//tempointeraktif.com/hg/mbmtempo/navigasi/2008/02/

Setelah tertinggal seminggu untuk menulis kematian dan sepak terjang Soeharto, majalah Tempo yang baru terbit Senin kemarin justru diprotes umat Katolik. Sampul depan majalah itu dianggap telah menyamakan Yesus dengan Soeharto.

Oleh Rusdi Mathari

SOEHARTO yang meninggal dunia pada 27 Januari 2008, tak membawa berkah kepada majalah Tempo. Saat meninggal pada pukul 13.10 pada hari Minggu itu, majalah Tempo edisi 49/XXXVI/28 Januari-3 Februari 2008 sudah naik cetak dengan laporan utama tentang jatuhnya harga saham dunia. Sebuah laporan yang dipersiapkan beberapa hari sebelumnya, menyusul rontoknya bursa saham dunia. Kematian Soeharto pada saat majalah itu sudah naik cetak, tentu saja membuat awak redaksi Tempo harus “memutar otak” agar berita itu juga bisa dimuat oleh Tempo yang terbit mingguan dan disiplin dengan rapat perencanaan.

Karena tak ingin ketinggalan berita karena akan terbit dan beredar pada Senin keesokan harinya, saya menduga pimpinan Tempo kemudian menyetop proses naik cetak itu, meminta awak artistik membuat sampul majalah yang baru dengan gambar Soeharto, lalu membuang sekitar 12 halaman berita di dalamnya dan menggantinya dengan berita kematian si Jenderal Besar. Serba mendadak tentu saja sehingga isi majalah Tempo karena itu didominasi oleh foto-foto kematian Soeharto. Ongkos yang dibayar Tempo memang sangat mahal secara finansial dan secara materi berita meskipun berhalaman-halaman iklan ucapan duka cita juga begitu cepat diperoleh tim AE Tempo.

Kepada mas Bambu (Bambang Bujono-mantan Pemimpin Redaksi majalah D&R) dan Dede (Nugroho Dewanto-wartawan Tempo) di tempat yang berbeda saya berseloroh, “Soeharto kok ya tega kepada Tempo, mati pada saat majalah itu sudah naik cetak.” Dua orang itu tergelak.

Senin kemarin (4 Februari 2008) Tempo tentu saja “membalas dendam” ketertinggalan berita soal kematian Soeharto itu. Laporan utama edisi 50/XXXVI/04 – 10 Februari 2008 itu menurunkan seabrek tulisan tentang Soeharto, bukan hanya soal kematiannya melainkan juga sepak terjangnya selama berkuasa. Sebuah laporan yang cukup tebal, yang saya tahu sebagian tulisan itu sudah dipersiapkan oleh awak Tempo jauh-jauh hari sejak kira-kira enam atau tujuh tahun lalu. Pramoedya Ananta Toer yang diwawancarai sebagai sumber pada beberapa tulisan dan M. Sadli yang menulis kolom berjudul “Tentang Pasar dan Ekonomi Soeharto” bahkan sudah lebih dulu mati dari Soeharto.

Celaka. Tempo yang menuliskan laporan lengkap tentang Soeharto itu bahkan menurut saya terlalu lengkap jika dibandingkan dengan liputan media cetak lain dan terutama dibandingkan dengan liputan televisi— kali ini menuai protes. Sampul muka Tempo yang menukil lukisan Leonardo d Vinci berjudul “The Last Supper” yang menggambarkan Yesus dan para muridnya usai bersantap malam— diganti oleh awak artistik Tempo dengan Soeharto dan anak-anaknya. Umat Nasrani terutama umat Katolik merasa “terganggu” untuk tidak disebut tersinggung dengan sampul muka Tempo itu karena tidak menghormati Yesus dan menyamakannya dengan Soeharto, dan murid-murid Yesus disamakan dengan anak-anak Soeharto.

