Istana itu megah dan menyita perhatian mata manusia yang melihatnya. Menaranya julang menjulang. Kubahnya dilapisi emas dan merupakan yang terbesar dari kubah istana yang pernah dijumpai saat itu. Jumlah kamarnya cukup untuk menampung satu kompi pasukan, mungkin lebih. Itulah Al Khadra, istana yang dibangun oleh Muawiyah untuk kantor dan kediaman pribadi dan keluarganya.

oleh Rusdi Mathari
SEBAGAI sebuah kantor dan tempat tinggal, Al Khadra adalah terlalu mewah untuk ukuran seorang Gubernur Damsyik (Syiria). Kenyataan itu terbalik dengan realitas yang terlihat di Madinah. Di ibukota itu tak ada istana, tak ada pula kamar-kamar mewah untuk tempat tinggal para khalifah yang kekuasaan dan pengaruhnya justru jauh lebih lebih besar dan lebih luas dibanding seorang gubernur wilayah. Sejak Nabi Muhammad s.a.w berkuasa, lalu diteruskan oleh Abu Bakar Assiddiq, Umar bin Abdul Azis, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib— mereka memimpin umat dengan kesederhanaan dan bukan dengan kemegahan.

Tak hanya istana megah yang dibangun oleh Muawiyah, dengan kekuasaannya dia lebih sering menempatkan diri sebagai majikan daripada memosisikan sebagai pelayan dan pengayom rakyat (yang dipimpin). Rakyat (yang dipimpin) dituntut untuk hormat kepadanya namun dia tak mau menghormati rakyatnya. Rakyat yang mengkritiknya dibunuh tanpa pengadilan sementara kekayaan dan kekuasaan negara dibagi-bagikan kepada sanak kerabat Muawiyyah (Bani Umayyah).

Al-Walid bin Uqbah yang disebut sebagai orang fasik oleh Al Quran, misalnya diberi 100 ribu dirham. Mahzur, pusat perdagangan yang sebelumnya milik bersama kaum muslimin diserahkan kepada Marwan bin Al-Hakam.

Di zaman Nabi, Marwan pernah diusir Nabi dari Madinah karena sikap dan pendiriannya yang munafik. Akibat dari pemberian konsesi kepada Marwan oleh Muawiyah ladang rumput yang dahulunya boleh dimasuki ternak siapapun lalu dikendalikan Bani Umayyah dan dinyatakan terlarang bagi umum.

Sebagai salah satu penduduk Damsyik, Abu Dzar prihatin dengan kelakuan pemimpin di Syiria itu. Dia karena itu selalu menyempatkan untuk berdiri di depan gerbang istana megah. Beberapa saat, dia lalu akan berteriak lantang di depan gerbang. “Orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, kabarkan kepada mereka siksaan yang pedih.”

Ketika pada suatu hari bertemu dengan Muawiyah, Abu Dzar mengingatkan pentingnya Muawiyah menjaga amanah. “Andai istana itu engkau bangun dengan harta pribadimu, engkau sesungguhnya telah berlaku berlebihan. Kalau istana itu engkau bangun dengan harta rakyat, sesungguhnya engkau telah khianat,” begitulah Abu Dzar mengingatkan Muawiyah.

Namun Muawiyah, anak Abu Sufyan –penyair kesohor dari Suku Quraisy— menerjemahkan peringatan Abu Dzar sebagai sebuah rongrongan terhadap kekuasaannya. Atas nama negara dan kekuasaannya, Muawiyah lalu mengisolasi Abu Dzar: tak boleh keluar rumah dan tak mengizinkan penduduk untuk menemuinya kecuali mereka akan mendapat sanksi dari Muawiyah. Sahabat yang dijuluki Nabi sebagai orang paling jujur itu akhirnya meninggal dalam pengasingan.

Perilaku korup Muawiyah terus berlanjut hingga dia mengambil alih kepemimpinan (negara) Islam setelah Khalifah Utsman bin Affan meninggal pada 661 masehi. Perselisihan di antara sesama umat muslim sejak itu semakin tak bisa diselesaikan melainkan dengan pendekatan kekuasaan (otoriter). Kondisi seperti itu berlangsung sepanjang Bani Umayyah memerintah selama lebih kurang 90 tahun. Sebagian besar umat hanya mengakui puak itu sebagai penguasa tapi tidak sebagai pemimpin mereka.

Jauh sebelum Muawiyah membangun istana, Islam sebetulnya tak pernah mempersoalkan apakah seorang pemimpin berhak membangun istana atau gubuk sebagai tempat tinggalnya. Dalam konteks kepemimpinan, Nabi Muhammad hanya meminta syarat agar seorang pemimpin bisa berlaku adil. Hal ini misalnya diceritakan oleh As Syaikhani yang meriwayatkan hadis tentang tujuh golongan manusia yang akan mendapat perlindungan Allah pada hari pembalasan (akhirat). Dari tujuh golongan itu, pemimpin yang adil ditempatkan atau disebut pertama kali oleh Nabi.

