Menara BTS-www.esdece.com

Di balik ingar-bingar berita tentang rencana pemerintah memblokir situs porno, Menkominfo ternyata menyelipkan keputusan kontroversial yang lain. Lewat Peraturan Menteri, Menkominfo Mohammad Nuh memutuskan untuk melarang asing masuk ke bisnis menara BTS. Peraturan yang berlaku sejak 17 Maret 2008 itu, menurut Pak Menteri dimaksudkan untuk memberdayakan perusahaan-perusahaan nasional.

Oleh Rusdi Mathari

BASE TRANSCEIVER STASION YANG DIKENAL DENGAN NAMA BTS adalah salah satu perangkat penting dalam telekomunikasi seluler. Lewat BTS itulah, kapasitas dan kualitas termasuk jangkauan yang luas dari suatu sistem seluler ke terminal mobile station ditentukan. Tempatnya bisa di dalam ruangan (shelter) atau di luar ruangan (antenna and kabel feeder) dan setiap BTS terdiri dari perangkat utama radio atau perangkat rak-rak radio. Di Indonesia, sebagian besar BTS itu dipasang pada menara-menara meskipun menara BTS hanyalah salah satu sarana penunjang bagi BTS. Bagi operator, penempatan BTS menjadi penting karena bisa mendukung kekuatan sinyal telepon seluler pelanggan mereka ketika sedang menjalin telekomunikasi.

Misalnya, jika ada operator yang menargetkan bisa menjangkau 1.000 pelanggan di suatu daerah tertentu maka diperlukan penempatan BTS di titik yang benar-benar tepat di daerah tersebut. Salah hitung sedikit saja, akibatnya bisa fatal dan sinyal ponsel sama sekali akan lenyap yang berarti kerugian bagi operator ponsel. Hal itu belum termasuk perhitungan apakah BTS yang sudah terpasang bisa tersambung dengan transmiter atau tidak, karena terhalang oleh bukit atau bangunan. Sebelum jaringan BTS dipasang, karena itu biasanya didahului oleh survei, termasuk survei pemasangan untuk menara.

Semula bisnis BTS dan juga menaranya hanya ditekuni para operator telepon seluler sebagai bagian dari pelayanan kepada pelanggan mereka. Belakangan sejumlah pemain baru di luar operator telepon seluler, juga masuk ke dalam industri ini dan karena itu meramaikan peta persaingan bisnis menara BTS. Catatan dari Asosiasi Pengembang Infrastruktur Menara Telekomunikasi, saat ini ada 50 pemain yang berkecimpung dalam pemasangan dan penyewaan menara BTS dengan jumlah menara yang mencapai tiga puluhan ribu unit. Tahun lalu kebutuhan akan menara BTS di Indonesia ditaksir mencapai 43 ribu titik sementara kapasitas yang bisa dibangun hanya mencapai 7 ribu.

Persaingan di bisnis ini semakin mencapai puncak ketika sebagian operator telepon seluler tak lagi berminat membangun menara BTS secara mandiri dan berbalik hanya menyewa BTS. Alasan para operator, biaya pemasangan satu BTS yang berkisar antara Rp 700 juta hingga Rp 1 miliar per satu menara terlalu mahal dan dianggap kurang efisien bagi bisnis mereka. Para operator itu, akan tetapi bukan benar-benar bermaksud meninggalkan bisnis menara BTS melainkan membuat anak perusahaan yang khusus mengurus pemasangan dan penyewaan BTS.

PT Exelcomindo Pratama Tbk., operator telepon seluler XL, contohnya. Tahun ini, perusahaan itu bermaksud melepas bisnis 10 ribu unit menara BTS-nya dan akan menyerahkan pengelolaannya kepada perusahaan lain karena alasan ingin fokus pada bisnis operator telepon seluler. PT Mobile-8 Telecom Tbk. sebelumnya juga sudah melepas sekitar 344 unit menara BTS mereka yang dikelola secara mandiri kepada Tower Bersama.