Di milis Forum Pembaca Kompas, Satrio Arismunandar (wartawan Trans TV) yang saya tahu adalah orang pertama yang memposting email dengan subjek “Protes terhadap cover Tempo tentang Soeharto” itu pada 4 Februari 2008 pukul 5.49 pagi (lihat “Protes terhadap Cover Tempo tentang Soeharto”, milis Forum Pembaca Kompas, 4 Februari 2008). Email itu bukan berasal dari Satrio pribadi melainkan dari Pingkan Permata yang dikirim ke milis begundal-salemba@yahoogroups.com. Isinya kurang lebih mempertanyakan kreativitas awak artistik Tempo. Pingkan antara lain bertanya, “Apakah sudah ada ijin dari pihak yang mempunyai hak terhadap karya tersebut?” dan menyatakan bahwa “karya Leonardo da Vinci itulah yang dinodai oleh Tempo atas nama kreativitas.”

//tempointeraktif.com/hg/mbmtempo/navigasi/2008/01/

Saya tak mengikuti milis begundal-salemba itu, sehingga tak mengetahui persis mengapa Pingkan merasa perlu mempertanyakan kreativitas awak artistik Tempo dalam soal pembuatan sampul majalah itu. Namun dari penjelasan Pingkan selanjutnya, email itu kemungkinan besar sedang menjawab peserta milis yang lain yang merasa tersinggung dengan “perubahan” gambar The Last Supper itu.

Posting dari Satrio itu lalu ramai mendapat tanggapan. Hingga saya menulis artikel ini pada pukul 20.30 WIB, sudah ada 30 penanggap atas posting Satrio. Macam-macam, mulai yang protes dan tersinggung, mencoba mendinginkan suasana hingga sekadar cuap-cuap lewat tulisan. Puncaknya para pemuda yang mengatasnamakan perwakilan umat Katolik mendatangi kantor majalah Tempo, di Jalan Proklamasi 72, Jakarta Pusat. Mereka adalah Forum Komunikasi Alumni PMKRI, Pemuda Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Forum Masyarakat Katolik Indonesia, Solidaritas Demokrasi Indonesia, Wanita Katolik Republik Indonesia, dan Ikatan Sarjana Katolik Indonesia. Bukan hendak berunjuk rasa apalagi melakukan kekerasan fisik seperti yang pernah dilakukan anak buah Tomy Winata, dulu pada 8 Maret 2003, kepada Bambang Harimurti.

Mereka yang berjumlah delapan orang itu datang ke kantor Tempo untuk meminta penjelasan soal sampul majalah Tempo. “Kita tidak demo, hanya ingin berdialog,” kata Ketua Forum Komunikasi Alumni PMKRI, Hermawi Taslim kepada detikcom (lihat “Perwakilan Katolik dan Tempo Berdialog Soal Cover Majalah”, detikcom 5 Februari 2002))

Awak redaksi Tempo saya percaya tentu saja senang dengan cara-cara beradab semacam itu. Apalagi menurut saya, sangat kecil kemungkinannya, bahwa awak redaksi Tempo dengan sampul majalah yang dinukil dari kaya Davinci itu, sejak awal berniat membuat tersinggung umat Katolik apalagi misalnya menyamakan Soeharto dengan Yesus. Di selain agamanya berbeda, di Tempo juga banyak wartawan dan karyawan yang beragama Katolik.

Pemimpin Redaksi majalah Tempo, Toriq Hadad, karena itu lantas perlu menyampaikan, bahwa, “Untuk segala hal yang menimbulkan ketersinggungan, menimbulkan rasa tidak nyaman, menimbulkan sakit hati, saya sebagai pemimpin redaksi Tempo, memohon maaf” (lihat “Majalah Tempo Minta Maaf Soal Cover Edisi Soeharto”, detikcom 5 Februari 2008)

Saya tertawa ketika menulis artikel ini, karena ingat dialog dengan mas Bambu dan Dede, soal Soeharto yang memilih mati di hari Minggu, ketika Tempo justru sudah naik cetak. Jangan-jangan Soeharto memang dendam ke Tempo dan bermaksud agar majalah itu ketinggalan menulis soal kematiannya. Ah jangan-jangan…