Mungkin saja penempatan itu hanya sekedar redaksi perkataan dari Nabi. Artinya posisi dari ketujuh golongan itu tak ada yang lebih istimewa satu sama lain— ketika kelak akan menempatkan pertolongan Allah. Namun bisa jadi juga, diletakkannya pemimpin yang adil pada urutan pertama dari tujuh golongan manusia yang akan mendapat perlindungan Allah, mengandung maksud untuk mengistimewakan kedudukan seorang pemimpin yang adil dibanding enam kelompok manusia lainnya.

Jika diperhatikan dengan baik dari tujuh golongan manusia yang dijamin oleh Nabi akan memperoleh ampunan Allah itu, semuanya menyangkut urusan pribadi dengan Allah kecuali pemimpin yang juga berurusan dengan banyak orang (yang dipimpin). Faktor mengurus banyak orang (umat) biasanya pula bersangkut paut dengan kekuasaan untuk mengurus sehingga menjadi pemimpin adalah menjadi juga penguasa.

Mustahil pemimpin dapat memimpin tanpa kekuasaan. Misalnya kekuasaan untuk membuat atau memerintahkan berjalannya peraturan adalah akibat dari seseorang yang menjadi pemimpin. Mustahil orang yang tidak memimpin memiliki kekuasaan membuat dan memerintahkan penerapan peraturan. Karena kekuasaan merupakan akibat dari pemimpin yang memimpin maka pada dasarnya setiap pemimpin cenderung tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan.

Karena godaan dan tanggungjawab menjadi pemimpin sangat berat, Nabi karena itu tak hanya menjamin dengan surga kepada para pemimpin yang sanggup berbuat adil. Hadis yang lain, yang mengatakan bahwa setiap pemimpin akan ditanya tentang kepemimpinannya, harus diterjemahkan pula sebagai sebuah ancaman serius dari Allah dan Rasul terhadap pemimpin yang tidak berlaku adil. Sampai pada titik ini dapat dimengerti mengapa kedudukan pemimpin lalu menjadi istimewa. Dia dijanjikan akan masuk surga pertama kali, sekaligus diancam akan menjadi penghuni neraka juga dalam rombongan awal.

Adil sebagai pemimpin tak harus dipahami hanya dalam soal memutus sebuah perkara. Namun adil yang diminta kepada pemimpin adalah juga mencakup aspek kesanggupan untuk selalu menjaga amanah (jujur), tidak khianat, mampu melindungi yang dipimpin (tidak otoriter) dan perilakunya bisa menjadi contoh (memberi inspirasi). Termasuk adil, jika seorang pemimpin mengakui dirinya tak bisa memimpin lagi dan memberi kesempatan kepada yang ahli untuk menggantikkannya. Bukankah imam shalat yang kentut harus membatalkan shalatnya dengan mundur selangkah agar diganti makmun yang berdiri di belakangnya?

Syarat-syarat itu niscaya tak akan bisa dipenuhi oleh pemimpin manapun melainkan mereka yang berpegang teguh kepada ajaran Allah dan Rasulnya. Bercermin pada akhlaq Nabi, seorang pemimpin akan bisa berbuat adil jika paling tidak, mewarisi empat sifat Nabi. Empat sifat Nabi itu adalah amanah (tidak korup dan tidak korup), cerdas (fathanah), mampu berdiplomasi (tablig), dan benar atau siddiq (dipercaya atau jujur).

Jika tidak, seorang pemimpin hanya akan dijuluki pemimpin namun nirmakna. Mungkin saja dia memang menduduki jabatan pemimpin, tapi jabatannya tak memiliki bekas apapun kepada umat atau kelompok manusia yang dipimpinnya.

Dalam buku Siyaasah al Syar’iyyah Ibnu Taimiyyah mengatakan dengan bahasa yang lebih jelas bahwa bukan saja tak mudah untuk menjadi pemimpin tapi ketika kedudukan itu bahkan sangat mudah didapat, seharusnya dilakukan dengan cara-cara yang benar, jujur dan baik menurut ajaran Allah dan Rasul. Jika kedudukan sebagai pemimpin diperoleh melalui cara-cara yang tidak dibenarkan oleh ajaran Allah dan Rasul maka pemimpin semacam itu bukan saja tak akan mampu berbuat adil tapi juga tidak akan sanggup menerima usul dan kritik.

Dalam banyak hal, usul dan kritik dari umat yang dipimpinnya bahkan akan dihadapi dengan sikap represif dan otoriter, seperti yang pernah dilakukan Muawiyah terhadap Abu Dzar.

Iklan