Tak ada catatan yang akurat yang bisa memastikan perputaran bisnis menara BTS kecuali hanya taksiran yang menyebut sekitar ratusan miliar per tahun. Perputaran uang itu terutama diperoleh dari harga sewa menara BTS yang berkisar antara Rp 15 juta hingga Rp 25 juta per bulan per menara dengan kontrak yang juga cukup panjang sekitar 10 tahun. Harga sewa itu sudah termasuk biaya sewa, listrik, perawatan, dan retribusi pemda. Karena setiap menara biasanya disewa oleh beberapa operator, maka pemasukan uang dari penyewaan satu menara BTS bisa mencapai Rp 75 juta setiap bulan. Semakin banyak operator yang menyewa, semakin besar pemasukan yang didapat oleh perusahaan menara BTS.

Besarnya perputaran uang itulah, yang lantas juga menggiurkan investor asing. American Tower dari Amerika Serikat, Gulf Tower dari Timur Tengah, dan Tower Vision dari India adalah beberapa perusahaan asing yang sudah mengambil ancang-ancang untuk terlibat dalam bisnis menara BTS di Indonesia. American Tower bahkan dikabarkan sudah membeli saham Protelindo, salah satu perusahaan nasional yang tahun lalu memiliki 323 menara BTS. Di negaranya, American Tower adalah perusahaan raksasa yang memiliki sekitar 23 ribu menara BTS. Selain di Indonesia, mereka juga sudah masuk ke India.

Masalahnya adalah para investor itu datang ke Indonesia dengan membawa modal besar tentu saja, yang dalam beberapa hal tak mungkin ditandingi oleh perusahaan lokal. Dalam tender pelepasan menara BTS milik Exelcomindo, yang kabarnya sudah berlangsung sejak awal Februari silam, misalnya, ada persyaratan yang mengharuskan peserta tender memiliki scroll account sebesar US$ 300 juta. Tujuannya untuk jaminan yang memastikan kelangsungan bisnis menara BTS Exelcomindo, antara lain dalam hal keamanan jika misalnya kemudian keberadaan menara BTS itu diprotes oleh warga.

Karena persyaratan itulah, daftar peserta tender pengelolaan menara BTS Exelcomindo, kabarnya hanya menjaring 10 perusahaan, yang sebagian besar ternyata adalah asing. Sebelumnya jumlah peserta tender yang ikut mendaftar mencapai 77 perusahaan yang berasal dari dalam dan luar luar negeri. Kabarnya, Goldman Sachs ditunjuk untuk menyeleksi peserta tender lantas merekomendasikan 33 perusahaan terpilih dan akhirnya hanya tinggal 10 perusahaan yang di dalamnya ada Protelindo, Gulf Tower, Tricom, dan Hutchison.

Bersamaan dengan masuknya 10 perusahaan dalam tender menara BTS milik Exelomindo itulah, lalu keluar Peraturan Menteri dari Pak Nuh. Kasak-kusuk bahwa keputusan itu dipengaruhi oleh sejumlah perusahaan domestik yang tersingkir dalam tender menara BTS Exlecomindo, lantas meruap ke ruang-ruang café, meja kantor, dan menjadi diskusi di kalangan pebisnis menara BTS dan beberapa kalangan telekomunikasi. Wakil Kepala BKPM Yus’an secara tidak langsung bahkan menduga ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan pemerintah untuk kepentingan bisnis mereka dalam konteks bisnis menara BTS.

Pembatasan semacam itu menurut Yus’an juga akan memperburuk investasi infrastruktur menara. Yus’an mengkhawatirkan, masyarakat (konsumen) kelak justru tak akan mendapat pelayanan efektif apalagi jumlah daerah yang tak terjangkau oleh sinyal karena antara lain ketiadaan menara BTS di Indonesia cukup banyak. “Apabila ada pembatasan, ini untuk kepentingan siapa,” kata Yus’an (Lihat “Pembatasan Investor Menara Asing Perburuk InvestasiTempointeraktif, 2 April 2008)

Beberapa hari sebelum Yus’an mempertanyakan latar belakang keluarnya Peraturan Menteri, Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar mencoba menjelaskan alasan dikeluarkannya keputusan dari Pak Menteri Nuh. Berbicara di depan anggota Komisi I DPR RI, Basuki antara lain mengatakan, “Kami tidak ingin investor asing masuk ke bisnis menara yang nilainya mencapai Rp 100 miliar per tahun. Ini kesempatan untuk industri lokal” (Lihat “Asing Dilarang Masuk Industri Menara Telekomunikasi,” detikcom, 4 Maret 2008).