Sejak Orde Baru, negara ini banyak membentuk tim pemberantasan korupsi tapi hasilnya hanya koruptor kelas teri yang tidak punya lobi politik yang dijerat. Dan KPK tampaknya mengikuti jejak itu.

Oleh Rusdi Mathari
TERPILIH sudah Ketua KPK yang baru. Melalui pemungutan suara langsung, sebanyak 41 anggota Komisi III DPR-RI Rabu malam (5 Desember 2007) memberikan suaranya kepada Antasari Azhar. Mantan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan itu, menyisihkan pesaingnya Chandra M. Hamzah. Ucapan selamat kepda Antasari dan tepuk tangan mengakhiri sidang para anggota dewan yang terhormat.

Antasari adalah jaksa karir. Hingga anggota DPR menetapkannya sebagai ketua KPK, dia masih menjabat Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana. Sebelumnya dia juga pernah menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi di Sumatera Barat dan Sulawesi Tenggara. Ketika menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Antasri gagal mengekskusi Tommy Soeharto yang dihukum penjara 18 tahun karena terlibat dalam pembunuhan Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Hukum Pidana Umum, M Syafiuddin Kartasasmita pada 2001.

Waktu itu Tommy “kabur” dan Antasari hanya kuasa menyita tanah dan rumah Tommy yang katanya untuk mengantisipasi kalau Tommy tidak mau membayar uang ganti rugi kepada negara. Dalam kasasi Tommy, majelis hakim agung yang diketuai Syafiuddin memutuskan menghukum Tommy dengan hukuman pidana 18 bulan penjara dan membayar denda serta membayar sejumah uang untuk ganti rugi keuangan negara.

Dalam kasus korupsi senilai Rp 2 miliar yang melibatkan Lukman Abunawas, Bupati Konawe (Kendari) pada 2004, Antasari juga pernah bertemu dengan Lukman justru ketika Lukman sudah menjadi tersangka. Dalam pertemuan yang disebut-sebut terjadi di Bangka Belitung itu, dikabarkan telah ada ada pemberian uang Rp 3 miliar dari Lukman kepada Antasari.

Soal uang itu Antasari tegas menolak, namun perihal pertemuannya dengan Lukman, Antasari tak menampik “Saya bertemu justru di kantor saya dalam konteks penyelesaian perkara. Ia datang sebagai tersangka,” katanya seperti dikutip Kompas (Selasa, 04 September 2007).

Mungkin saja Antasari memang tidak pernah menerima uang dari Lukman dan belum tentu juga Lukman melakukan korupsi. Namun pertemuan seorang jaksa dengan terdakwa, sulit diterjemahkan kecuali mereka sedang membicarakan perkara.

Di Amerika Serikat dan Eropa, seorang jaksa dan hakim yang bertemu atau menemui terdakwa dianggap telah melakukan kejahatan bahkan jika pertemuan itu hanya sekedar untuk makan-makan atau menonton televisi. Alasannya jelas, jaksa dan hakim bisa terpengaruh dalam menuntut atau memutuskan perkara. Lalu untuk apa Antasari bersedia bertemu Lukman, di kantornya?

Cerita akhirnya, Lukman diputus bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Kendari. Dalam sidang pembacaan vonis setebal 251 halaman yang dipimpin Jessay Tarigan, pada 23 Juni 2005, Lukman dianggap tidak terbukti melakukan korupsi seperti yang dituduhkan Jaksa Penuntut Umum Fadil Zumhana.

Dan ini yang menarik: majelis hakim menganggap semua tuntutan jaksa tidak berdasar karena tindakan yang dilakukan Lukman tidak memenuhi unsur korupsi.

Pemberantasan korupsi di Indonesia adalah soal politik dan pembentukan KPK adalah juga persoalan politik. Ketika dibentuk pertama kali, banyak yang berharap KPK akan mampu menyelesaikan kasus-kasus korupsi besar yang merugikan keuangan negara. Kekuasannya sebagai super body yang sangat besar: memiliki tim penyidik sendiri dan dapat mengambil alih serta menghentikan penuntutan di kepolisian atau kejaksaan— telah menumbuhkan harapan bahwa keadilan akan dimulai dari KPK.

