Pada orang Madura berlaku ajaran bahwa tanah adalah satu bagian dari  tiga hal yang harus diperjuangkan bahkan jika itu harus dibayar dengan nyawa. Pada tentara berlaku doktrin dibunuh dan membunuh.

oleh Rusdi Mathari
SIAPAKAH pemilik tanah yang sebenarnya, sehingga banyak orang rela mati  untuk merebut dan mempertahankan tanah, tumpah darahnya? Di Alas Tlogo, Kecamatan Lekok, Pasuruan, ratusan orang awal Juni silam berani menghadang tentara bersenjata karena persoalan tanah. Lima nyawa melayang termasuk janin lima bulan, ketika urusan tanah itu menemui batu cadas penyelesaian. Tentara menganggap tanah di wilayah itu adalah sah milik mereka, penduduk bersikukuh tanah mereka dirampas tanpa pembayaran oleh tentara.

Orang-orang di Alas Tlogo sebagian besar adalah orang Madura. Pada mereka berlaku sebuah ajaran hidup, yang entah siapa yang mengajarkan, bahwa tanah adalah satu bagian dari  tiga hal yang harus diperjuangkan bahkan jika itu harus dibayar dengan nyawa.

Tiga ajaran itu adalah agama (keyakinan), wanita (keluarga) dan tanah. Bagi orang Madura tiga hal itu adalah kehormatan diri yang bisa menempatkan mereka pada posisi untuk lebih memilih
poteh tolang atembang poteh mata (lebih baik mati daripada menangung malu).

Jangan pernah orang Madura itu dikatakan bukan Islam kendati tak pernah menjalankan syariat, kalau tak mau berhadapan dengan clurit kemarahan mereka. Tak usah mengganggu wanita dan keluarga mereka, kalau tak hendak berhadapan dengan kekalapan mereka. Tragedi di Alas Tlogo terjadi, kurang lebih karena orang-orang Madura itu merasa kehormatan (atas tanah) mereka telah diganggu dan dirampas.

Pada tataran tertentu, tiga pegangan hidup yang menjadi pegangan sebagian besar orang Madura itu, relatif tak bisa dianggap keliru. Untuk mempertahankan hak, misalnya, tiga pegangan hidup itu barangkali akan menjadi bahan bakar yang ampuh untuk terjadinya sebuah perlawanan melawan kelaliman. Orang Madura menyebutnya jihad yang dibenarkan oleh syar’i. Dasarnya adalah Al Quran.

Tapi bagaimana jika tanah yang dipertahankan atau bahkan direbut oleh orang-orang Madura secara hukum adalah bukan punya mereka? Orang Madura akan menjawab, “Ini tanah Tuhan”.

Ketika keyakinan akan hak (kepemilikan tanah) pada manusia seperti orang-orang Madura itu telah menjadi salah satu kehormatan diri, maka logika akan tertutup oleh naluri, akal sehat (kesadaran) akan dipenuhi asap kemarahan, dan ruh akan menjadi barang obralan, seperti baju-baju bekas dari Taiwan yang dijual di pinggir-pinggir jalan di kaki lima.

Tanah betapa pun misalnya sangat tidak berharga, telah menjadi tuhan bagi mereka. Seolah mereka (bukan hanya orang Madura) tak akan hidup tanpa tanah, seolah tanah adalah keabadian yang mereka akan berada bersamanya. Lalu siapa pemilik tanah yang sebenarnya?

SIAPAKAH pemilik ruh yang sebenarnya, sehingga para tentara tentara di manapun di jagad yang bernama bumi ini, dari dulu hingga sekarang bisa memiliki doktrin dibunuh dan membunuh? Dalam tragedi di Alas Tlogo, 13 prajurit Marinir TNI-AL berani  menembaki orang-orang Madura karena ajaran dibunuh atau membunuh meskipun para prajurit tidak dalam kondisi berperang.

Posisi mereka yang terdesak menurut mereka, memaksa mereka harus memuntahkan peluru tajam sebagai peringatan. Daripada pihak mereka (Marinir) yang mati konyol di tangan orang-orang Madura, maka lebih baik mereka mendahului untuk membunuh meski kemudian pihak TNI-AL beralasan penembakan itu hanya sebagai usaha membela diri (jihad).

Logika tentara adalah logika kerusakan. Dalam peperangan, apapun akan dianggap menjadi sah jika dirusak, dihancurkan, dan dimusnahkan. Tentara Mongol yang masuk ke Baghdad, merasa sah untuk membunuh tentara Islam, memerkosa para muslimah, kemudian menganggap punya dasar hukum untuk membakar perpustakaan terbesar yang pernah dimiliki oleh peradaban manusia.

Air yang mengalir di Sungai Eufrat ketika itu hitam oleh jelaga arang dari puing-puing gedung yang luluhlantak. Udara berbau anyir oleh darah manusia yang dibunuh. Serdadu Amerika Serikat menganggap tindakan mereka menghancurkan Irak dan Afghanistan adalah sah, kendati yang ikut terbunuh oleh bom-bom mereka sebagian besar adalah para wanita, anak-anak dan orang-orang tua tak berdaya.

Namun logika ajaran dibunuh dan membunuh yang menjadi ajaran para tentara di seluruh dunia, pada dasarnya memiliki dua sisi logika lain yang saling bertentangan. Doktrin itu di satu sisi merupakan logika ketakutan manusia: ketakutan dibunuh oleh musuh, ketakutan dihancurkan, ketakutan diperdayakan, ketakutan akan kalah— sehingga karena itu harus berani, harus menghancurkan, harus memperdaya, harus menang dan sebagainya.

Pada sisi yang lain, ajaran dibunuh dan membunuh merupakan logika kesombongan manusia: kesombongan bahwa bisa membunuh, bisa menghancurkan, bisa mengalahkan— sehingga karena itu harus tidak dibunuh, tidak dihancurkan, tidak dikalahkan dan sebagainya.

Ketika doktrin dibunuh dan membunuh telah menjadi sebuah nilai yang tak bisa ditawar oleh setiap prajurit, maka ketakutan akan memakai jubah keberanian, kedamaian akan menjadi ingar-bingar dengan dendam kesumat, dan rendah hati akan terbungkus oleh perangai kekalapan.

Betapa pun misalnya sangat mulia nilai peperangan yang harus dilakukan oleh setiap tentara, mereka telah menjadikan ketakutan dan kesombongan sebagai tuhan. Seolah mereka tak akan hidup tanpa kesombongan (untuk membunuh), seolah jika dibunuh oleh musuh,  perjalanan hidup mereka akan  berakhir tanpa keabadian. Lalu siapa pemilik ruh yang sebenarnya?