Sudah lebih setahun kasus dugaan penggelapan pajak PT Asian Agri terbongkar tapi sejauh ini yang mencuat lebih keras hanyalah gugatan perusahaan itu atas berita majalah Tempo dan koran Tempo. Sesuai janji Dirjen Pajak, berkas dari skandal keuangan yang diduga merugikan negara Rp 1,3 triliun itu mestinya sudah rampung disusun dan kemudian diserahkan kepada Kejaksaan Agung pada pertengahan April.
oleh Rusdi Mathari
ANDAI MASIH HIDUP, PENYAIR CHAIRIL ANWAR MUNGKIN BISA diminta untuk mengganti bait puisinya “hidup hanya menunda kekalahan” menjadi “hidup hanya menunda perkara.” Sudah berbilang lebih setahun kasus dugaan penggelapan pajak yang dilakukan PT Asian Agri terungkap tapi berkas perkara untuk pengusutan kasus tersebut belum masuk ke tangan aparat penegak hukum (Kejaksaan Agung). Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan hingga kini bahkan belum mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dan menetapkan penalti kepada Asian Agri.
Kasus dugaan penggelapan pajak oleh Asian Agri merupakan salah satu skandal keuangan terbesar sepanjang tahun ini. Awalnya adalah majalah Tempo yang membeberkan tentang potensi kerugian negara hingga triliunan rupiah itu akibat adanya dugaan penggelapan pajak oleh Asian Agri. Di bawah judul “Kisah Pembobol” majalah Tempo edisi 21 Januari 2007 menurunkan laporan investigatif tentang lika-liku manajemen Asian Agri menilap pajak berdasarkan sejumlah data, dokumen, dan pengakuan seorang saksi.
Tak ada yang terusik dengan berita Tempo tersebut hingga kemudian mencuat kasus penyadapan yang dilakukan oleh polisi terhadap telepon milik wartawan Tempo Metta Dharmasaputra ketika berhubungan dengan saksi yang bernama Vincentius Amin Sutanto itu. Salinan percakapan SMS dari telepon milik Metta kemudian beredar di banyak orang sementara Asian Agri aktif menggalang opini, bahwa pemberitaan Tempo sebagai sesuatu yang tendensius. Pemberitaan Tempo itu lalu dibawa ke pengadilan oleh Asian Agri sebagai kasus pencemaran nama baik dan perkaranya terus berlangsung hingga sekarang.
Bersamaan dengan mencuatnya kasus penyadapan telepon Metta dengan Vincentius oleh polisi pada September tahun lalu, Ditjen Pajak mengungkapkan telah memanggil 53 saksi untuk diperiksa. Belakangan yang menjadi tersangka kasus dugaan penggelapan pajak itu disebut-sebut mencapai 11 orang. Keterangan dari lembaga yang sama menyebutkan, dugaan kasus penggelapan pajak Asian Agri merupakan kasus berat karena melibatkan 15 perusahaan milik pengusaha Sukanto Tanoto dengan tiga modus operandi.
Pertama menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. Kedua mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. Ketiga mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat ketiga modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.
Skandal keuangan ini sempat menyeret-nyeret sejumlah nama pejabat, termasuk nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meskipun berstatus buronan dan dicekal, Sukanto Tanoto misalnya diberitakan pernah bertemu dengan Presiden SBY, sebelum Lebaran tahun lalu. Sebuah kabar yang niscaya dibantah dengan saksama oleh Istana Kepresidenan dan juga oleh Sukanto Tanoto, tentu saja.
Sukanto Tanoto adalah bos besar PT Raja Garuda Mas, holding yang antara lain menaungi Asian Agri. Tan Kang Hoo nama aslinya. Pada 2006 dia dicatat oleh majalah Forbes sebagai orang paling kaya di Indonesia dengan nilai kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar. Perusahaan yang dimilikinya bergerak di industri kertas dan bubur kertas (kehutanan), kelapa sawit, konstruksi, permesinan, dan energi. Tak hanya di Indonesia Sukanto Tanoto juga dicatat memiliki saham di perusahaan kelapa sawit National Development Guthrie, Electronic Magnetic Singapura, dan pabrik kertas di Cina.
Di kehutanan, Sukanto Tanoto punya Asia Pacific Resources International Ltd (APRIL) yang antara lain menaungi PT Riau Andalan Pulp & Paper, PT Riau Andalan Kertas dan PT Riau Prima Energi. APRIL merupakan raksasa industri bubur kertas yang bersaing dengan Asia Pulp And Paper Ltd milik pengusaha Eka Tjipta Widjaja di bawah payung Sinar Mas Group. Keduanya berbagai penguasaan bisnis bubur kertas di Indonesia; Sukanto Tanoto (35 persen) dan Eka Tjipta Widjaja (42,4 persen). Melalui APRIL, Sukanto Tanoto menguasai 49 persen saham Asia Pacific Forest Product (Suzhou) Ltd di Cina, selain memiliki saham pribadi 2 persen. Sisanya dimiliki oleh UPM Keymene, perusahaan dari Filandia.
