http://www.stockxpert.com/browse.phtml?f=view&id=842234Maka ketika sekelompok orang merusak mesjid dan mengintimidasi orang-orang Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat dan kemudian menganggap mereka sesat, para perusak itu sebenarnya sudah melampaui wewenang Allah. Tafsir dibalas dengan tafsir, teks dibalas teks. Mereka merasa tafsir dan teks mereka tentang kesesatan dan juga tentang ketidaksesatan adalah yang paling benar dan melupakan ayat bahwa kebenaran hanya milik Allah.

Oleh Rusdi Mathari

BATU itu dilempar oleh Syekh Junaidi r.a ke arah sebatang tubuh yang sudah diikat pada kayu kering. Namun sebelum batu dilemparkan, Junaidi lirih berseruh, “Maafkan aku Ibn Mansur. Aku hanya mengadili sikap lahirmu. Adapun mengenai apa yang tersembunyi di dalam batinmu, yang tak seorang pun tahu selain dirimu dan Allah semua adalah urusanmu. Maafkan aku kawan.” “Buk” batu itu mengenai dada Ibn Mansur (lihat Syekh Siti Jenar Pergumulan Islam-Jawa, Abdul Munir Mulkan 1999).

Lelaki yang dilempar dengan batu itu sebenarnya adalah murid Junaidi. Dia popular dengan nama Al Hallaj yang dipersalahkan dan kemudian dihukum karena telah mengaku sebagai Allah (ana’l Haq). Al Hallaj dipandang sesat dan Junaidi sebagai gurunya diminta untuk ikut mengadilinya. Sesaat setelah dirajam, Al Hallaj dipancung oleh algojo dari rezim Muqtadir Billah.

Syariat dan hakikat mestinya memang berpadu seperti bersatunya jasad dan ruh. Jasad tanpa ruh adalah bangkai dan sia-sia sementara ruh tanpa jasad bisa sangat menakutkan. Dalam kasus Al Hallaj, ruh hakikat tampaknya berjalan tanpa jasad syariat, kendati sebagai guru, Junaidi jauh-jauh hari sudah meminta Al Hallaj menyimpan semua perkataan tentang rahasia Allah.

Dalam semua hal dan semestinya juga pada seluruh aspek ajaran Islam, syariat dan hakikat berprinsip sama dan mutlak menyangkut ajaran-ajaran pokok agama atau ushuliyah. Doktrin “laa tusyrik billah” tidak menyekutukan Allah dan Muhammad sebagai Rasul Allah adalah sebuah sikap yang tidak mungkin dan tidak bisa ditawa-tawar.

Namun apa yang dipandang sesat secara lahiriah oleh syariat bisa sangat berbeda dengan pandangan sesat dalam hakikat. Syariat bisa dengan mudah menyebutkan sesat dan kesesatan hanya karena apa yang dilihat dan didengar. Pengakuan dari seseorang sebagai Nabi karena itu akan masuk sebagai perbuatan sesat secara syariat, karena memang terdengar secara lisan dan terlihat oleh mata. Jika orang yang mengaku nabi kemudian mengaku bertaubat lalu mengatakan kembali kepada ajaran Al Quran dan Nabi, secara syariat pula bisa dibenarkan pengakuan itu.

Syariat adalah koridor hukum yang memang harus ditegakkan untuk agama Allah dan ajaran Rasul-Nya. Maka segala sesuatu yang secara syariat dinilai menyimpang dan mengada-ada, pastilah akan dinilai sesat. Di dalam kitab Ad Dur An Nafis dikatakan oleh Syekh Muhammad Nafis Al Banjari, hukumnya adalah kafir zindiq jika syariat tidak dijalankan. “Dan barang siapa yang kufur terhadap Allah dan para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan hari akhirat maka sesatlah dia dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya (dari kebenaran)”

Secara hakikat apa yang disebut sesat dan kesesatan bisa lebih spesifik dan niscaya jauh lebih berat “hukum syariatnya” dibanding sesat dan kesesatan secara syariat. Karena apa yang dikatakan sesat secara hakikat adalah mengada-adakan selain Allah. Atau dengan kalimat lain secara hakikat semua adalah tidak ada melainkan Allah.

Ibn Arabi pernah menjelaskan wujud makhluk yang bertebaran di alam semesta pada hakikatnya hanya sebagai dzi dzilullah (bayang-bayang Allah) atau madzhar-Nya (bagian dari perwujudan-Nya) sehingga wujud makhluk bersifat majazi sedangkan wujud Allah bersifat hakiki. Sandarannya adalah ayat 88 pada Al Qashash yang menjelaskan, “Tiap-tiap sesuatu (pada hakikatnya) binasa (tidak ada), kecuali Allah. bagi-Nya segala penentuan dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan.”

Jangankan ada manusia yang mengaku Allah atau mengaku nabi, mengaku diri adalah ada, bagi para ahli hakikat adalah sesat dan menyesatkan. Dalam tataran yang paling sederhana sekalipun, seumpama ada pengakuan, seperti merasa bisa taat beribadah, merasa bisa beramal, merasa bisa berusaha dan merasa merasa yang lainnya, pada hakikatnya akan dipandang sesat oleh para ahli hakikat.

Hakikat memang mengutamakan dzuq (rasa) namun pengakuan atau klaim apapun bahkan jika itu hanya ada pada rasa adalah perbuatan yang menyimpang dan mengada-ada (bidah). Hukumnya syirik dan niscaya tidak akan sampai kepada Allah melainkan penolakan. Mereka yang sampai atau sudah mengenal Allah sesungguhnya adalah mereka yang tidak pernah mengaku ada kecuali hanya Allah. Kisah-kisah para rasul dan nabi, dan orang-orang suci lainnya adalah kisah tentang orang-orang yang sepanjang desahan nafas dan detak jatung mereka adalah Allah sementara perilaku lahiriahnya menurut adab syariat.

Tak lalu dengan semua pemahaman tersebut, manusia mengetahui tentang apa yang disebut sesat. Di dalam Al Qalam ayat 1 hingga 9 Allah menegaskan otoritas tertinggi yang menentukan tentang siapa yang sesat dan siapa yang tidak sesat adalah hanya Allah yang tahu. “Nuun… Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat, siapa di antara kamu yang gila. Sesungguhnya Rabb-mu, Dia-lah yang paling mengetahui siapa yang sesat dari Jalan-Nya; dan Dia-lah yang paling Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah). Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).”

Maka ketika sekelompok orang merusak mesjid dan mengintimidasi orang-orangAhmadiyah di Kuningan dan menganggap mereka sesat, mereka sebenarnya sudah melampaui wewenang Allah. Tafsir dibalas dengan tafsir, teks dibalas teks. Mereka merasa tafsir dan teks mereka tentang kesesatan dan juga tentang ketidaksesatan adalah yang paling benar sembari melupakan ayat bahwa kebenaran hanya milik Allah.

Iklan