Tapi itu dulu, empat tahun lalu. Setelah KPK bekerja dan hasil kerjanya ternyata hanya menyelesaikan kasus-kasus korupsi kelas teri dan terkesan memilih-milih perkara, harapan itu juga mulai musnah. Jangankan menghentikan perkara yang sedang diusut oleh polisi dan jaksa, KPK juga tak berdaya mengusut kasus-kasus korupsi yang terjadi di kepolisian dan kejaksaan.

Kasus tiga mantan pejabat Polri yang diadili karena menerima suap perkara pembobolan Bank BNI 1946 senilai Rp 1,7 triliun yang dilakukan Adrian Waworuntu, bukan diusut oleh KPK. Dalam kasus aliran dana Departemen Kelautan dan Perikanan yang melibatkan mantan menterinya, Rokhmin Dahuri kepada lima pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu Presiden 2004, KPK ternyata juga hanya membidik Rokhmin.

Sebaliknya para penerima sumbangan, meskipun sebagian sudah mengaku, tidak pernah diusut dengan alasan tidak cukup bukti. Amien Rais yang mengaku termasuk orang yang menerima sumbangan semula berharap KPK akan mengusut soal sumbangan itu setelah dia bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun KPK tak mengusutnya.

Kini masa jabatan “pengurus” KPK yang pertama sudah akan berakhir. Dalam masa empat tahun sejak dibentuk, uang negara yang digunakan oleh lembaga super itu mencapai Rp 600 miliar. Sebagian besar adalah untuk menggaji para “pengurus” dan karyawan KPK: gaji ketua sebesar Rp 32,25 juta dan gaji wakil ketua Rp 31,29 juta.

Gaji itu merupakan yang terbesar di antara gaji pejabat penegak hukum sebelum ada kenaikan gaji para hakim Mahkamah Agung. Bandingkan dengan uang negara yang katanya telah diselamatkan oleh KPK yang hanya Rp 25 miliar. Itupun yang disetorkan kepada kas negara tidak sampai separuhnya. Lalu kelak berapa lagi gaji yang akan diterima Antasari?

Maka KPK dan riwayat pemberantasan korupsinya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan lembaga korupsi yang pernah dibentuk di negara ini. Ketika mulai berkuasa, pada 1967, Soeharto membentuk bermacam tim untuk memberantas korupsi. Salah satu yang terkenal adalah Tim Pemberantasan Korupsi yang diketuai Jaksa Agung Jenderal Sugih Arto yang diteruskan Jaksa Agung Jenderal Ali Said.

Dalam prakteknya yang dijaring oleh tim-tim anti korupsi bentukan pemerintah itu, cuma “kelas teri” dan membiarkan para birokrat yang bergelimang uang haram tetap tidur nyenyak. Berbagai tim tadi lalu tak jelas nasibnya, apalagi hasil kerjanya. Dalam beberapa kasus, perlawanan terhadap gerakan anti korupsi juga terus menguat.

Contoh lain ketika Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Semula tim ini mencoba “menembak” praktik suap-menyuap di lingkungan Mahkamah Agung. Namun tim itu belum sempat menunaikan tugasnya, ketika Mahkamah Agung yang akan dijadikan sasaran justru menghabisi komisi yang diketuai mantan hakim agung, Adi Andojo Soetjipto itu. Alasannya ketika itu, dasar hukum pendiriannya yakni Peraturan Pemerintah No 19/2000, dianggap tidak kuat.

Tiga hakim agung (seorang di antaranya pensiunan) dibebaskan dari tuduhan menerima suap oleh hakim-hakim di tingkat pertama. Sebaliknya, justru saksi pelapor, Endin Wahyudin, yang mau bersaksi atas jaminan Jaksa Agung Marzuki Darusman, kala itu diadili dan divonis hukuman percobaan.

Agar tidak membebani keuangan negara lebih banyak, mestinya KPK memang dibubarkan karena lembaga itu sudah tak berdaya kecuali hanya menjadi tunggan politik para politisi dan pejabat korup.

Begitu toh Pak Antasari?