Boediono-www.wharton.upenn.edu

Dilihat dari isyarat beberapa anggota DPR dan juga tanggapan dari Gubernur Bank Indonesia, Menko Perekonomian Boediono dipastikan akan pulang kampung ke Bank Indonesia. Satu dua partai politik tak malu-malu menyodorkan orang-orangnya untuk mengisi jabatan yang akan ditinggalkan oleh Boediono.

Oleh Rusdi Mathari

PADA 10 APRIL 2008 MINGGU INI, PROSES UJI KELAYAKAN OLEH Komisi XI DPR-RI terhadap Menko Perekonomian Boediono sebagai calon Gubernur Bank Indonesia, mestinya sudah rampung. Dalam hal fit and proper test untuk Boediono, para anggota DPR sepakat untuk mengebutnya, sehingga Gubernur Bank Indonesia yang baru bisa segera ditentukan. Jika sampai pada tanggal itu tak selesai, maka para anggota DPR yang terhormat itu kabarnya akan melakukan fit and proper test untuk Boediono pada masa reses, yang akan dimulai minggu depan. Sebuah isyarat yang seharusnya dibaca, bahwa Boediono dalam beberapa bulan ke depan Boediono akan berpindah kantor dari Jalan Taman Surapati ke Jalan Thamrin No 1.

Boediono adalah ekonom senior di Kabinet Indonesia Bersatu. Di zaman Presiden Abdurrahman Wahid, dia pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan Kabinet Gotong Royong, di zaman Presiden B.J. Habibie dia menjabat sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Kabinet Reformasi Pembangunan. Lulusan Universitas Gajah Mada ini, sebelumnya juga pernah menjabat Direktur I Bank Indonesia Urusan Operasi dan Pengendalian Moneter dan Direktur III Bank Indonesia Urusan Pengawasan BPR, pada masa BI dipimpin oleh Soedradjad Djiwandono. Boediono adalah satu-satunya pejabat board BI yang hingga kini tidak diperiksa dalam kasus BLBI.

Sebagian orang menjulukinya sebagai ekonom bertangan dingin, karena sejak menjabat sebagai Menteri Keuangan dan kemudian sekarang menjabat Menko Perekonomian, Boediono dianggap sukses menciptakan stabilitas ekonomi Indonesia, tanpa banyak bicara. Tapi oleh sebagian yang lain, Boediono justru dianggap memiliki peran pada terjadinya proses de-industrialisasi, juga sektor riil yang stagnan: harga-harga yang mahal.

Catatan LP3ES menyebutkan, de-industrialisasi merupakan antitesis dari industrialisasi, dan merupakan proses lebih lanjut dari industrialisasi pada tingkat perkembangan tertentu yang seharusnya bisa sangat mengkhawatirkan. Sebuah negara yang mulai menggebrak perekonomian nasionalnya dengan industrialisasi meniscayakan negara itu untuk memasuki fase pematangan industri (industrial maturity). Inilah fase berkenaan dengan evolusi perekonomian nasional suatu negara yang menyandarkan diri pada industri manufaktur. Orang biasa menyebutnya sebagai fase sekunder atau fase kedua, setelah fase sektor primer (pertama) dan fase tersier (ketiga).

Maknanya bisa positif dan negatif. Positif jika proses de-industrialisasi berbanding lurus dengan kehadiran post-industrial society. De-industrialisasi dengan demikian mengawali hadirnya perekonomian yang bercorak hi-tech sebagaimana dapat disimak secara saksama pada munculnya Côte d’ Azur di Perancis, Silicon Valley di California (Amerika Serikat) serta timbulnya Silicon Glen di Inggris.

De-industrialisasi bisa bermakna negatif jika PDB suatu negara masih terlampau besar ditentukan oleh peran industri manufaktur. Perekonomian sebuah negara seperti Indonesia, misalnya, masih dikendalikan oleh ketergantungan yang kuat terhadap peran industri manufaktur dalam pembentukan PDB. Namun ketika proses industrialisasi belum sampai pada tingkat yang bisa dianggap matang secara ekonomi, antara lain oleh sumbangan industri manufaktur dalam pembentukan PDB—proses industrialisasi mengalami keruntuhan yang serius. Singkat kata, kapasitas industri yang ada tak terpakai secara penuh, dan karena itu pemakaian tenaga kerja juga terus menurun. Munculnya gejala de-industrialisasi di Indonesia antara lain bisa dilihat dari penurunan investasi dan ekspor yang mendorong kemunduran industri manufacturing

Andai Boediono, lelaki kelahiran Blitar itu kelak benar-benar dipilih menjadi Gubernur BI maka dikhawatirkan oleh beberapa pengamat ekonomi, dia akan tetap lebih mementingkan stabilitas perekonomian ketimbang bergeraknya sektor riil. Kemampuan Boediono dalam hal stabilitas moneter memang menjadi catatan tersendiri. Ketika menjabat Menteri Keuangan, Boediono dianggap memiliki andil menekan harga rupiah hingga pada level Rp9.000 per dolar, meskipun tugas dan fungsi Menteri Keuangan, yang lebih utama adalah mengurangi pengangguran. Kompetensi dan kemampuan dalam soal moneter itulah, yang lantas dianggap cocok bagi Boediono untuk menjadi Gubernur BI.Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah bahkan menyambut pencalonan Boediono sebagai Gubernur BI dengan pernyataan, “dihormati oleh pasar dan kalangan perekonomian.”

Lalu siapa yang menggantikan posisi Boediono di Kabinet Indonesia Bersatu? Meskipun rumor yang berkembang menyebutkan, jabatan Menko Perekonomian akan dijabat rangkap oleh Wakil Presiden M. Jusuf Kalla, menjelang Pemilu 2009 yang hanya tinggal setahun, jabatan Menko Perekonomian tampaknya tidak akan dianggap terlalu serius lagi. Pemerintah tidak akan bertaruh dengan mengambil risiko berat misalnya akan melantik Menko Perekonomian yang baru. Apalagi fungsinya dianggap hanya sebagai persoalan administratif. Pengelolaan perekonomian karena itu, mungkin akan lebih banyak diserahkan kepada menteri-menteri terkait. Meskipun satu dua partai politik tak malu-malu menyodorkan orang-orangnya untuk mengisi jabatan Menko Perekonomian, pengganti Boediono untuk jabatan Menko Perekonomian sesungguhnya sudah tidak penting lagi.