Sukanto Tanoto pernah terkenal karena pembuangan limbah yang dilakukan oleh PT Inti Indorayon Utama ke Sungai Asahan, Sumatera Utara dinilai telah mencemari lingkungan dan merusak ekosistem sungai. Sebelum PT Unibank Tbk ditutup akibat mengemplang BLBI senilai Rp 50 miliar dan fasilitas diskonto wesel ekspor berjangka sekitar US$ 230 juta, Sukanto Tanoto tercatat sebagai pemilik dari bank tersebut. PT Riau Complex, salah satu perusahaan Sukanto Tanoto tercatat pernah memiliki utang kepada sindikasi lima bank senilai US$ 1,5 miliar. Kepada PT Bank Mandiri Tbk. yang menjadi pemimpin sindikasi, Riau Compleex berutang hingga Rp 5,4 triliun.
Di luar aktivitasnya sebagai pengusaha, Sukanto Tanoro bersama istrinya mendirikan Sukanto Tanoto Foundation. Lembaga ini bergerak di bidang sosial kemasyarakatan terutama di bidang pendidikan dan terkenal royal memberikan bea siswa untuk program sarjana dan pascasarjana. Pada tahun ini bea siswa dari Sukanto Tanoto Foundation diberikan kepada 300 mahasiswa S1 dan 50 mahasiswa S2 yang berasal enam perguruan tinggi negeri: Universitas Indonesia; Universitas Gajah Mada; Institut Teknologi Bandung; Institut Pertanian Bogor; Universitas Sumatra Utara; dan Universitas Riau. Ketertarikan Sukanto Tanoto pada pendidikan, mungkin disebabkan oleh latar belakangnya yang antara lain pernah mengenyam pendidikan di Harvard University, Amerika Serikat.
Awal Maret tahun ini, Presiden SBY memerintahkan Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak menuntaskan utang pajak mereka secara transparan, adil dan bisa dipertanggungjawabkan. Dirjen Pajak Darmin Nasution berjanji akan menyerahkan berkas kasus dugaan penggelapan pajak oleh Asian Agri ke Kejaksaan Agung pada pertengahan April 2008. Sukanto Tanoto disebut-sebut akan dipanggil paksa dari tempat tinggalnya sekarang di Singapura. Kejaksan Agung mengaku sedang menunggu-nunggu limpahan berkas dari Ditjen Pajak. Sudah setahun lebih dugaan kasus penggelapan pajak Asian Agri tak kunjung rampung.
Andai Chairil Anwar masih hidup.
*Artikel terkait Siapa yang Tendensius, Tempo atau Ilmuwan
April 20, 2008 at 1:23 am
memang susah berurusan dengan orang yang berduit. kekekeke
Juni 19, 2008 at 9:12 am
Aku agak bingung ya, maklum kuliah di kampung Bantul.
penggelembungan biaya: Rp 1,5 T
rugi transaksi ekspor: Rp 232 M
Pengecilan penjualan: Rp 889 M
Total: Rp 2,621
Asumsi penggelapan PPN 10%: 260 M
Pengecilan Laba karena tiga tindakan terlarang tersebut: (laba rata-rata CPO besar 10%)
Jadi hitungannya 10% penggelapan omzet x 30% (pajak)
berarti 260 M x 30% = 78 M
Lho berarti penggelapan pajaknya cuma Rp 338 M?
Kalau dilakukannya 2002-2005 sih mungkin. Tinggal 338 x 4 = 1,2-1,3 T pas banget.
Masalahnya menggelembungkan penjualan sampai hampir 1 triliun pada era 2001-2003 agak sulit. Soalnya harga CPO masih jelek (200-300 dolar per ton). untuk menyembunyikan penjualan dengan pola transfer pricing mungkin dilakukan dengan taraf kesulitan lebih rendah saat harga CPO diatas USD 500 per ton. Apalagi sekarang saat CPO menyentuh 800-1000 per ton.
Terus terang ini permasalahan yang sangat rumit. Salut buat anda yang cukup rinci memberikan informasi. Salam
Gunawan
Pertama menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. Kedua mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. Ketiga mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat ketiga modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.
Agustus 20, 2008 at 11:58 am
Dirjen Pajak seyogyanya jangan terlalu yakin dgn berkas2 dokumen yg disodorkan oleh Vincent. Vincent memang seorang pelaku “white collar crime” yg mahir merekayasa dokumen. Dia sdh merencanakan perbuatan kriminalnya sejak th 2004 dengan membuat 2 perusahaan palsu yg digunakan utk menampung uang hasil pembobolannya dari Bank Fortis, Singapore. Ada kemungkinan berkas2 dokumen yg disodorkan Vincent juga hasil rekayasa dia, karena permohonan ampunnya kepada Boss RGMI ditolak. Dirjen Pajak perlu mempertimbangkan juga, bahwa Asian Agri telah membantu pemerintah dalam hal meningkatkan kesejahteraan ribuan petani kelapa sawit di Riau dan Jambi dengan program kemitraannya. Asian Agri juga telah berhasil menerapkan program Corporate Social Responsibility dalam peningkatan kesejahteraan dan mengurangi angka pengangguran.
Desember 24, 2008 at 11:42 am
Dirjen Pajak seyogyanya jangan terlalu yakin dgn berkas2 dokumen yg disodorkan oleh Vincent.pak